Perpres Supervisi Korupsi Bukan Obat Mujarab Perbaiki KPK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Visi Integritas memiliki empat catatan kritis atas supervisi kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini dan pemberlakuan Perpres Nomor 102 Tahun 2020.
Pendiri Visi Integritas, Donal Fariz menilai, ada beberapa hal yang harus dilihat setelah adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pertama, Perpres ini bukan merupakan alat mujarab untuk mengubah kondisi KPK saat ini. KPK belum akan reborn dengan pengaturan supervisi hingga pengambilalihan kasus (perkara) korupsi yang levelnya perpres.
"Karena problem KPK menjadikan terjungkal adalah pada level undang-undang. Tambal sulamnya tidak cukup hanya dengan Perpres ini yang materi muatannya berbeda dengan praktik yang terjadi di lapangan," kata Donal saat dihubungi SINDOnews, Jumat (30/10/2020) sore. ( )
Kedua, keberadaan dan pemberlakuan Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tidak akan terlalu mengangkat kinerja KPK karena adanya faktor permasalahan di internal KPK lebih khusus level pimpinan. Publik, kata Donal, bisa melihat ada OTT terkait dengan dugaan transaksi pejabat UNJ dengan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semestinya bisa ditangani KPK tapi malah dilimpahkan ke Mabes Polri tanpa mekanisme proses yang jelas.
"Jadi problem ganda KPK ini baik di level undang-undang maupun di level pimpinan tidak akan bisa hanya diobati dengan bentuk Perpres," katanya.
Ketiga, mantan koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) ini melanjutkan, legitimasi dan landasan KPK melakukan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan hingga pengambilalihan kasus (perkara) hakikatnya sudah ada di UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU lama) maupun UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU baru). Keberadaan Perpres hanya memuat ulang. Hanya, tutur Donal, problem yang dihadapi KPK selama ini adalah teknokrasi jabatan. ( )
"Misalnya, KPK mau supervisi Polda atau Bareskrim. Dari KPK yang mau lakukan supervisi kadang-kadang penyidiknya pangkatnya lebih rendah dari pada yang di Polda atau Bareskrim. Problem teknis jabatan ini yang belum selesai selama ini sampai saat ini," paparnya.
Keempat, lanjut Donal, pelaksanaan komunikasi dan koordinasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Polri setelah adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020. Komunikasi yang dibangun antarpimpinan dan antarlembaga harus dilakukan berdasarkan kepentingan pemberantasan korupsi dan nilai antikorupsi. Jangan sampai, tutur dia, ada keinginan bahwa untuk menjaga harmonisasi tiga lembaga kemudian ada banyak hal yang dinegosiasikan.
"Komunikasi yang dibangun harus tidak berkompromi dalam penanganan perkara. Menurut saya, itu yang paling esensial. Apalagi komunikasi yang dipakai para pimpinan sekarang itu komunikasi saling paham dan tidak saling ganggu. Paradigma komunikasi itu kan keliru," ujar Donal.
Lihat Juga: Gubernur Bengkulu Jadi Tersangka Jelang Pencoblosan, KPK Klaim Tak Ada Kepentingan Politik
Pendiri Visi Integritas, Donal Fariz menilai, ada beberapa hal yang harus dilihat setelah adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pertama, Perpres ini bukan merupakan alat mujarab untuk mengubah kondisi KPK saat ini. KPK belum akan reborn dengan pengaturan supervisi hingga pengambilalihan kasus (perkara) korupsi yang levelnya perpres.
"Karena problem KPK menjadikan terjungkal adalah pada level undang-undang. Tambal sulamnya tidak cukup hanya dengan Perpres ini yang materi muatannya berbeda dengan praktik yang terjadi di lapangan," kata Donal saat dihubungi SINDOnews, Jumat (30/10/2020) sore. ( )
Kedua, keberadaan dan pemberlakuan Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tidak akan terlalu mengangkat kinerja KPK karena adanya faktor permasalahan di internal KPK lebih khusus level pimpinan. Publik, kata Donal, bisa melihat ada OTT terkait dengan dugaan transaksi pejabat UNJ dengan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semestinya bisa ditangani KPK tapi malah dilimpahkan ke Mabes Polri tanpa mekanisme proses yang jelas.
"Jadi problem ganda KPK ini baik di level undang-undang maupun di level pimpinan tidak akan bisa hanya diobati dengan bentuk Perpres," katanya.
Ketiga, mantan koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) ini melanjutkan, legitimasi dan landasan KPK melakukan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan hingga pengambilalihan kasus (perkara) hakikatnya sudah ada di UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU lama) maupun UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU baru). Keberadaan Perpres hanya memuat ulang. Hanya, tutur Donal, problem yang dihadapi KPK selama ini adalah teknokrasi jabatan. ( )
"Misalnya, KPK mau supervisi Polda atau Bareskrim. Dari KPK yang mau lakukan supervisi kadang-kadang penyidiknya pangkatnya lebih rendah dari pada yang di Polda atau Bareskrim. Problem teknis jabatan ini yang belum selesai selama ini sampai saat ini," paparnya.
Keempat, lanjut Donal, pelaksanaan komunikasi dan koordinasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Polri setelah adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020. Komunikasi yang dibangun antarpimpinan dan antarlembaga harus dilakukan berdasarkan kepentingan pemberantasan korupsi dan nilai antikorupsi. Jangan sampai, tutur dia, ada keinginan bahwa untuk menjaga harmonisasi tiga lembaga kemudian ada banyak hal yang dinegosiasikan.
"Komunikasi yang dibangun harus tidak berkompromi dalam penanganan perkara. Menurut saya, itu yang paling esensial. Apalagi komunikasi yang dipakai para pimpinan sekarang itu komunikasi saling paham dan tidak saling ganggu. Paradigma komunikasi itu kan keliru," ujar Donal.
Lihat Juga: Gubernur Bengkulu Jadi Tersangka Jelang Pencoblosan, KPK Klaim Tak Ada Kepentingan Politik
(abd)