Perpres Supervisi Diteken Jokowi, Saatnya KPK Unjuk Gigi
loading...
A
A
A
Pendiri Visi Integritas Donal Fariz menilai, ada beberapa hal yang harus di lihat setelah adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pertama, Perpres ini bukan merupakan alat mujarab untuk mengubah kondisi KPK saat ini. KPK belum akan reborn dengan pengaturan supervisi hingga pengambilalihan kasus korupsi yang levelnya perpres.
"Karena problem KPK menjadikan terjungkal adalah pada level undang-undang. Tambal sulamnya tidak cukup hanya dengan Perpres ini yang materi muatannya berbeda dengan praktik yang terjadi di lapangan," ungkap Donal.
Kedua, keberadaan dan pemberlakuan Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tidak akan terlalu mengangkat kinerja KPK karena adanya faktor permasalahan di internal KPK lebih khusus level pimpinan. Publik, kata Donal, bisa melihat ada OTT terkait dengan dugaan transaksi pejabat UNJ dengan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semestinya bisa ditangani KPK tapi malah dilimpahkan ke Mabes Polri tanpa mekanisme proses yang jelas. "Jadi problem ganda KPK ini baik di level undang-undang maupun di level pimpinan tidak akan bisa hanya diobati dengan bentuk Perpres," katanya.
Mantan koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) ini melanjutkan, ketiga, legitimasi dan landasan KPK melakukan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan hingga pengambilalihan kasus hakikatnya sudah ada di UU Nomor 30 Tahun 2020 tentang KPK (UU lama) maupun UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU baru). Keberadaan Perpres hanya memuat ulang saja. Hanya saja, kata Donal, problem yang dihadapi KPK selama ini adalah teknokrasi jabatan. (Baca juga: Bagi yang Lulus CPNS, Begini Langkah Pemberkasannya)
"Misalnya, KPK mau supervisi Polda atau Bareskrim. Dari KPK yang mau lakukan supervisi kadang-kadang penyidiknya pangkatnya lebih rendah dari pada yang di Polda atau Bareskrim. Problem teknis jabatan ini yang belum selesai selama ini sampai saat ini," paparnya.
Keempat, lanjut Donal, pelaksanaan komunikasi dan koordinasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Polri setelah adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020. Komunikasi yang dibangun antarpimpinan dan antarlembaga harus dilakukan berdasarkan kepentingan pemberantasan korupsi dan nilai antikorupsi. Jangan sampai tutur dia, ada keinginan bahwa untuk menjaga harmonisasi tiga lembaga kemudian ada banyak hal yang dinegosiasikan.
"Komunikasi yang dibangun harus tidak berkompromi dalam penanganan perkara. Menurut saya, itu yang paling esensial. Apalagi komunikasi yang dipakai para pimpinan sekarang itu komunikasi saling paham dan tidak saling ganggu. Paradigma komunikasi itu kan keliru," ujar Donal.
Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB) Fachrizal Afandi menilai, Perpres 102/2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa menjadi alat bagi Firli Bahuri dkk untuk unjuk gigi. “Ini juga bisa jadi kesempatan bagi Firli untuk meyakinkan publik kalau dia independen,” ujar Fachrizal. (Baca juga: Lockdown, Warga Prancis Eksodus Tinggalkan Paris)
Menurut dia, keberanian Firli sangat dipertaruhkan untuk dapat menjalankan Perpres 102/2020 ini dengan baik. Keberanian itu misalnya mengambil alih perkara Djoko Tjandra ataupun skandal jamuan makan oleh Kajari tempo hari. "Keberanian pimpinan KPK menjadi penting. Dalam kasus Pinangki misalnya, KPK malah nampak enggan mengambil alih meski ada desakan publik. Padahal kalau di lihat perkara Djoko Tjandra ini harusnya masuk ranah KPK," jelasnya.
