Peranan Santri pada Masa Pandemi
loading...
A
A
A
Arifi Saiman
Ketua Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Zona Amerika, berdomisili di New York, Amerika Serikat
HARI Santri Nasional (HSN) mulai diperingati untuk pertama kalinya pada 22 Oktober 2015. Penetapan 22 Oktober sebagai HSN merupakan refleksi mengenang semangat heroik Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Melalui resolusi jihadnya, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada umat Islam untuk berjihad melawan pasukan kolonial Belanda yang mengatasnamakan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia. Semangat jihad tersebut tentunya masih relevan sekiranya dilakukan pada masa pandemi saat ini meski berbeda secara substansi jihadnya. Situasi pandemi virus korona baru (Covid-19) yang berimplikasi luar biasa terhadap kehidupan manusia di muka bumi merupakan ladang jihad untuk membantu sesama keluar dari pandemi ini.
Momentum Kebersamaan
Peringatan HSN merupakan momentum penting bagi kaum santri untuk secara bersama menghadapi Covid-19 yang menyengsarakan kehidupan umat. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, kaum santri Indonesia sudah semestinya diberikan peran dalam membantu penanganan Covid-19 di negeri ini.
Pengendalian Covid-19 tidak cukup bertumpu pada pemberlakuan protokol kesehatan semata. Tanpa dukungan dan kesadaran warga masyarakat tentang arti penting protokol kesehatan, maka protokol kesehatan akan kehilangan taji. Kekurangpatuhan warga masyarakat terhadap protokol kesehatan didasari berbagai ragam alasan sebagai justifikasi. Sebagian masyarakat boleh jadi memang tidak mengerti sama sekali atau mengerti sedikit-sedikit tentang Covid-19. Dan, sebagian lainnya boleh jadi meragukan atau sama sekali menafikan kebenaran Covid-19.
Karena itu, penanganan pandemi Covid-19 bukan sekadar mengatasi penyebaran virusnya, juga pentingnya membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait virus ini dan cara menyikapinya. Pembangkangan terhadap protokol kesehatan dan adanya persepsi keliru tentang Covid-19 juga masih kerap ditemui di sebagian kalangan masyarakat. Di sini peran serta santri dalam tataran hablum minannas patut dihadirkan dan dikedepankan untuk kemaslahatan umat pada masa pandemi Covid-19.
Kesalehan Sosial
Kaum santri yang kesehariannya identik dengan kultur kehidupan transendental, memiliki peranan penting dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial. Dengan keteladanan dan kesalehan sosialnya, santri dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam membantu mengubah paradigma, mindset, dan perilaku apatis masyarakat terkait Covid-19. Melalui pendekatan ala santri, masyarakat yang kurang paham, apatis, atau bahkan yang sama sekali tidak percaya tentang Covid-19 dapat diberikan pencerahan tentang bahaya nyata virus ini.
Peranan lain santri adalah sebagai social influencer. Peran santri dalam konteks ini dapat membantu mengomunikasikan dan mendiseminasikan secara efektif kepada masyarakat terkait kebijakan-kebijakan pemerintah menyangkut penanganan Covid-19. Betapa pun hebatnya sebuah kebijakan penanganan Covid-19, kiranya akan sulit mencapai hasil maksimal jika warga masyarakatnya kurang sepenuhnya mendukung atau kurang mematuhi kebijakan dimaksud.
Karenanya, kehadiran social influencer dari kalangan santri dipandang penting untuk membantu membumikan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19, khususnya di kalangan masyarakat muslim. Selain itu, santri dapat berperan memberikan edukasi kepada warga masyarakat mengenai pentingnya mematuhi protokol kesehatan, termasuk dalam menjaga lingkungannya agar tidak menjadi kluster Covid-19.
