Pemerintah Dinilai Alami Kegamangan dan Dilematis Hadapi Corona
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah wacana pelonggaran PSBB yang diikuti dengan kebijakan Menteri Perhubungan yang membolehkan seluruh moda transportasi beroperasi di tengah pandemi COVID-19 , kini muncul kembali imbauan dari pemerintah dalam hal ini Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 agar kelompok usia di bawah 45 tahun boleh beraktivitas meskipun masa pandemi belum berakhir.
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menganggap imbauan itu dilakukan karena berdasarkan data resmi pemerintah jumlah kematian tertinggi karena COVID-19 datang dari kelompok usia 65 tahun ke atas mencapai 45%. Lalu, 40% lainnya datang dari kelompok usia 46-59 tahun yang memiliki penyakit bawaan, seperti hipertensi, diabetes, paru, dan jantung. (Baca juga: Jokowi Minta Pelonggaran PSBB Dilakukan Hati-Hati dan Tak Tergesa-gesa )
Meski demikian, kebijakan ini akan menimbulkan kontroversi kembali di tengah masyarakat. "Di satu sisi pemerintah mendorong kelonggaran PSBB sementara pemerintah menyatakan bahwa masih ada penemuan kasus baru COVID-19 yang menyebabkan jumlah pasien dari penyakit yang disebabkan virus Corona itu bertambah," tutur Karyono saat dihubungi SINDOnews, Selasa (12/5/2020).
Karyono menuturkan berdasarkan data pada Senin (11/5/2020) pukul 12.00 WIB, diketahui ada 233 kasus baru COVID-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan total ada 14.265 kasus COVID-19 di Indonesia, terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020.
Dengan demikian, kata Karyono, fenomena itu tentu menimbulkan pertanyaan apakah kebijakan yang memberikan kelonggaran di tengah pemberlakuan PSBB sudah tepat dilakukan saat ini atau tidak. Lantas apakah kelonggaran yang dilakukan akan berdampak pada peningkatan jumlah kasus baru atau tidak.
"Sejumlah pertanyaan itu memerlukan kajian secara holistik. Biarlah masalah ini menjadi tugas para ahli di bidangnya," kata dia.
Terlepas dari perdebatan itu, lanjut dia, yang ada dalam benak publik ketika menilai sejumlah kebijakan yang kontroversi itu adalah adanya persepsi bahwa ada kegamangan dan kondisi dilema dari pemerintah dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini.
Menurutnya, yang menghadapi kondisi dilema tidak hanya pemerintah Indonesia, tapi hampir seluruh negara mengalami hal yang sama. Setiap negara tengah dihadapkan pada pilihan yang sulit dan kontradiktif antara menyelamatkan nyawa rakyat atau menyelamatkan perekonomian.
Dalam konteks inilah, menurut Karyono, pemerintah berusaha mencari jalan keluar dengan mengeluarkan kebijakan kelonggaran di masa PSBB sebagai "jalan tengah" guna menjaga keseimbangan. "Hal itu dilakukan untuk mencegah banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menjaga stabilitas sistem keuangan, mengantisipasi potensi gangguan ekonomi (economic disruption) dan keamanan," jelasnya.
Lebih lanjut Karyono menyatakan, jika melihat lonjakan pengangguran akibat pandemi COVID-19 memang membuat semua pihak merasa miris. Jumlah pengangguran diprediksi akan meningkat tajam. Bahkan, pihak Kementerian Keuangan telah memprediksi jumlah pengangguran di Indonesia bakal meningkat signifikan seiring dengan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2020.
Perlambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19 itu, sambungnya, diperkirakan akan menambah 5 juta penganggur dalam skenario sangat berat (terburuk) apabila angka pertumbuhan turun di bawah 0%. Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019 ada sekitar 7,05 juta pengangguran di Indonesia setara 5,28%. Bila bertambah 5 juta, maka total pengangguran di 2020 bisa mencapai 12,05 juta orang.
