Posisi Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora di Sekolah

Kamis, 19 November 2020 - 05:10 WIB
loading...
Posisi Ilmu-Ilmu Sosial...
Anggi Afriansyah
A A A
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

IGNAS Kleden (2017) dalam prolog buku Paradigma Ilmu Pengetahuan: Ilmu-ilmu Sosial Humaniora di Indonesia merujuk pada Kuhn menyebut bahwa mahasiswa sejarah, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial dianjurkan membaca karya-karya klasik di masing-masing bidang. Dengan demikian, mereka terbiasa mengenal banyak masalah dalam bidang yang mereka pelajari, membaca berbagai kontroversi yang muncul di antara satu mazhab dengan mazhab lain, dan berbagai penyelesaian atas masalah yang dihadapi.

Poin tersebut memang disampaikan dalam konteks mahasiswa di universitas, namun juga relevan bagi para siswa di level menengah. Meskipun titik tekannya adalah bagaimana pelajaran-pelajaran sosial humaniora menjadi sangat penting untuk peserta didik agar mereka terbiasa terhadap variasi perbedaan yang ada di masyarakat. Tentu saja kedalaman materi dalam pelajaran sosial humaniora di sekolah menengah akan sangat berbeda dengan apa yang dipelajari di universitas.

Efek dari belajar ilmu sosial humaniora memang tidak bisa dilihat secara spontan. Sehingga sering kali dianggap abstrak dan tidak relevan dengan kehidupan masa kini. Apalagi, hari-hari ini, pembelajaran sering kali dikaitkan dengan relevansinya terhadap narasi industry 4.0 yang serbateknologi. Dari kacamata yang sangat pragmatis ilmu sosial humaniora yang abstrak tampak tidak ada kegunaannya.

Padahal, secanggih apa pun teknologi hanya akan destruktif jika tidak diimbangi oleh manusia-manusia yang punya nalar yang sehat dan perhatian terhadap kemanusiaan. Nilai kemanusian tentu tidak akan dapat digantikan secara mekanik oleh robot-robot. Nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, toleransi bagian penting yang dapat terus diwarisi dan dikonstruksi, salah satunya, melalui pembelajaran sosial humaniora.

Harari (2015) dalam Homo Deus: A Brief History of Tomorrow menyebutkan bahwa selama ribuan tahun sejarah penuh dengan pergolakan teknologi, ekonomi, sosial dan politik, namun satu hal tetap konstan, yaitu kemanusiaan itu sendiri. Alat dan institusi di tiap zaman sangat berbeda tetapi struktur mendalam dari pikiran manusia tetap sama. Pikiran manusia di setiap zaman dapat dipelajari oleh anak-anak di pelajaran sosial humaniora. Mereka akan menelusuri berbagai periode di mana manusia bisa menjadi sosok yang sangat kejam tetapi juga humanis pada sisi lainnya. Mereka akan belajar berbagai paradoks yang ada pada diri manusia. Semuanya merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi anak didik.

Ruang Kontemplatif
Pendidikan pada dasarnya merujuk Biesta (2013) merupakan proses dialogis yang memungkinkan adanya saling interaksi dan partisipasi. Manusia belajar melalui berbagai interaksi dan dialog. Perjumpaan dengan beragam individu di ruang pendidikan menjadi arena terbaik anak-anak belajar tentang arti hidup. Nilai-nilai dibentuk melalui perjumpaan dengan ragam kalangan tersebut.

Pelajaran-pelajaran sosial humaniora dapat menjadi ruang kontemplatif bagi para peserta didik. Melalui pelajaran-pelajaran ini, anak-anak diajak untuk menyadari posisi mereka sebagai manusia Indonesia. Dalam konteks Indonesia yang bineka, pelajaran-pelajaran sosial humaniora menjadi salah satu arena perjumpaan gagasan dengan masa lalu yang selalu aktual, isu kebangsaan dan kenegaraan, lokus-lokus yang kaya budaya, serta manusia Indonesia yang beragam. Melalui pelajaran tersebut, anak-anak diajak agar terbuka cakrawala dan imajinasinya sehingga mereka tidak menjadi pribadi yang sesat pikir dan cupet. Semua persoalan hidup, tidak dilihat dalam kacamata hitam putih.

