Dana Bagi Hasil Sawit
loading...
A
A
A
Meski ada pemerintah daerah yang mengajukan anggarannya, sering kali ditolak oleh DPRD. Alasannya, sektor ini tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan daerah. Sepantasnyalah pemerintah daerah penghasil sawit menuntut adanya skema DBH Sawit, seperti yang mereka suarakan di forum koordinasi pemerintah daerah penghasil sawit di Pekanbaru, Riau.
Tuntutan para kepala daerah tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat. Tujuan DBH Sawit adalah memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah penghasil untuk memperbaiki tata kelolanya. Ini bukan sekadar cara sederhana berupa penerapan fungsi penerimaan daerah, tetapi membangun sebuah sistem tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan.
Adanya DBH Sawit, pemerintah daerah harus melaksanakan fungsi pengawasan dan pengendalian yang akuntabel dan terukur. Misalnya, harus memiliki data periodik luas areal perkebunan sawit, produksi dan produktivitas lahan serta menggunakan data tersebut untuk mengendalikan dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap lingkungan hidup dan sosial.
Formulasi yang Tepat
Oleh karena itu, perlu kerangka formulasi DBH yang kuat dan kompatibel dengan upaya mewujudkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan. Artinya, formulasi DBH tidak hanya berdasarkan realisasi produksi dan daerah penghasil, tetapi juga mengukur sejauh mana prinsip tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan diadopsi oleh pemerintah daerah. Itu bisa diukur dari luas lahan perkebunan yang sudah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sehingga upaya pemerintah pusat untuk pengembangan ISPO pun bisa terealisasi dengan baik.
Pemerintah juga perlu mengatur mekanisme alokasi penggunaan DBH Sawit. Hal tersebut penting agar alokasi penggunaan DBH Sawit oleh pemerintah daerah tepat sasaran. Politik penganggaran di daerah sangat dinamis dan sesuai kepentingan penguasa di daerah. Bila tidak diatur, berisiko tinggi disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar alokasi penggunaannya hanya untuk pengembangan instrumen ISPO, perbaikan produktivitas sawit rakyat, pengendalian dampak lingkungan hidup dan sosial, pemberdayaan masyarakat di sekitar area perkebunan sawit, perbaikan infrastruktur di desa penghasil sawit, program industrialisasi sawit rakyat dan hal-hal lainnya yang terkait dengan perbaikan tata kelola perkebunan sawit.
Meski demikian, untuk mencapai itu perlu perubahan kebijakan. Pertama, memperbaiki kerangka regulasi terutama menyangkut kebijakan DBH. Tanpa regulasi yang baik, DBH Sawit tidak bisa dilakukan. Dalam rangka itu, hadirnya rancangan undang-undang tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi entry point dalam menyusun kerangka regulasi terkait DBH Sawit.
Kedua, perlu mengembangkan sumber penerimaan negara yang akan dijadikan objek DBH Sawit. Prioritasnya adalah PNBP dari pungutan ekspor. Kenapa? Selain jumlahnya besar dibandingkan penerimaan lain dari sawit, prinsipnya juga sesuai dengan DBH, karena basisnya adalah jumlah realisasi produksi yang diekspor. Meski pencatatan ekspornya ada di pelabuhan ekspor, itu bisa diproksi dengan jumlah produksi dan luas lahan perkebunan sawit yang terdapat di daerah penghasil. Oleh karena itu, perlu mereformasi tata kelola dana pungutan ekspor sawit dengan mengembangkan sistem DBH dalam instrumen fiskalnya.
Pada akhirnya, mewujudkan perbaikan tata kelola perkebunan sawit tanpa adanya penguatan kapasitas fiskal oleh pemerintah daerah sangat tidak efektif. Apalagi, tujuan pemerintah adalah pengembangan industri sawit berkelanjutan dan peningkatan daya saing industri maka kapasitas birokrasinya harus diperkuat. Karena mereka aktor utama dalam tata kelola, selain pelaku usaha dan masyarakat sipil. DBH Sawit bisa menjadi instrumen penghubung dari semua tujuan perbaikan tata kelola industri sawit nasional.
