Pendidikan Berbasis Masyarakat
loading...
A
A
A
Ade Mulyono
Pemerhati Pendidikan
"Education is a form of intervention in the world"- Paulo Freire
BAGAIMANA masa depan pendidikan di tengah intaian pandemi Covid-19? Tidak bisa dimungkiri penyebaran virus korona (Covid-19) memaksa dunia pendidikan harus berpikir keras mencari metode yang tepat untuk memastikan aktivitas pembelajaran terus bergulir. Lebih dari itu, memastikan proses pembelajaran dilakukan atas dasar humanisasi, bukan malah sebaliknya: dehumanisasi. Namun demikian, pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah dengan mekanisme daring--dengan segala kekurangannya--menjadi pilihan tunggal yang diinstruksikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Dari situ berbagai persoalan muncul silih berganti, dari yang teknis hingga nonteknis. Mulai dari minimnya infrastruktur digital hingga ketidakmampuan peserta didik, orang tua, dan guru mengimplementasikan belajar dari rumah dengan mekanisme daring. Perlu diketahui, pembelajaran berbasis daring bukanlah pendidikan arus utama yang kita kenali dalam sistem pendidikan dewasa ini. Konsekuensinya, pembelajaran dengan mekanisme daring memakan korban--terutama dari keluarga kelas sosial bawah yang babak belur dipaksa menerima penyeragaman (uniformitas) dalam pembelajaran.
Sebab, pendidikan dengan model daring dalam praktiknya masih layaknya belajar di kelas-kelas sekolah. Antara peserta didik dan guru yang dipertemukan di depan layar--di dunia kedua, hanyalah teknisnya. Dalam praktiknya peserta didik masih terbelenggu oleh kurikulum; aturan, penilaian, pengawasan, dan penyeragaman. Pendeknya, pendidikan jarak jauh hanya memindahkan kelas-kelas sekolah ke dalam rumah peserta didik. Pertanyaannya mengapa sistem pendidikan masih mekanistis dan sentralistik di tengah kepungan pandemi?
Dalam situasi tanpa kepastian seharusnya lembaga pendidikan menurunkan egonya. Pembelajaran di rumah yang memaksa peserta didik menundukkan kepalanya berjam-jam menatap layar gadget ialah hegemoni digitalisasi dalam dunia pendidikan. Ketidaksetaraan dan disparitas terjadi luar biasa antara kelas sosial atas dan bawah dalam mengakses pembelajaran digital tersebut. Pemerintah justru meninabobokkan peserta didik dengan membagi-bagikan kouta internet. Seakan-akan dengan cara itu persoalan fundamental pendidikan dapat diatasi. Dengan demikian, atas nama transformasi digital yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan secara serampangan, hanya menyebabkan peserta didik bunuh diri secara spiritual.
Filosofis Pendidikan Organis
Oleh karena persoalan itu, perlunya mengonstruksi kembali pendidikan berbasis masyarakat organis. Pendidikan berbasis masyarakat organis sendiri merupakan antitesis dari pendidikan yang sentralistik--yang kadang dicurigai sebagai counter-hegemony dalam perspektif Gramscian. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, model pendidikan berbasis masyarakat sudah terlebih dahulu mengakar jauh sebelum pendidikan formal diselenggarakan oleh negara. Salah satu pendidikan berbasis masyarakat organis yang masih bertahan hingga sekarang ialah pesantren.
Meski kini ungkapan pendidikan berbasis masyarakat sepertinya tidak mempunyai makna apa pun yang membekas di hati dan pikiran, jika diucapkan oleh politis, birokrat pendidikan, dan pemimpin organisasi pendidikan. Pendidikan organis yang menawarkan kemandirian, partisipasi keluarga dan masyarakat--yang mengutamakan pembelajaran character building seakan-akan mendapat cap “sudah tidak relevan dengan kondisi zaman”. Ringkasnya tidak fungsional. Alasannya, karena tidak sejalan dengan pendidikan kontemporer, yang gemar mengukur keberhasilan dan kemanfaatan pendidikan dengan dunia industri.
Dengan kata lain, peran masyarakat (society) dinihilkan dalam pendidikan. Masyarakat seperti komunitas "asing" bagi lembaga pendidikan seperti sekolah. Sejatinya hubungan antara masyarakat dan lembaga pendidikan tidak terpisahkan. Masyarakat dan sekolah mempunyai tanggung jawab yang sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan cara itu, ada hubungan timbal balik antara masyarakat dan sekolah. Sebab, bagaimanapun sekolah membutuhkan dukungan dan aspirasi dari masyarakat. Sikap kepedulian itu yang akan menguatkan sekolah sebagai lembaga yang berdiri di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, di tengah kepungan pandemi, pendidikan yang memungkinkan untuk diterapkan ialah pendidikan berbasis masyarakat organis. Sebab, dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat organis, maka instrumen yang memenuhi syarat minimal ialah keluarga. Seperti diketahui keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat setelah negara. Seharusnya pada masa pandemi seperti ini fungsi pendidikan dalam keluarga dikampanyekan kembali. Mengingat keluargalah yang mempunyai kepentingan secara emosional, psikografik, dan demografik.
