Peranan Santri pada Masa Pandemi

Kamis, 22 Oktober 2020 - 06:48 WIB
loading...
Peranan Santri pada...
Arifi Saiman
A A A
Arifi Saiman
Ketua Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Zona Amerika, berdomisili di New York, Amerika Serikat


HARI Santri Nasional (HSN) mulai diperingati untuk pertama kalinya pada 22 Oktober 2015. Penetapan 22 Oktober sebagai HSN merupakan refleksi mengenang semangat heroik Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Melalui resolusi jihadnya, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada umat Islam untuk berjihad melawan pasukan kolonial Belanda yang mengatasnamakan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia. Semangat jihad tersebut tentunya masih relevan sekiranya dilakukan pada masa pandemi saat ini meski berbeda secara substansi jihadnya. Situasi pandemi virus korona baru (Covid-19) yang berimplikasi luar biasa terhadap kehidupan manusia di muka bumi merupakan ladang jihad untuk membantu sesama keluar dari pandemi ini.

Momentum Kebersamaan
Peringatan HSN merupakan momentum penting bagi kaum santri untuk secara bersama menghadapi Covid-19 yang menyengsarakan kehidupan umat. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, kaum santri Indonesia sudah semestinya diberikan peran dalam membantu penanganan Covid-19 di negeri ini.

Pengendalian Covid-19 tidak cukup bertumpu pada pemberlakuan protokol kesehatan semata. Tanpa dukungan dan kesadaran warga masyarakat tentang arti penting protokol kesehatan, maka protokol kesehatan akan kehilangan taji. Kekurangpatuhan warga masyarakat terhadap protokol kesehatan didasari berbagai ragam alasan sebagai justifikasi. Sebagian masyarakat boleh jadi memang tidak mengerti sama sekali atau mengerti sedikit-sedikit tentang Covid-19. Dan, sebagian lainnya boleh jadi meragukan atau sama sekali menafikan kebenaran Covid-19.

Karena itu, penanganan pandemi Covid-19 bukan sekadar mengatasi penyebaran virusnya, juga pentingnya membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait virus ini dan cara menyikapinya. Pembangkangan terhadap protokol kesehatan dan adanya persepsi keliru tentang Covid-19 juga masih kerap ditemui di sebagian kalangan masyarakat. Di sini peran serta santri dalam tataran hablum minannas patut dihadirkan dan dikedepankan untuk kemaslahatan umat pada masa pandemi Covid-19.

Kesalehan Sosial
Kaum santri yang kesehariannya identik dengan kultur kehidupan transendental, memiliki peranan penting dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial. Dengan keteladanan dan kesalehan sosialnya, santri dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam membantu mengubah paradigma, mindset, dan perilaku apatis masyarakat terkait Covid-19. Melalui pendekatan ala santri, masyarakat yang kurang paham, apatis, atau bahkan yang sama sekali tidak percaya tentang Covid-19 dapat diberikan pencerahan tentang bahaya nyata virus ini.

Peranan lain santri adalah sebagai social influencer. Peran santri dalam konteks ini dapat membantu mengomunikasikan dan mendiseminasikan secara efektif kepada masyarakat terkait kebijakan-kebijakan pemerintah menyangkut penanganan Covid-19. Betapa pun hebatnya sebuah kebijakan penanganan Covid-19, kiranya akan sulit mencapai hasil maksimal jika warga masyarakatnya kurang sepenuhnya mendukung atau kurang mematuhi kebijakan dimaksud.

Karenanya, kehadiran social influencer dari kalangan santri dipandang penting untuk membantu membumikan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19, khususnya di kalangan masyarakat muslim. Selain itu, santri dapat berperan memberikan edukasi kepada warga masyarakat mengenai pentingnya mematuhi protokol kesehatan, termasuk dalam menjaga lingkungannya agar tidak menjadi kluster Covid-19.

Peran serta santri bertujuan pula untuk meluruskan persepsi keliru sebagian masyarakat akar rumput mengenai Covid-19. Stigmatisasi Covid-19 di kalangan masyarakat menjadikan virus korona baru ini bak “virus penyakit kutukan”. Persepsi demikian boleh jadi muncul dilatarbelakangi oleh pemahaman masyarakat yang keliru dalam memaknai anjuran social distancing atau physical distancing. Persepsi demikian tentunya menjadikan mereka yang terinfeksi Covid-19 merasa terzalimi secara sosial, dan bahkan pada saat meninggal dunia pun proses pemakaman jenazah mereka pun tidak jarang menuai penolakan dari warga masyarakat setempat.

Stigmatisasi Covid-19 ini mesti segera diatasi karena dapat bersifat counterproductive terhadap misi penanganan Covid-19 itu sendiri. Dalam arti, stigmatisasi Covid-19 berpotensi mendorong mereka yang terinfeksi virus ini, termasuk mereka yang berstatus kasus suspect, kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) dan kontak erat, memilih bergeming dan menutup diri terkait kondisi kesehatan mereka. Mereka bersikap demikian karena takut mengalami bullying, dikucilkan, atau bahkan diusir dari tempat tinggal mereka. Ketidakterbukaan sikap demikian justru sangat membahayakan kesehatan warga masyarakat di lingkungan terdekat mereka.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1707 seconds (0.1#10.140)