Oleh karenanya, untuk mengatasi pelbagai masalah yang timbul akibat COVID-19 tersebut diperlukan totalitas, sinergitas, dan pelaksanaan kebijakan yang terintegrasi serta konsisten. (Baca juga: Warga di Bawah 45 Tahun Boleh Bekerja, Pengamat: Pemerintah Seperti Tidak Berdaya Lagi )
"Apabila pemerintah hendak memberlakukan kelonggaran di masa PSBB harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang, kajian yang mendalam dan terukur agar tidak kontraproduktif," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menganggap imbauan itu dilakukan karena berdasarkan data resmi pemerintah jumlah kematian tertinggi karena COVID-19 datang dari kelompok usia 65 tahun ke atas mencapai 45%. Lalu, 40% lainnya datang dari kelompok usia 46-59 tahun yang memiliki penyakit bawaan, seperti hipertensi, diabetes, paru, dan jantung. (Baca juga: Jokowi Minta Pelonggaran PSBB Dilakukan Hati-Hati dan Tak Tergesa-gesa )
Meski demikian, kebijakan ini akan menimbulkan kontroversi kembali di tengah masyarakat. "Di satu sisi pemerintah mendorong kelonggaran PSBB sementara pemerintah menyatakan bahwa masih ada penemuan kasus baru COVID-19 yang menyebabkan jumlah pasien dari penyakit yang disebabkan virus Corona itu bertambah," tutur Karyono saat dihubungi SINDOnews, Selasa (12/5/2020).
Karyono menuturkan berdasarkan data pada Senin (11/5/2020) pukul 12.00 WIB, diketahui ada 233 kasus baru COVID-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan total ada 14.265 kasus COVID-19 di Indonesia, terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020.
Dengan demikian, kata Karyono, fenomena itu tentu menimbulkan pertanyaan apakah kebijakan yang memberikan kelonggaran di tengah pemberlakuan PSBB sudah tepat dilakukan saat ini atau tidak. Lantas apakah kelonggaran yang dilakukan akan berdampak pada peningkatan jumlah kasus baru atau tidak.
"Sejumlah pertanyaan itu memerlukan kajian secara holistik. Biarlah masalah ini menjadi tugas para ahli di bidangnya," kata dia.
Terlepas dari perdebatan itu, lanjut dia, yang ada dalam benak publik ketika menilai sejumlah kebijakan yang kontroversi itu adalah adanya persepsi bahwa ada kegamangan dan kondisi dilema dari pemerintah dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini.
Menurutnya, yang menghadapi kondisi dilema tidak hanya pemerintah Indonesia, tapi hampir seluruh negara mengalami hal yang sama. Setiap negara tengah dihadapkan pada pilihan yang sulit dan kontradiktif antara menyelamatkan nyawa rakyat atau menyelamatkan perekonomian.
Dalam konteks inilah, menurut Karyono, pemerintah berusaha mencari jalan keluar dengan mengeluarkan kebijakan kelonggaran di masa PSBB sebagai "jalan tengah" guna menjaga keseimbangan. "Hal itu dilakukan untuk mencegah banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menjaga stabilitas sistem keuangan, mengantisipasi potensi gangguan ekonomi (economic disruption) dan keamanan," jelasnya.
Lebih lanjut Karyono menyatakan, jika melihat lonjakan pengangguran akibat pandemi COVID-19 memang membuat semua pihak merasa miris. Jumlah pengangguran diprediksi akan meningkat tajam. Bahkan, pihak Kementerian Keuangan telah memprediksi jumlah pengangguran di Indonesia bakal meningkat signifikan seiring dengan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2020.
Perlambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19 itu, sambungnya, diperkirakan akan menambah 5 juta penganggur dalam skenario sangat berat (terburuk) apabila angka pertumbuhan turun di bawah 0%. Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019 ada sekitar 7,05 juta pengangguran di Indonesia setara 5,28%. Bila bertambah 5 juta, maka total pengangguran di 2020 bisa mencapai 12,05 juta orang.
Oleh karenanya, untuk mengatasi pelbagai masalah yang timbul akibat COVID-19 tersebut diperlukan totalitas, sinergitas, dan pelaksanaan kebijakan yang terintegrasi serta konsisten. (Baca juga: Warga di Bawah 45 Tahun Boleh Bekerja, Pengamat: Pemerintah Seperti Tidak Berdaya Lagi )
"Apabila pemerintah hendak memberlakukan kelonggaran di masa PSBB harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang, kajian yang mendalam dan terukur agar tidak kontraproduktif," pungkasnya.
(kri)