'Kalapisme' Masyarakat Kota
loading...
A
A
A
Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Program Magister KPI UIN Jakarta
DEMAM sepeda, demam tanaman, demam piknik, begitulah kondisi sebagian masyarakat kota. Ketika demam sepeda mendera, tetiba semua menjadi goweser. Bahkan, bukan hanya sepeda, produk turunannya pun membahana mulai dari seragam, helm, botol minuman, sepatu, bahkan tas dan aksesori lainnya.
Ketika demam tanaman, hal serupa terjadi. Tiba-tiba menjadi banyak yang paham tanaman. Atau, menjadi pemburu tanaman. Membicarakan tanaman, mengunggah sedang belanja tanaman, bahkan memviralkan barter tanaman dengan barang yang mahal.
Di tempat lain, ada yang rela antre berjam-jam untuk menjadi pembeli pertama (meski bukan nomor satu) sebuah gawai. Atau, bahkan dalam situasi pandemi, orang rela berkerumun hanya untuk menjadi saksi penutupan sebuah gerai cepat saji.
Jika didalami lebih jauh, gejala sebagian masyarakat kota saat ini didesain untuk menjadi entitas yang mengalami demam akan suatu produk. Produk-produk dibuat dan kemudian dipasarkan untuk menghasilkan pengikut. Dengan adanya para loyalis konsumen ini, maka keberlanjutan suatu produk akan terjaga—dan citra sebuah produk akan semakin meningkat.
Sementara itu, para pengikut produk ini kemudian membangun citra sendiri terhadap produknya. Di dalam kehidupan mereka, ujungnya ada semacam keterhubungan antara produk dan dirinya. Produk-produk diberikan nyawa sehingga model relasinya sudah melampaui relasi subjek-objek lagi. Proses objektivasi relasional ini seakan-akan mengangkat suatu produk menjadi sesuatu yang lain, yang akhirnya seperti subjek manusia.
Ketika sudah sampai pada taraf relasi yang emosional, akhirnya manusia melakukan tindakan-tindakan yang kadang di luar nalar rasional. Tindakan-tindakan ini seperti semakin mendapatkan pembenaran karena adanya pengakuan eksistensial di luar sana, yang diproses melalui suatu ekspose menggunakan media sosial. Ekstraksi media sosial dalam menghubungkan manusia yang irrasional dengan produk dan kemudian mendapatkan pengikutnya, menyebabkan negasi atas tindakan irrasional itu seperti tidak berlaku lagi.
Tindakan ini, jika kemudian semakin dilakukan berulang, sering dan terus menerus, bisa dikatakan sebagai suatu ekspresi kalap. Kalap sendiri dalam KBBI diartikan sebagai (keadaan) lupa diri atau bingung, dan (bahkan) gila. Artinya, ekspresi ini hadir pada seseorang yang terlihat tidak memiliki kesadaran sepenuhnya atas apa yang dilakukannya.
Celakanya, tindakan kalap itu seperti dijadikan standar untuk mengulang lagi dan lagi. Begitu seterusnya. Jika sudah seperti ini, mereka yang dengan senang dan riang gembira melakukannya bisa disebut sebagai “kalapisme”.
Sebagaimana “isme” yang lain, kalapisme seperti memiliki penganut atau pengikutnya. Para kalapisme akan melakukan tindakan apa pun yang menurut kerangka rasionalitas mereka masuk di akal. Coba saja buktikan, untuk apa menghadiri penutupan sebuah gerai makanan cepat saji bahkan sampai mengabaikan protokol kesehatan. Atau, untuk apa sampai berkerumun dari pagi buta agar dapat produk ponsel baru. Semua ada penjelasannya di hadapan para pelaku, yang bagi sebagian dari kita justru terkesan aneh.
Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Program Magister KPI UIN Jakarta
DEMAM sepeda, demam tanaman, demam piknik, begitulah kondisi sebagian masyarakat kota. Ketika demam sepeda mendera, tetiba semua menjadi goweser. Bahkan, bukan hanya sepeda, produk turunannya pun membahana mulai dari seragam, helm, botol minuman, sepatu, bahkan tas dan aksesori lainnya.
Ketika demam tanaman, hal serupa terjadi. Tiba-tiba menjadi banyak yang paham tanaman. Atau, menjadi pemburu tanaman. Membicarakan tanaman, mengunggah sedang belanja tanaman, bahkan memviralkan barter tanaman dengan barang yang mahal.
Di tempat lain, ada yang rela antre berjam-jam untuk menjadi pembeli pertama (meski bukan nomor satu) sebuah gawai. Atau, bahkan dalam situasi pandemi, orang rela berkerumun hanya untuk menjadi saksi penutupan sebuah gerai cepat saji.
Jika didalami lebih jauh, gejala sebagian masyarakat kota saat ini didesain untuk menjadi entitas yang mengalami demam akan suatu produk. Produk-produk dibuat dan kemudian dipasarkan untuk menghasilkan pengikut. Dengan adanya para loyalis konsumen ini, maka keberlanjutan suatu produk akan terjaga—dan citra sebuah produk akan semakin meningkat.
Sementara itu, para pengikut produk ini kemudian membangun citra sendiri terhadap produknya. Di dalam kehidupan mereka, ujungnya ada semacam keterhubungan antara produk dan dirinya. Produk-produk diberikan nyawa sehingga model relasinya sudah melampaui relasi subjek-objek lagi. Proses objektivasi relasional ini seakan-akan mengangkat suatu produk menjadi sesuatu yang lain, yang akhirnya seperti subjek manusia.
Ketika sudah sampai pada taraf relasi yang emosional, akhirnya manusia melakukan tindakan-tindakan yang kadang di luar nalar rasional. Tindakan-tindakan ini seperti semakin mendapatkan pembenaran karena adanya pengakuan eksistensial di luar sana, yang diproses melalui suatu ekspose menggunakan media sosial. Ekstraksi media sosial dalam menghubungkan manusia yang irrasional dengan produk dan kemudian mendapatkan pengikutnya, menyebabkan negasi atas tindakan irrasional itu seperti tidak berlaku lagi.
Tindakan ini, jika kemudian semakin dilakukan berulang, sering dan terus menerus, bisa dikatakan sebagai suatu ekspresi kalap. Kalap sendiri dalam KBBI diartikan sebagai (keadaan) lupa diri atau bingung, dan (bahkan) gila. Artinya, ekspresi ini hadir pada seseorang yang terlihat tidak memiliki kesadaran sepenuhnya atas apa yang dilakukannya.
Celakanya, tindakan kalap itu seperti dijadikan standar untuk mengulang lagi dan lagi. Begitu seterusnya. Jika sudah seperti ini, mereka yang dengan senang dan riang gembira melakukannya bisa disebut sebagai “kalapisme”.
Sebagaimana “isme” yang lain, kalapisme seperti memiliki penganut atau pengikutnya. Para kalapisme akan melakukan tindakan apa pun yang menurut kerangka rasionalitas mereka masuk di akal. Coba saja buktikan, untuk apa menghadiri penutupan sebuah gerai makanan cepat saji bahkan sampai mengabaikan protokol kesehatan. Atau, untuk apa sampai berkerumun dari pagi buta agar dapat produk ponsel baru. Semua ada penjelasannya di hadapan para pelaku, yang bagi sebagian dari kita justru terkesan aneh.