Maka dari itu dibutuhkan keberanian dari Firli untuk membuktikannya bahwa KPK di bawah kepemimpinannya masih independen dan gahar dalam melakukan pemberantasan korupsi. "Kalau KPK tetap melempem dan pasif dalam perkara ini ya dugaan ini (perpres tidak akan berjalan baik) terbukti," pungkasnya.
"Karena problem KPK menjadikan terjungkal adalah pada level undang-undang. Tambal sulamnya tidak cukup hanya dengan Perpres ini yang materi muatannya berbeda dengan praktik yang terjadi di lapangan," ungkap Donal.
Kedua, keberadaan dan pemberlakuan Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tidak akan terlalu mengangkat kinerja KPK karena adanya faktor permasalahan di internal KPK lebih khusus level pimpinan. Publik, kata Donal, bisa melihat ada OTT terkait dengan dugaan transaksi pejabat UNJ dengan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semestinya bisa ditangani KPK tapi malah dilimpahkan ke Mabes Polri tanpa mekanisme proses yang jelas. "Jadi problem ganda KPK ini baik di level undang-undang maupun di level pimpinan tidak akan bisa hanya diobati dengan bentuk Perpres," katanya.
Mantan koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) ini melanjutkan, ketiga, legitimasi dan landasan KPK melakukan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan hingga pengambilalihan kasus hakikatnya sudah ada di UU Nomor 30 Tahun 2020 tentang KPK (UU lama) maupun UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU baru). Keberadaan Perpres hanya memuat ulang saja. Hanya saja, kata Donal, problem yang dihadapi KPK selama ini adalah teknokrasi jabatan. (Baca juga: Bagi yang Lulus CPNS, Begini Langkah Pemberkasannya)
"Misalnya, KPK mau supervisi Polda atau Bareskrim. Dari KPK yang mau lakukan supervisi kadang-kadang penyidiknya pangkatnya lebih rendah dari pada yang di Polda atau Bareskrim. Problem teknis jabatan ini yang belum selesai selama ini sampai saat ini," paparnya.
Keempat, lanjut Donal, pelaksanaan komunikasi dan koordinasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Polri setelah adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020. Komunikasi yang dibangun antarpimpinan dan antarlembaga harus dilakukan berdasarkan kepentingan pemberantasan korupsi dan nilai antikorupsi. Jangan sampai tutur dia, ada keinginan bahwa untuk menjaga harmonisasi tiga lembaga kemudian ada banyak hal yang dinegosiasikan.
"Komunikasi yang dibangun harus tidak berkompromi dalam penanganan perkara. Menurut saya, itu yang paling esensial. Apalagi komunikasi yang dipakai para pimpinan sekarang itu komunikasi saling paham dan tidak saling ganggu. Paradigma komunikasi itu kan keliru," ujar Donal.
Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB) Fachrizal Afandi menilai, Perpres 102/2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa menjadi alat bagi Firli Bahuri dkk untuk unjuk gigi. “Ini juga bisa jadi kesempatan bagi Firli untuk meyakinkan publik kalau dia independen,” ujar Fachrizal. (Baca juga: Lockdown, Warga Prancis Eksodus Tinggalkan Paris)
Menurut dia, keberanian Firli sangat dipertaruhkan untuk dapat menjalankan Perpres 102/2020 ini dengan baik. Keberanian itu misalnya mengambil alih perkara Djoko Tjandra ataupun skandal jamuan makan oleh Kajari tempo hari. "Keberanian pimpinan KPK menjadi penting. Dalam kasus Pinangki misalnya, KPK malah nampak enggan mengambil alih meski ada desakan publik. Padahal kalau di lihat perkara Djoko Tjandra ini harusnya masuk ranah KPK," jelasnya.
Maka dari itu dibutuhkan keberanian dari Firli untuk membuktikannya bahwa KPK di bawah kepemimpinannya masih independen dan gahar dalam melakukan pemberantasan korupsi. "Kalau KPK tetap melempem dan pasif dalam perkara ini ya dugaan ini (perpres tidak akan berjalan baik) terbukti," pungkasnya.