Menebak Arah Kebijakan Ekonomi Biden
loading...
A
A
A
AMERIKA Serikat (AS) punya presiden yang baru terpilih, Joe Biden. Dalam ranah perpolitikan Negeri Paman Sam, sosok Biden bukan orang asing. Tidak kurang dari empat dekade pria kelahiran 77 tahun silam ini telah malang melintang di parlemen AS hingga akhirnya menjadi orang pertama di negeri adidaya itu.
Di pemerintahan, Joe Biden juga pernah menduduki posisi wakil presiden untuk periode 2009–2017. Kala itu dia mendampingi Presiden Barack Obama yang menjabat selama dua periode.
Perjalanan politik Biden terbilang matang. Sejak belia, tepatnya di usianya yang ke-29, dia berhasil menjadi senator termuda pada 1972. Tahun demi tahun pun dilaluinya sebagai wakil rakyat yang kemudian mengantarkannya ke jenjang karier politik lebih tinggi. Biden yang menjadi presiden AS ke-46 selama empat tahun ke depan akan bertugas didampingi wakilnya, Kamala Harris, 56 tahun.
Menilik perpaduan duet pemimpin baru AS tersebut, menarik dicermati karena mereka, terutama Biden, memiliki gaya berbeda dengan presiden sebelumnya, Donald Trump. Pada beberapa kesempatan saat kampanye, Biden dengan tegas menyatakan akan membawa AS ke arah yang lebih terbuka. Kebijakan ini kontras dengan Trump yang sangat proteksionis dan telah terbukti menjadi salah satu penyebab terjadinya perang dagang antara AS dan China. Sementara Kamala menjadi representasi dirangkulnya seluruh elemen masyarakat di AS, terutama kaum yang dianggap minoritas selama ini.
Kendati demikian, pada sebuah wawancara dengan CNN September lalu, Biden menyatakan bahwa dia akan menyerukan kepada warga AS untuk tidak membeli apa pun produk yang tidak dibuat di Amerika. Kebijakan ini serupa dengan yang telah diterapkan Trump sebelumnya dengan jargon America First dan Make America Great Again. Dengan demikian janji akan membuat Amerika lebih terbuka di bidang ekonomi sepertinya bakal sulit terwujud karena yang diutamakan tetap pasar domestiknya.
Meski dalam program ke depannya Biden akan memberikan perhatian lebih pada penanganan Covid-19, suami dari Jill Tracy Jacobs itu juga berkomitmen lebih memberdayakan industri manufaktur guna lebih menciptakan pekerjaan di negaranya. Namun ambisi ini sepertinya bakal mendapat tantangan berat mengingat para produsen AS telah lama dikenal gemar memindahkan pusat produksi ke luar negeri agar lebih menguntungkan dan untuk mencari pasar-pasar baru di negara berkembang.
Lihat saja misalnya raksasa teknologi Apple Inc yang memproduksi iPhone, Mac, dan gadget lainnya. Mereka lebih suka memproduksi merek-merek tersebut di China dengan menggandeng mitranya Foxconn Tecnology.
Kebijakan Biden lain yang patut dicermati adalah komitmennya pada isu perubahan iklim. Beberapa target telah ditetapkan presiden terpilih dari Partai Demokrat itu, antara lain memastikan AS mencapai ekonomi energi bersih 100% pada 2035 dan mencapai emisi nol, paling lambat pada 2050.
Selain itu Biden ingin agar bangunan-bangunan, sistem pengairan, transportasi, dan infrastruktur di AS bisa bertahan dari dampak perubahan iklim. Ini sejalan dengan rencana dia yang menyatakan negara adidaya itu akan bergabung kembali dengan Perjanjian Paris atas perubahan lingkungan.
Menilik target-target tersebut, di sisi lain ada peluang bagi industri-industri ramah lingkungan untuk masuk dan mengembangkan pasarnya di AS. Namun bagi negara-negara yang terbiasa menyuplai bahan bakar fosil ke AS, ini justru menjadi mimpi buruk.
Di pemerintahan, Joe Biden juga pernah menduduki posisi wakil presiden untuk periode 2009–2017. Kala itu dia mendampingi Presiden Barack Obama yang menjabat selama dua periode.
Perjalanan politik Biden terbilang matang. Sejak belia, tepatnya di usianya yang ke-29, dia berhasil menjadi senator termuda pada 1972. Tahun demi tahun pun dilaluinya sebagai wakil rakyat yang kemudian mengantarkannya ke jenjang karier politik lebih tinggi. Biden yang menjadi presiden AS ke-46 selama empat tahun ke depan akan bertugas didampingi wakilnya, Kamala Harris, 56 tahun.
Menilik perpaduan duet pemimpin baru AS tersebut, menarik dicermati karena mereka, terutama Biden, memiliki gaya berbeda dengan presiden sebelumnya, Donald Trump. Pada beberapa kesempatan saat kampanye, Biden dengan tegas menyatakan akan membawa AS ke arah yang lebih terbuka. Kebijakan ini kontras dengan Trump yang sangat proteksionis dan telah terbukti menjadi salah satu penyebab terjadinya perang dagang antara AS dan China. Sementara Kamala menjadi representasi dirangkulnya seluruh elemen masyarakat di AS, terutama kaum yang dianggap minoritas selama ini.
Kendati demikian, pada sebuah wawancara dengan CNN September lalu, Biden menyatakan bahwa dia akan menyerukan kepada warga AS untuk tidak membeli apa pun produk yang tidak dibuat di Amerika. Kebijakan ini serupa dengan yang telah diterapkan Trump sebelumnya dengan jargon America First dan Make America Great Again. Dengan demikian janji akan membuat Amerika lebih terbuka di bidang ekonomi sepertinya bakal sulit terwujud karena yang diutamakan tetap pasar domestiknya.
Meski dalam program ke depannya Biden akan memberikan perhatian lebih pada penanganan Covid-19, suami dari Jill Tracy Jacobs itu juga berkomitmen lebih memberdayakan industri manufaktur guna lebih menciptakan pekerjaan di negaranya. Namun ambisi ini sepertinya bakal mendapat tantangan berat mengingat para produsen AS telah lama dikenal gemar memindahkan pusat produksi ke luar negeri agar lebih menguntungkan dan untuk mencari pasar-pasar baru di negara berkembang.
Lihat saja misalnya raksasa teknologi Apple Inc yang memproduksi iPhone, Mac, dan gadget lainnya. Mereka lebih suka memproduksi merek-merek tersebut di China dengan menggandeng mitranya Foxconn Tecnology.
Kebijakan Biden lain yang patut dicermati adalah komitmennya pada isu perubahan iklim. Beberapa target telah ditetapkan presiden terpilih dari Partai Demokrat itu, antara lain memastikan AS mencapai ekonomi energi bersih 100% pada 2035 dan mencapai emisi nol, paling lambat pada 2050.
Selain itu Biden ingin agar bangunan-bangunan, sistem pengairan, transportasi, dan infrastruktur di AS bisa bertahan dari dampak perubahan iklim. Ini sejalan dengan rencana dia yang menyatakan negara adidaya itu akan bergabung kembali dengan Perjanjian Paris atas perubahan lingkungan.
Menilik target-target tersebut, di sisi lain ada peluang bagi industri-industri ramah lingkungan untuk masuk dan mengembangkan pasarnya di AS. Namun bagi negara-negara yang terbiasa menyuplai bahan bakar fosil ke AS, ini justru menjadi mimpi buruk.