Kekecewaan Milenial terhadap Demokrasi adalah Senjakala Parpol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kekecewaan kelompok usia muda atau biasa disebut kaum milenial terhadap sistem demokrasi merupakan tamparan keras terhadap praktik bernegara di Indonesia. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta sejumlah praktik buruk membuat mereka tidak percaya lagi dengan demokrasi .
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Hurriyah mengatakan sebenarnya kelompok anak muda ini mempunyai idealisme. Mereka mempunyai keinginan kuat untuk mendobrak sistem.
Meskipun kerap distigma apatis terhadap politik, mereka kerap muncul pada momentum-momentum penting. Misalnya, anak-anak muda turun berdemonstrasi di sejumlah daerah untuk memprotes pengesahan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Cipta Kerja.
Harus diakui gaya milenial memang ada yang berbeda. Suara mereka tidak hanya di jalanan, tetapi sangat nyaring di berbagai platform media sosial (medsos). “Walaupun mereka tidak tertarik dengan dunia politik. Ini kan kontras,” ucap Hurriyah dihubungi Minggu (25/10/2020).
(Baca: Dua Alasan Utama Milenial Kecewa Terhadap Demokrasi)
Dia mewanti-wanti dampak negatif dari ketidaktarikan mereka terhadap politik. Dalam benak mereka, tumbuh persepsi politik itu kotor. Para milenial itu, menurutnya, sangat antipati terhadap partai politik (parpol).
Pada tahun 2014, gerakan relawan itu begitu masif mendukung calon presiden. Namun, dukungan itu tidak sebanding dengan yang diberikan ke parpol. “Bagaimana tren Jokowi pada 2014 suaranya tinggi. PDIP tidak tinggi banget. ya segitu-gitu saja,” katanya.
Gerakan anak muda di panggung politik dunia tengah tumbuh. Di Malaysia, ada gerakan Bersih 4. Di Hongkong, ada umbrella movement yang dimotori anak-anak muda.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Hurriyah menjelaskan kekecewaan para milenial terhadap demokrasi menjadi tamparan keras bagi parpol. Parpol akan sulit menggaet kader dan mendapatkan dukungan.
“Anak-anak muda itu itu penting sebagai sumber rekrutmen politik. Kalau tidak (dilakukan), parpol akan menjadi senja. Mungkin anak-anak mudah akan lebih banyak mengejar ekonomi,” tuturnya.
Terbuka kemungkinan mereka akan masuk ke ranah politik setelah mapan. Namun, tidak bisa dipastikan masuknya, apakah masih berusia muda atau sudah tua, baru ikut bertarung di dunia politik. “Setelah modal ekonomi cukup baru masuk politik. Jadi trennya bukan lewat partai. (Mungkin) Pas pilkada maju,” pungkasnya.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Hurriyah mengatakan sebenarnya kelompok anak muda ini mempunyai idealisme. Mereka mempunyai keinginan kuat untuk mendobrak sistem.
Meskipun kerap distigma apatis terhadap politik, mereka kerap muncul pada momentum-momentum penting. Misalnya, anak-anak muda turun berdemonstrasi di sejumlah daerah untuk memprotes pengesahan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Cipta Kerja.
Harus diakui gaya milenial memang ada yang berbeda. Suara mereka tidak hanya di jalanan, tetapi sangat nyaring di berbagai platform media sosial (medsos). “Walaupun mereka tidak tertarik dengan dunia politik. Ini kan kontras,” ucap Hurriyah dihubungi Minggu (25/10/2020).
(Baca: Dua Alasan Utama Milenial Kecewa Terhadap Demokrasi)
Dia mewanti-wanti dampak negatif dari ketidaktarikan mereka terhadap politik. Dalam benak mereka, tumbuh persepsi politik itu kotor. Para milenial itu, menurutnya, sangat antipati terhadap partai politik (parpol).
Pada tahun 2014, gerakan relawan itu begitu masif mendukung calon presiden. Namun, dukungan itu tidak sebanding dengan yang diberikan ke parpol. “Bagaimana tren Jokowi pada 2014 suaranya tinggi. PDIP tidak tinggi banget. ya segitu-gitu saja,” katanya.
Gerakan anak muda di panggung politik dunia tengah tumbuh. Di Malaysia, ada gerakan Bersih 4. Di Hongkong, ada umbrella movement yang dimotori anak-anak muda.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Hurriyah menjelaskan kekecewaan para milenial terhadap demokrasi menjadi tamparan keras bagi parpol. Parpol akan sulit menggaet kader dan mendapatkan dukungan.
“Anak-anak muda itu itu penting sebagai sumber rekrutmen politik. Kalau tidak (dilakukan), parpol akan menjadi senja. Mungkin anak-anak mudah akan lebih banyak mengejar ekonomi,” tuturnya.
Terbuka kemungkinan mereka akan masuk ke ranah politik setelah mapan. Namun, tidak bisa dipastikan masuknya, apakah masih berusia muda atau sudah tua, baru ikut bertarung di dunia politik. “Setelah modal ekonomi cukup baru masuk politik. Jadi trennya bukan lewat partai. (Mungkin) Pas pilkada maju,” pungkasnya.
(muh)