Perjuangan Hidup Mati Dokter Bedah Sembuh dari Covid-19

Sabtu, 05 Desember 2020 - 17:36 WIB
loading...
Perjuangan Hidup Mati Dokter Bedah Sembuh dari Covid-19
Seorang dokter bedah bersama seorang anaknya baru saja menyelesaikan masa isolasi. Saya merasakan 12 hari nikmatnya ruang isolasi mulai tanggal 18-30 Nov 2020.
A A A
JAKARTA - Seorang dokter bedah bersama seorang anaknya baru saja menyelesaikan masa isolasi. "Saya merasakan 12 hari nikmatnya ruang isolasi mulai tanggal 18-30 Nov 2020," ujar dokter bedah yang bertugas di rumah sakit Wonogiri.

Bapak dan anak ini saat ini sudah sembuh dan dapat bernafas dengan lega. Bahkan saat ini mereka sudah dapat beraktivitas seperti sedia kala. "Saya ingin berbagi cerita beratnya perjuangan antara hidup dan mati pada masa isolasi. Sebuah pengalaman yang tak akan mungkin saya lupakan seumur hidup," kata di doket bedah.

Pada 18 November 2020, hasil tes swab yang dia jalani bersama anaknya hasilnya positif. Keduanya lalu bergegas ke ruang isolasi di RS Moewardi, Solo. "Saya dan anak saya mengalami kondisi demam dan batuk. Sepanjang perjalanan antara Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil. Kondisi ini diperparah karena keluarga besar kami sedang mendapatkan musibah. Ayah mertua saya yang juga dokter bedah sedang berada dalam ruangan ICU RS Karyadi Semarang karena positif Covid-19. Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Sudah ada total 8 orang dari keluarga kami yang positif Covid-19."

Sesampainya di ruangan isolasi, kondisi tubuh keduanya tambah buruk dengan demam yang masih tinggi. "Setiap hari saya menggigil kedinginan dan bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut," akunya.

Pada hari keempat masa isolasi, dia mulai batuk dengan badan terasa sakit semua. Ketika menerima telepon dari keluarga atau sahabat, batuk semakin parah, bahasa jawanya batuk ‘ngekel’. "Setiap bergerak juga batuk seperti ketika salat yang banyak gerakan, dari ruku' ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk. Saya sangat tersiksa dan rasanya sulit sekali untuk bernafas lega."

Di hari keenam isolasi, kondisi semakin parah. Saat itu dia sudah tak bisa merasakan indera penciuman. Bahkan tidak bisa mengunyah dengan baik. Nasi jatah makan terasa sangat keras. Dia berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkongannya terasa sangat sakit. Berkali-kali berusaha mengunyah nasi, tapi tak bisa sampai akhirnya muntahkan nasi yang masih utuh itu.

"Saya sampai protes ke bagian gizi rumah sakit. Saya marah karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. Saya mengira koki Rumah Sakit lalai. Saya keluarkan semua uneg-uneg ini untuk meminta penjelasan."

Betapa kagetnya ketika mendapat penjelasan bahwa itu sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras baginya. "Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan."

Hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. Memang, sudah dua tahun ini dia harus melakukan suntik insulin novomik. "Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berfikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian."

Tetapi, malam itu sekaligus penuh mukzizat karena dia mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya dia memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati Covid-19, malam itu dia mendapat injeksi 1 kantong plasma.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1142 seconds (0.1#10.140)