Pemerhati Pendidikan
"Education is a form of intervention in the world"- Paulo Freire
BAGAIMANA masa depan pendidikan di tengah intaian pandemi Covid-19? Tidak bisa dimungkiri penyebaran virus korona (Covid-19) memaksa dunia pendidikan harus berpikir keras mencari metode yang tepat untuk memastikan aktivitas pembelajaran terus bergulir. Lebih dari itu, memastikan proses pembelajaran dilakukan atas dasar humanisasi, bukan malah sebaliknya: dehumanisasi. Namun demikian, pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah dengan mekanisme daring--dengan segala kekurangannya--menjadi pilihan tunggal yang diinstruksikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Dari situ berbagai persoalan muncul silih berganti, dari yang teknis hingga nonteknis. Mulai dari minimnya infrastruktur digital hingga ketidakmampuan peserta didik, orang tua, dan guru mengimplementasikan belajar dari rumah dengan mekanisme daring. Perlu diketahui, pembelajaran berbasis daring bukanlah pendidikan arus utama yang kita kenali dalam sistem pendidikan dewasa ini. Konsekuensinya, pembelajaran dengan mekanisme daring memakan korban--terutama dari keluarga kelas sosial bawah yang babak belur dipaksa menerima penyeragaman (uniformitas) dalam pembelajaran.
Sebab, pendidikan dengan model daring dalam praktiknya masih layaknya belajar di kelas-kelas sekolah. Antara peserta didik dan guru yang dipertemukan di depan layar--di dunia kedua, hanyalah teknisnya. Dalam praktiknya peserta didik masih terbelenggu oleh kurikulum; aturan, penilaian, pengawasan, dan penyeragaman. Pendeknya, pendidikan jarak jauh hanya memindahkan kelas-kelas sekolah ke dalam rumah peserta didik. Pertanyaannya mengapa sistem pendidikan masih mekanistis dan sentralistik di tengah kepungan pandemi?
Dalam situasi tanpa kepastian seharusnya lembaga pendidikan menurunkan egonya. Pembelajaran di rumah yang memaksa peserta didik menundukkan kepalanya berjam-jam menatap layar gadget ialah hegemoni digitalisasi dalam dunia pendidikan. Ketidaksetaraan dan disparitas terjadi luar biasa antara kelas sosial atas dan bawah dalam mengakses pembelajaran digital tersebut. Pemerintah justru meninabobokkan peserta didik dengan membagi-bagikan kouta internet. Seakan-akan dengan cara itu persoalan fundamental pendidikan dapat diatasi. Dengan demikian, atas nama transformasi digital yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan secara serampangan, hanya menyebabkan peserta didik bunuh diri secara spiritual.
Filosofis Pendidikan Organis
Oleh karena persoalan itu, perlunya mengonstruksi kembali pendidikan berbasis masyarakat organis. Pendidikan berbasis masyarakat organis sendiri merupakan antitesis dari pendidikan yang sentralistik--yang kadang dicurigai sebagai counter-hegemony dalam perspektif Gramscian. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, model pendidikan berbasis masyarakat sudah terlebih dahulu mengakar jauh sebelum pendidikan formal diselenggarakan oleh negara. Salah satu pendidikan berbasis masyarakat organis yang masih bertahan hingga sekarang ialah pesantren.
Meski kini ungkapan pendidikan berbasis masyarakat sepertinya tidak mempunyai makna apa pun yang membekas di hati dan pikiran, jika diucapkan oleh politis, birokrat pendidikan, dan pemimpin organisasi pendidikan. Pendidikan organis yang menawarkan kemandirian, partisipasi keluarga dan masyarakat--yang mengutamakan pembelajaran character building seakan-akan mendapat cap “sudah tidak relevan dengan kondisi zaman”. Ringkasnya tidak fungsional. Alasannya, karena tidak sejalan dengan pendidikan kontemporer, yang gemar mengukur keberhasilan dan kemanfaatan pendidikan dengan dunia industri.
Dengan kata lain, peran masyarakat (society) dinihilkan dalam pendidikan. Masyarakat seperti komunitas "asing" bagi lembaga pendidikan seperti sekolah. Sejatinya hubungan antara masyarakat dan lembaga pendidikan tidak terpisahkan. Masyarakat dan sekolah mempunyai tanggung jawab yang sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan cara itu, ada hubungan timbal balik antara masyarakat dan sekolah. Sebab, bagaimanapun sekolah membutuhkan dukungan dan aspirasi dari masyarakat. Sikap kepedulian itu yang akan menguatkan sekolah sebagai lembaga yang berdiri di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, di tengah kepungan pandemi, pendidikan yang memungkinkan untuk diterapkan ialah pendidikan berbasis masyarakat organis. Sebab, dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat organis, maka instrumen yang memenuhi syarat minimal ialah keluarga. Seperti diketahui keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat setelah negara. Seharusnya pada masa pandemi seperti ini fungsi pendidikan dalam keluarga dikampanyekan kembali. Mengingat keluargalah yang mempunyai kepentingan secara emosional, psikografik, dan demografik.