Tuntutan para kepala daerah tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat. Tujuan DBH Sawit adalah memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah penghasil untuk memperbaiki tata kelolanya. Ini bukan sekadar cara sederhana berupa penerapan fungsi penerimaan daerah, tetapi membangun sebuah sistem tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan.
Adanya DBH Sawit, pemerintah daerah harus melaksanakan fungsi pengawasan dan pengendalian yang akuntabel dan terukur. Misalnya, harus memiliki data periodik luas areal perkebunan sawit, produksi dan produktivitas lahan serta menggunakan data tersebut untuk mengendalikan dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap lingkungan hidup dan sosial.
Formulasi yang Tepat
Oleh karena itu, perlu kerangka formulasi DBH yang kuat dan kompatibel dengan upaya mewujudkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan. Artinya, formulasi DBH tidak hanya berdasarkan realisasi produksi dan daerah penghasil, tetapi juga mengukur sejauh mana prinsip tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan diadopsi oleh pemerintah daerah. Itu bisa diukur dari luas lahan perkebunan yang sudah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sehingga upaya pemerintah pusat untuk pengembangan ISPO pun bisa terealisasi dengan baik.
Pemerintah juga perlu mengatur mekanisme alokasi penggunaan DBH Sawit. Hal tersebut penting agar alokasi penggunaan DBH Sawit oleh pemerintah daerah tepat sasaran. Politik penganggaran di daerah sangat dinamis dan sesuai kepentingan penguasa di daerah. Bila tidak diatur, berisiko tinggi disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar alokasi penggunaannya hanya untuk pengembangan instrumen ISPO, perbaikan produktivitas sawit rakyat, pengendalian dampak lingkungan hidup dan sosial, pemberdayaan masyarakat di sekitar area perkebunan sawit, perbaikan infrastruktur di desa penghasil sawit, program industrialisasi sawit rakyat dan hal-hal lainnya yang terkait dengan perbaikan tata kelola perkebunan sawit.
Meski demikian, untuk mencapai itu perlu perubahan kebijakan. Pertama, memperbaiki kerangka regulasi terutama menyangkut kebijakan DBH. Tanpa regulasi yang baik, DBH Sawit tidak bisa dilakukan. Dalam rangka itu, hadirnya rancangan undang-undang tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi entry point dalam menyusun kerangka regulasi terkait DBH Sawit.
Kedua, perlu mengembangkan sumber penerimaan negara yang akan dijadikan objek DBH Sawit. Prioritasnya adalah PNBP dari pungutan ekspor. Kenapa? Selain jumlahnya besar dibandingkan penerimaan lain dari sawit, prinsipnya juga sesuai dengan DBH, karena basisnya adalah jumlah realisasi produksi yang diekspor. Meski pencatatan ekspornya ada di pelabuhan ekspor, itu bisa diproksi dengan jumlah produksi dan luas lahan perkebunan sawit yang terdapat di daerah penghasil. Oleh karena itu, perlu mereformasi tata kelola dana pungutan ekspor sawit dengan mengembangkan sistem DBH dalam instrumen fiskalnya.
Pada akhirnya, mewujudkan perbaikan tata kelola perkebunan sawit tanpa adanya penguatan kapasitas fiskal oleh pemerintah daerah sangat tidak efektif. Apalagi, tujuan pemerintah adalah pengembangan industri sawit berkelanjutan dan peningkatan daya saing industri maka kapasitas birokrasinya harus diperkuat. Karena mereka aktor utama dalam tata kelola, selain pelaku usaha dan masyarakat sipil. DBH Sawit bisa menjadi instrumen penghubung dari semua tujuan perbaikan tata kelola industri sawit nasional.
(bmm)