Puasa dan Perilaku Antinarsistik
loading...
A
A
A
Thobib Al Asyhar
Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kemenag, Dosen Pascasarjana Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia
APAKAH ada hubungan antara puasa dan narsisme? Pertanyaan sederhana, tapi tidak semua orang mampu menjawab. Mari kita cermati pesan-pesan terdalam puasa. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw bersabda:
"Seluruh amalan kebaikan manusia akan dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: Kecuali puasa. Sebab puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makannya karena-Ku." (HR. Bukhari-Muslim).
Baca Juga: koran-sindo.com
Hadis tersebut secara implisit menegaskan bahwa puasa adalah ibadah paling rahasia, yang hanya diketahui pengamalnya dan Allah. Artinya, puasa mendidik manusia agar tidak riya' (pamer) kepada orang lain, apapun bentuknya, baik harta, kemewahan, amal sosial, ibadah, liburan di tempat-tempat mahal, maupun perilaku lainnya.
Ada hal-hal yang harus kita jaga dimana hanya kita yang tahu. Ada juga cukup diri kita dan orang-orang terdekat saja yang tahu. Karena tidak semua hal harus diketahui orang lain, bahkan kepada pasangan hidup sekalipun. Contoh sederhana, ibadah salat malam (tahajjud) yang kita lakukan, apakah perlu diberitahukan kepada orang lain? Jika niatnya beribadah kepada Allah, buat apa orang lain tahu?
Pada titik ini, selain hal-hal yang nampak dan perlu ditampakkan, dalam diri manusia ada yang tersembunyi dan harus disembunyikan. Tujuannya untuk apa? Untuk kebaikan manusia itu sendiri dan ibadah puasa dengan terang bederang telah mengajarkan itu.
Sesuatu yang nampak dari diri kita adalah perbuatan fisik yang tidak semuanya harus "dinampakkan". Sementara perilaku yang tak nampak adalah kerja-kerja pikiran dan hati. Apalagi menyangkut kerja-kerja spiritual, seperti beribadah dan berdoa. Bisa dibayangkan jika setiap orang "memperlihatkan" atau memamerkan semua hal tentangnya. Apa jadinya jika setiap orang dapat "melihat" isi pikiran dan hati orang lain? Dipastikan hal tersebut bisa menimbulkan kekacauan.
Perilaku pamer (riya') sering dilakukan orang-orang dengan menunjukkan foto-foto narsistik di media sosial agar orang lain tahu. Fenomena itu biasa disebut flexing atau pamer kekayaan dan kemewahan gaya hidup dengan tujuan mendapatkan pengakuan (pujian) orang lain bahwa mereka adalah kaya harta, mampu, terhormat, pintar, eksklusif, "berhati mulia", dan banyak lagi seperti yang terjadi belakangan ini.
Tahukah kita, perilaku pamer (riya') dan narsistik itu dikecam oleh semua agama, apapun agamanya. Selain menodai nilai-nilai "ketawadluan" atau kerendahhatian, juga melukai hati mereka yang tidak mampu. Rasulullah pernah mengingatkan agar kita tidak riya' atas nikmat yang kita terima. Memperoleh nikmat saja bisa menimbulkan iri, apalagi pamer kemewahan. Dalam hadisnya Rasulullah bersabda: sesungguhnya setiap nikmat (yang kita peroleh) "mengundang" kecemburuan atau hasad dari orang lain. (HR. Thabrani).
Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kemenag, Dosen Pascasarjana Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia
APAKAH ada hubungan antara puasa dan narsisme? Pertanyaan sederhana, tapi tidak semua orang mampu menjawab. Mari kita cermati pesan-pesan terdalam puasa. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw bersabda:
"Seluruh amalan kebaikan manusia akan dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: Kecuali puasa. Sebab puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makannya karena-Ku." (HR. Bukhari-Muslim).
Baca Juga: koran-sindo.com
Hadis tersebut secara implisit menegaskan bahwa puasa adalah ibadah paling rahasia, yang hanya diketahui pengamalnya dan Allah. Artinya, puasa mendidik manusia agar tidak riya' (pamer) kepada orang lain, apapun bentuknya, baik harta, kemewahan, amal sosial, ibadah, liburan di tempat-tempat mahal, maupun perilaku lainnya.
Ada hal-hal yang harus kita jaga dimana hanya kita yang tahu. Ada juga cukup diri kita dan orang-orang terdekat saja yang tahu. Karena tidak semua hal harus diketahui orang lain, bahkan kepada pasangan hidup sekalipun. Contoh sederhana, ibadah salat malam (tahajjud) yang kita lakukan, apakah perlu diberitahukan kepada orang lain? Jika niatnya beribadah kepada Allah, buat apa orang lain tahu?
Pada titik ini, selain hal-hal yang nampak dan perlu ditampakkan, dalam diri manusia ada yang tersembunyi dan harus disembunyikan. Tujuannya untuk apa? Untuk kebaikan manusia itu sendiri dan ibadah puasa dengan terang bederang telah mengajarkan itu.
Sesuatu yang nampak dari diri kita adalah perbuatan fisik yang tidak semuanya harus "dinampakkan". Sementara perilaku yang tak nampak adalah kerja-kerja pikiran dan hati. Apalagi menyangkut kerja-kerja spiritual, seperti beribadah dan berdoa. Bisa dibayangkan jika setiap orang "memperlihatkan" atau memamerkan semua hal tentangnya. Apa jadinya jika setiap orang dapat "melihat" isi pikiran dan hati orang lain? Dipastikan hal tersebut bisa menimbulkan kekacauan.
Perilaku pamer (riya') sering dilakukan orang-orang dengan menunjukkan foto-foto narsistik di media sosial agar orang lain tahu. Fenomena itu biasa disebut flexing atau pamer kekayaan dan kemewahan gaya hidup dengan tujuan mendapatkan pengakuan (pujian) orang lain bahwa mereka adalah kaya harta, mampu, terhormat, pintar, eksklusif, "berhati mulia", dan banyak lagi seperti yang terjadi belakangan ini.
Tahukah kita, perilaku pamer (riya') dan narsistik itu dikecam oleh semua agama, apapun agamanya. Selain menodai nilai-nilai "ketawadluan" atau kerendahhatian, juga melukai hati mereka yang tidak mampu. Rasulullah pernah mengingatkan agar kita tidak riya' atas nikmat yang kita terima. Memperoleh nikmat saja bisa menimbulkan iri, apalagi pamer kemewahan. Dalam hadisnya Rasulullah bersabda: sesungguhnya setiap nikmat (yang kita peroleh) "mengundang" kecemburuan atau hasad dari orang lain. (HR. Thabrani).