Banyak Remaja Kecelakaan karena Berikut Faktor-faktor Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keselamatan berkendara di Indonesia belum menjadi budaya. Jangankan budaya, menjadi perhatian saja tidak. Setiap hari masih banyak orang yang mengabaikan keselamatan dalam berkendara. Misalnya tidak menggunakan helm, melanggar rambu lalu lintas, berkendara sambal menggunakan gawai, berboncengan motor lebih dari dua orang, dan banyak pelanggaran lain.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Hartanto menyayangkan hal tersebut. Sebab pelanggaran kecil tetap dapat membuat bahaya besar terhadap keselamatan diri sendiri maupun orang lain.
(Baca: Pandemi COVID-19, Angka Laka Lantas di Jatim Menurun 14 persen)
Pada 2015, kecelakaan lalu lintas dinobatkan sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia selain penyakit stroke, jantung, kanker, diabetes, dan tuberkulosis. Data Kemenhub pada 2017, terdapat 30.569 korban jiwa karena kecelakaan lalu lintas. Setahun kemudian, jumlahnya sebanyak 29.083 korban jiwa.
Ironisnya, data tersebut menunjukkan insiden tersebut banyak melibatkan usia produktif. “Hal ini, usia yang terlibat adalah 15-64 tahun. “Jadi luar biasa, anak-anak usia 15-an kira-kira menjadi korban yang paling banyak,” papar Hartanto dalam pentas edukasi bertransportasi bertajuk Traveling Selamat, Nyaman, dan Aman di Era New Normal yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (11/11/2020).
Selanjutnya, data dari Korlantas Polri mencatat bahwa setiap jam terdapat 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Adapun yang melibatkan pelajar, berdasarkan data Integrated Road Safety Management System (IRSMS) pada 2018, tercatat 16.276 pelajar SD, 23.050 siswa SMP, 93.076 pelajar SLTA. Sementara, untuk kategori mahasiswa sebanyak 5.510 orang.
“Angka tersebut sebetulnya selalu mengalami kenaikan sebesar 5% sejak 2017 yakni 21.933 orang. Sampai sekarang, masih banyak sekali kecelakaan yang terjadi dan dimulai tingkat SMP. Mungkin anak SMA dan mahasiswa sudah lebih dewasa sehingga semakin mengerti risiko,” ujarnya.
(Baca: Gelar Operasi Zebra 2020, Kakorlantas: Utamakan Tindakan Humanis Hindari Represif)
Ada berbagai faktor yang memicu kondisi tersebut tetapi faktor psikologis biasanya mempengaruhi mental usia remaja. Umumnya, anak usia SMP dan SMA masih mencari pengakuan dan merasa lebih bebas sehingga melupakan aturan, termasuk saat berkendara. Tetapi di sisi lain Hartanto tidak menampik bila penegakan hukum (law enforcement) masih lemah.
Masyarakat lebih suka aturan yang tidak terlalu tegas. Padahal, lanjut dia, penegakan hukum menjadi paling utama jika ingin negara lebih maju. “Law enforcement ditegakkan dimulai dari diri kita. Saya berharap sekali anak-anak kita, teman-teman SMA bangga dengan penegakan disiplin,” kata dia.
Faktor lainnya yaitu sikap permisif. Ada kalanya orang tua memberikan izin pada anaknya yang belum saatnya berkendara. Kadang masyarakat juga tidak mau menegur, mencoba memberikan edukasi terhadap lingkungan yang ada, termasuk anak-anak yang berkendara tidak memakai helm dan atribut kelengkapan lainnya.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Hartanto menyayangkan hal tersebut. Sebab pelanggaran kecil tetap dapat membuat bahaya besar terhadap keselamatan diri sendiri maupun orang lain.
(Baca: Pandemi COVID-19, Angka Laka Lantas di Jatim Menurun 14 persen)
Pada 2015, kecelakaan lalu lintas dinobatkan sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia selain penyakit stroke, jantung, kanker, diabetes, dan tuberkulosis. Data Kemenhub pada 2017, terdapat 30.569 korban jiwa karena kecelakaan lalu lintas. Setahun kemudian, jumlahnya sebanyak 29.083 korban jiwa.
Ironisnya, data tersebut menunjukkan insiden tersebut banyak melibatkan usia produktif. “Hal ini, usia yang terlibat adalah 15-64 tahun. “Jadi luar biasa, anak-anak usia 15-an kira-kira menjadi korban yang paling banyak,” papar Hartanto dalam pentas edukasi bertransportasi bertajuk Traveling Selamat, Nyaman, dan Aman di Era New Normal yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (11/11/2020).
Selanjutnya, data dari Korlantas Polri mencatat bahwa setiap jam terdapat 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Adapun yang melibatkan pelajar, berdasarkan data Integrated Road Safety Management System (IRSMS) pada 2018, tercatat 16.276 pelajar SD, 23.050 siswa SMP, 93.076 pelajar SLTA. Sementara, untuk kategori mahasiswa sebanyak 5.510 orang.
“Angka tersebut sebetulnya selalu mengalami kenaikan sebesar 5% sejak 2017 yakni 21.933 orang. Sampai sekarang, masih banyak sekali kecelakaan yang terjadi dan dimulai tingkat SMP. Mungkin anak SMA dan mahasiswa sudah lebih dewasa sehingga semakin mengerti risiko,” ujarnya.
(Baca: Gelar Operasi Zebra 2020, Kakorlantas: Utamakan Tindakan Humanis Hindari Represif)
Ada berbagai faktor yang memicu kondisi tersebut tetapi faktor psikologis biasanya mempengaruhi mental usia remaja. Umumnya, anak usia SMP dan SMA masih mencari pengakuan dan merasa lebih bebas sehingga melupakan aturan, termasuk saat berkendara. Tetapi di sisi lain Hartanto tidak menampik bila penegakan hukum (law enforcement) masih lemah.
Masyarakat lebih suka aturan yang tidak terlalu tegas. Padahal, lanjut dia, penegakan hukum menjadi paling utama jika ingin negara lebih maju. “Law enforcement ditegakkan dimulai dari diri kita. Saya berharap sekali anak-anak kita, teman-teman SMA bangga dengan penegakan disiplin,” kata dia.
Faktor lainnya yaitu sikap permisif. Ada kalanya orang tua memberikan izin pada anaknya yang belum saatnya berkendara. Kadang masyarakat juga tidak mau menegur, mencoba memberikan edukasi terhadap lingkungan yang ada, termasuk anak-anak yang berkendara tidak memakai helm dan atribut kelengkapan lainnya.
(muh)