Belajar geografi berarti mencoba menelusuri beragam tempat di Indonesia dari Sabang sampai Merauke serta beragam potensinya yang harus dijaga dan dioptimalkan oleh anak bangsa. Mempelajari sejarah berarti mempelajari bagaimana jejak langkah masa lalu sangat berarti jika kita ingin melangkah ke masa depan. Belajar sosiologi berarti berupaya memahami beragam kultur dan perbedaan cara pandangnya untuk mencari formula terbaik untuk membangun bangsa. Belajar PPKn berarti berupaya mencintai bangsa ini dengan cara kritis.

Peran Guru
Dalam praktiknya memang tidak mudah mewujudkan pembelajaran sosial humaniora di sekolah. Kapasitas guru misalnya menjadi salah satu aspek penting dalam membuat pembelajaran menjadi menarik bagi siswa. Apalagi ada kecenderungan di masa lalu di mana pelajaran sejarah, PPKn, geografi, dan sosiologi yang masuk ke rumpun ilmu sosial humaniora dianggap tidak menyenangkan pelajar maupun guru yang mengampunya. Sangat banyak hafalan soal peristiwa, lokasi, nama-nama, dan cenderung penuh muatan indoktrinatif, itu kritiknya.

Tetapi zaman sudah berubah. Laju reformasi disertai arus demokratisasi membawa dampak yang positif. Apalagi berbagai literatur semakin mudah didapat. Para guru muda yang progresif berupaya menghadirkan wajah pendidikan sosial humaniora yang lebih humanis dengan membangun pembelajaran yang aktif, kreatif, menyenangkan, serta menimbulkan daya kritis.

Para guru tersebut berupaya untuk menghadirkan berbagai situasi problematis seperti beragam isu kontroversi di masa lampau atau isu yang sedang hangat di ruang publik ke ruang kelas dan kemudian menjadikannya bahan perdebatan. Hal tersebut dilakukan untuk membangun daya kritis anak-anak. Ada juga guru-guru yang memanfaatkan media digital agar anak-anak lebih tertarik belajar.

Daya kritis dan kreativitas guru sangat berpengaruh untuk memengaruhi siswa dalam memandang berbagai persoalan. Di sinilah guru berposisi sebagai sosok yang mau menggali potensi siswa, bukan bertindak sebagai pengisi bejana kosong seperti kritik Freire (1971) pada pendidikan gaya bank. Guru juga harus menjadi teladan sebagai pembaca yang andal dari berbagai literatur. Guru membawa anak-anak ke ragam literatur, mengajak anak-anak untuk terus membaca berbagai teks untuk memahami kompleksitas peristiwa.

Romo Mangun (2020) dalam Sekolah Merdeka menantang para guru untuk mendorong anak-anak untuk aktif mengeksplorasi. Proses pendidikan menurutnya harus jauh dari perangai suka mengomando, menggurui, mengisi kuali kosong menjadi proses dialog. Pembaruan pedagogik dan didaktik yang progresif dalam perspektifnya seratus persen antiotoriter, anti-pengarahan top-down, anti-indoktrinasi, antihafalan model beo, antisikap dan suasana yang serba-menggurui.

Mengoptimalkan pembelajaran sosial humaniora sebagai arena membebaskan dan mencerahkan anak didik menjadi kontribusi penting pendidikan terhadap bangunan demokratisasi di Indonesia. Tentu perlu diimbangi dengan berbagai program di sekolah yang memberi kesempatan siswa untuk berjumpa dan berdialog dengan beragam kalangan. Dan, juga contoh aktual otoritas pemerintah yang menunjukkan sikap tidak antikritik dan sedia berdialog dengan rakyat.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1138 seconds (0.1#10.140)