Butuh Komitmen Bangkit Lawan Covid-19

Rabu, 28 Oktober 2020 - 06:20 WIB
loading...
Butuh Komitmen Bangkit Lawan Covid-19
Dyah Rachmawati Sugiyanto
A A A
Dyah Rachmawati Sugiyanto
Pranata Humas Madya/Plt Kepala Bagian Humas dan Informasi Publik LIPI


TIGA
pernyataan diucapkan para pemudi dan pemuda Indonesia pada Minggu, 28 Oktober 1928 silam. Mereka mengaku bertumpah darah dan berbangsa satu serta menjunjung tinggi bahasa persatuan. Ketiganya tak lain ditujukan kepada Indonesia.

Semangat para pemuda dalam Kongres Pemuda II sangat patut diteladani. Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pertemuan penting di Gedung Oost-Java Bioscoop dihadiri pemudi-pemuda dari berbagai daerah. Momentum bersejarah itu pun selanjutnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Mengutip konten pada situs resmi Museum Sumpah Pemuda, diketahui pada hari pertama Kongres Pemuda II, Moehammad Jamin menyampaikan lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia. Lima faktor tersebut adalah sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Di hari kedua kongres tersebut, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa Kongres Pemuda II bukan semata tentang semangat pemuda yang dituangkan dalam naskah Sumpah Pemuda. Dari catatan di atas, tokoh-tokoh dalam kongres meyakini bahwa pendidikan menjadi faktor penting untuk membangun bangsa yang kokoh.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah pembudayaan buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia, yaitu kodrat alam dan zaman atau masyarakat (Dewantara II, 1994). Penulis memaknai pendidikan sebagai modal untuk membentuk individu berbudaya guna mendapatkan kehidupan yang sejahtera.

Pendidikan tidak melulu bicara sekolah dan kampus. Pendidikan karakter dan kebangsaan diperoleh dari berbagai pengalaman dan sumber pengetahuan. Khususnya dalam masa pandemi Covid-19 saat ini, pendidikan karakter dan kebangsaan menjadi penting.

Pendidikan karakter dalam tulisan ini menitikberatkan pada upaya untuk membangun kesadaran individu untuk bersatu dan bangkit agar selamat dari Covid-19. Hal itu senada dengan Muslich (2011) yang memandang pendidikan karakter sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter. Nilai-nilai tersebut meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan.

Pendidikan karakter dan kebangsaan yang diilhami dari semangat Sumpah Pemuda hendaknya terwujud pada kondisi bangsa Indonesia saat ini. Pendidikan karakter mengajarkan kita tentang etika dan norma kehidupan. Dalam kondisi yang memaksa kita untuk membatasi aktivitas sosial saat ini, kita diimbau untuk menjaga kesehatan diri dan keluarga, misalnya dengan tidak “nekat” melanggar protokol kesehatan.

Penerapan pendidikan karakter dimulai dari lingkungan terkecil dalam kehidupan sosial, yaitu keluarga. Tidak hanya orang tua, bahkan semua individu wajib untuk saling memberi contoh perilaku disiplin dan adaptif dalam menerapkan protokol kesehatan.

Pandemi Mengubah Perilaku
Siapa yang tidak terganggu dengan adanya pandemi korona? Semua sektor, semua lapisan masyarakat, sudah pasti merasa bosan. Kebosanan ini harus ditambah dengan kemampuan beradaptasi berbagai perubahan. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan tatap muka, tiba-tiba harus berubah daring. Bukan hanya pegawai kantoran, wiraswasta, pelajar, mahasiswa, dosen, guru, dan banyak profesi lainnya ikut terdampak.

Berbagai imbauan pemerintah menunjukkan kesatuan arah yang dituju: bebas dari pandemi. Berbagai sektor dan lapisan masyarakat saling mengingatkan untuk disiplin mematuhi protokol kesehatan. Berbagai teknologi, aplikasi daring, dan sumber informasi dikelola sebagai fasilitas untuk memberikan pengetahuan agar masyarakat terhindar dari Covid-19.

