Politik Uang di Pilkades, KPK Sebut Harganya Capai Rp1 Juta Per Suara

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 14:16 WIB
loading...
Politik Uang di Pilkades, KPK Sebut Harganya Capai Rp1 Juta Per Suara
KPK mengungkap praktik jual-beli suara di tingkat Pilkades. Nilainya kini mencapai Rp1 juta per suara. FOTO/ILUSTRASI/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Giri Suprapdiono mengungkap praktik jual-beli suara di tingkat pemilihan kepala desa ( Pilkades ). Giri menilai politik uang dalam pemilihan kepala desa sudah ada sejak zaman dahulu.

Giri bercerita bahwa ia dulu pernah mengalami adanya jual-beli suara ketika pemilihan kepala desa di kampungnya. Saat itu, kata Giri, harga satu suara per-orang di desanya senilai Rp25.000.

"Kalau ada pemilihan kepala desa simbolnya kelapa, pisang, kemudian menjelang pemilihan suara ada pembelian suara yang lumayan besar, zaman saya kecil nilainya itu Rp25.000 per orang," kata Giri saat membuka program Sekolah Pemuda Desa 2020 yang ditayangkan oleh akun Youtube KPK, Jumat (23/10/2020). ( )

Giri kemudian menganalisa bahwa di kampungnya ada sekitar 1.500 penduduk. Untuk bisa menjabat sebagai kepala desa, sambung Giri, maka setidaknya calon kepala desa harus bisa mengumpulkan 800 hingga 1.000 suara.

"Nah itu kalau dikalikan bisa Rp200 juta sampai Rp250 juta. Walaupun kepala desa engga punya gaji. Dia hanya punya bengkok (lahan garapan), bengkoknya kalau enggak salah 8 hektare, kalau saya hitung pendapatannya hanya beberapa," ungkapnya.

Lebih lanjut, Giri berpandangan bahwa jual-beli suara untuk jadi kepala desa itu masih ada hingga saat ini. Bahkan, dari hasil penelusuran Giri, harga satu suara untuk jadi kepala desa saat ini, nilainya mencapai Rp1 Juta. ( )

"Sekarang, kepala desa sudah berani menawar suara itu bisa sampai 1 juta. Di Luwu, itu orang sudah berani bayar Rp1 juta jadi kepala desa. Di Grobogan Rp1 juta juga, di Sumenep harganya Rp1 juta. Gede ya. Ini ongkos politik di desa," ujar Giri.

"Jadi, waktu itu saya bercita-cita, apa yang terjadi di desa ini kemudian hilang, tapi ternyata ini merembet ke kota dengan aturan sistem Pilkada yang dulu dipilih oleh DPRD kemudian kita ingin demokrasi dipilih langsung, tapi kita lupa sistemnya," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1671 seconds (0.1#10.140)