Suara Minor Fraksi PDIP dan Golkar terhadap RUU Minol

Rabu, 18 November 2020 - 04:24 WIB
loading...
Suara Minor Fraksi PDIP dan Golkar terhadap RUU Minol
Golkar meminta agar RUU Minol dikonsultasikan kepada pemerintah karena khawatir tak mendapat respons baik. Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Baru di internal Badan Legislasi (Baleg) DPR , pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol ( RUU Minol ) tampak sudah mulai seret. Sejumlah fraksi mengkritisi usulan RUU yang diajukan fraksi PPP, PKS dan Partai Gerindra tersebut.

Anggota Baleg dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno misalnya, memberikan catatan pada RUU Minol. Menurut dia, pada periode 2014-2019 dia terlibat dalam Pansus RUU Minol yang diketuai Arwani Thomafi dari PPP. Masalah yang dibicarakan sebenarnya hampir sama dengan yang diperdebatkan saat ini.

”Itu sebabnya jika kita mendaur ulang satu RUU sebenarnya tidak banyak dihindari duplikasi atau pengulangan wacana pro dan kontra dan seterusnya," kata Hendrawan dalam Rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (17/11/2020).

(Baca: Daftar Miras yang Dilarang RUU Minol: Bir, Vodka, Ciu hingga Topi Miring)

Hendrawan menjelaskan, saat itu ada tiga pokok permasalahan. Pertama, nomenklatur judul. Tiga fraksi ngotot dengan judul larangan dengan referensinya UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli, sementara tujuh fraksi lain tidak setuju dengan nomenklatur larangan.

Kedua, koneksitas antar-UU, karena pemerintah tetap memegang teguh bahwa UU yang dilahirkan tentang suatu objek yang diatur harus memiliki koneksitas yang jelas, saling memperkuat UU eksisting, dalam hal ini UU Cukai.

"Karena dalam UU Cukai diperintahkan agar kita membuat PP untuk mengatur perederan, produksi, dan distribusi barang yang dikenai cukai. Suatu barang dikenai cukai karena tujuannya untuk pengendalian. Pemerintah saat itu menekankan pengendalian," paparnya.

Ketiga sanksi. Politikus PDIP mengfatakan begitu masuk ke sanksi, harus ada matriks yang clear dan objektif untuk perbuatan seperti apa yang disanksi, dan apa sanksinya. Karena tiga hal itu, kala itu dia sebagai anggota Pansus mencoba menjembatani dengan pemerintah, tapi akhirnya semua anggota mulai sibuk dengan urusan Pemilu 2019.

"Jadi, saya berharap tim pengusul menarik wisdom (kebijaksanaan) dari pengalaman masa lalu untuk diinkorporasi dalam apa yang akan kita lakukan di masa depan," harap Hendrawan.

(Baca: MUI Minta Pemerintah Tak Tunduk Keinginan Pedagang terkait RUU Minol)

Selain itu, dia mencontohkan, di Amerika Serikat (AS) ada 4 komoditas yang begitu penting dalam perekonomian negara. Karena itu AS membuat UU eksplisit tentang kapas, jagung, gandum, dan kedelai, karena empat komoditas demikian penting mempengaruhi perekonomian AS.

Kalau itu ditarik ke Indonesia, maka seharusnya Indonesia punya payung hukum yang jelas soal kelapa sawit, tembakau dan batu bara.

"Jadi, kalau kita menggunakan parameter untuk menentukan UU prioritas, selain yang ada dalam UU, kita menggunakan parameter objektif yaitu relevansi, urgensi, dan signifikansi. Mari kita, kalau relevansi it's okay, relevan membicarakan UU ini. Tapi kalau kita timbang dan timang dari dua parameter yang lain, yaitu urgensi dan signifikansi sebagai baleg yang mempunyai tugas membuat begitu banyak UU, melihat konteks dan momentumnya saya kok melihat belum masuk saat ini," tandasnya.

Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar John Kenedy Azis meminta agar sebaiknya RUU Minol dikonsultasikan dengan pemerintah terlebih dahulu. Jangan sampai ketika pembahasan sudah berjalan kemudian tidak direspons baik oleh pemerintah.

"Ini kan membuat suatu pekerjaan kita yang menurut hemat saya tidak tepat. Oleh karena itu saran saya pertama, mungkin ada baiknya dibicarakan dulu dengan pemerintah, apakah RUU ini akan ditundaklanjuti atau tidak," usul anggota Komisi VIII DPR itu.

(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1545 seconds (0.1#10.140)