Berbagai upaya anak bangsa patut diapresiasi. Para ilmuwan Indonesia gigih berupaya menemukan vaksin virus SARS-CoV-2. Sebagai upaya meningkatkan kedisiplinan, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 baru saja meluncurkan buku pedoman perubahan perilaku. Buku tersebut selaras dengan hasil kaji cepat Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa 17% responden merasa yakin atau sangat yakin bahwa dirinya tidak akan tertular Covid-19. Hasil penelitian BPS ini pun harus diapresiasi dan ditindaklanjuti para pemangku kepentingan.

Survei yang dilakukan pada 7-14 September 2020 ini memang tidak mewakili kondisi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, survei ini telah sangat baik memberikan gambaran kondisi perilaku masyarakat saat ini, khususnya dalam hal penerapan protokol kesehatan. Berdasarkan hasil survei, diketahui hasil penghitungan efektivitas protokol kesehatan terhadap pencegahan Covid-19 ada pada level sangat efektif.

Menariknya, dari 17% responden yang total berjumlah 90.967 tersebut, didominasi oleh responden yang berusia muda dan produktif, yaitu 17-30 tahun. Hasil survei juga mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin meyakini bahwa Covid-19 berbahaya dan mudah menular. Untuk menumbuhkan perilaku kesiapsiagaan menghadapi pandemi tentu saja tidak cukup bersumber dari sebuah buku. Sebanyak 17% responden yang disinggung di atas bisa jadi butuh dibekali pengetahuan tambahan.

Perkembangan zaman memengaruhi perubahan dalam kehidupan sosial. Disadari atau tidak oleh setiap individu, perubahan perilaku publik dalam masa pandemi Covid-19 saat ini muncul. Mulai dari membiasakan menjaga jarak, memastikan kebersihan diri dan lingkungan sekitar, membuat prioritas aktivitas, hingga berstrategi agar hubungan baik dengan sesama tetap terjalin. Perilaku disiplin dan adaptif tumbuh didasari oleh kesadaran. Kesadaran yang tidak menunggu adanya sanksi atas kelalaian. Kesadaran untuk mau berubah, bersatu, bangkit, dan selamat dari Covid-19.

Kita tidak boleh pasrah pada kondisi saat ini. Pendidikan karakter yang mengiringi perubahan perilaku disiplin dan adaptif harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kemauan untuk bersatu dan bangkit harus terus digelorakan. Bukan hanya karena tren memperingati Sumpah Pemuda, tetapi karena kesadaran diri yang kuat dan terpelihara.

Janji, Ikrar, Sumpah
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Demikian isi Sumpah Pemuda. Pernyataan yang sarat akan komitmen tersebut bukan tidak mungkin diterapkan sebagai upaya pengurangan risiko pandemi saat ini.

Pola pikir (mindset) individu dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman. Pola pikir juga terbentuk dari interaksi, bagaimana individu-individu memaknai suatu peristiwa. Melalui semangat kebangsaan, patriotik, serta semangat para pemudi-pemuda bukan tidak tercermin dalam suatu sikap kedisiplinan diri agar terhindar dari pandemi.

Semangat sumpah pemuda yang tertanam dalam mindset dan tindak tutur kiranya memberikan tawaran kuat bagi bangsa Indonesia, untuk keluar dari pandemi Covid-19. Sumpah Pemuda menggambarkan bangsa bersatu dan berbudaya. Budaya santun, gotong royong, dan tepa selira menjadi cirinya.

Janji adalah suatu kesanggupan untuk melakukan atau memutuskan sesuatu demi sebuah kepercayaan. Ikrar adalah janji yang sungguh-sungguh. Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk meyakinkan sebuah kesungguhan.

Janji tinggal janji, ikrar hanya di bibir, dan sumpah hanya jadi lelucon apabila tidak didukung dengan kesadaran moral. Janji, ikrar, dan sumpah adalah komitmen. Komitmen individu terhadap norma yang berlaku dan diri sendiri. Komitmen dan tekad untuk tujuan besar, yang berawal dari kesadaran dari dalam diri kita sendiri.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1041 seconds (0.1#10.140)