Peran serta santri bertujuan pula untuk meluruskan persepsi keliru sebagian masyarakat akar rumput mengenai Covid-19. Stigmatisasi Covid-19 di kalangan masyarakat menjadikan virus korona baru ini bak “virus penyakit kutukan”. Persepsi demikian boleh jadi muncul dilatarbelakangi oleh pemahaman masyarakat yang keliru dalam memaknai anjuran social distancing atau physical distancing. Persepsi demikian tentunya menjadikan mereka yang terinfeksi Covid-19 merasa terzalimi secara sosial, dan bahkan pada saat meninggal dunia pun proses pemakaman jenazah mereka pun tidak jarang menuai penolakan dari warga masyarakat setempat.
Stigmatisasi Covid-19 ini mesti segera diatasi karena dapat bersifat counterproductive terhadap misi penanganan Covid-19 itu sendiri. Dalam arti, stigmatisasi Covid-19 berpotensi mendorong mereka yang terinfeksi virus ini, termasuk mereka yang berstatus kasus suspect, kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) dan kontak erat, memilih bergeming dan menutup diri terkait kondisi kesehatan mereka. Mereka bersikap demikian karena takut mengalami bullying, dikucilkan, atau bahkan diusir dari tempat tinggal mereka. Ketidakterbukaan sikap demikian justru sangat membahayakan kesehatan warga masyarakat di lingkungan terdekat mereka.
Peranan Pendamping
Penanganan wabah Covid-19 melalui pemberlakuan protokol kesehatan, seperti penerapan physical distancing, penggunaan masker, sarung tangan dan handsanitizer, merupakan ikhtiar medis yang bersifat sementara. Ikhtiar medis sejatinya tentu adalah pengadaan program imunisasi vaksin Covid-19 secara masif seperti yang tengah dipersiapkan Indonesia saat ini.
Dalam rangka program imunisasi vaksin Covid-19 ini, selain pengembangan vaksin mandiri, Indonesia juga terus membangun kerja sama di bidang pengembangan vaksin dengan kalangan mitra pengembang vaksin di luar negeri. Kerja sama ini melibatkan perusahaan farmasi nasional bersama perusahaan farmasi mitranya di luar negeri. Tercatat beberapa kerja sama pengembangan vaksin Covid-19 telah berhasil dijalin, seperti antara PT Kalbe Farma Tbk dan Genexine Inc dari Korea Selatan, dan antara PT Bio Farma (Persero) dan Sinovac Biotech dari China.
Indonesia dilaporkan telah mengamankan sekitar 20-40 juta dosis vaksin Covid-19 untuk tahun 2020. Pengamanan vaksin Covid-19 untuk 2021 juga dilakukan oleh Indonesia, di antaranya melalui komitmen dukungan penyediaan 100 juta dosis vaksin Covid-19 oleh perusahaan farmasi asal Inggris, AstraZeneca.
Belajar dari pengalaman program imunisasi vaksin Measles rubelle (MR) yang sempat mengundang polemik dan prokontra di sejumlah kalangan masyarakat muslim beberapa tahun silam, program imunisasi vaksin Covid-19 kiranya patut disiapkan secara saksama, di antaranya dengan pelibatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari awal proses penyiapan hingga tahap pelaksanaan vaksinasi. Dus, sinergitas dan komunikasi umara-ulama harus terus dibangun agar penanganan Covid-19 dan program vaksinasinya dapat berjalan efektif sesuai yang diharapkan.
Santri sebagai sambung tangan ulama dapat berperan membantu menjawab pertanyaan atau keraguan umat, seperti soal kehalalan vaksin Covid-19. Dengan demikian, program imunisasi vaksin akan dapat berjalan masif tanpa adanya sikap resistensi masyarakat pada tataran implementasinya. Peranan santri tidak hanya terbatas pada misi pendampingan program imunisasi vaksin Covid-19 semata. Pelibatan lembaga pusat kesehatan (rumah sakit dan klinik) milik komunitas santri juga dapat berperan membantu memperluas jangkauan program imunisasi vaksin Covid-19 ke kalangan warga masyarakat.
Jihad Covid-19
Pelibatan komunitas santri dalam membantu penanganan Covid-19 tentunya tidak serta merta bersifat ‘as it is’. Namun, hal tersebut mesti dikomunikasikan secara baik terlebih dahulu dengan kalangan ormas Islam, baik ormas Islam yang berada di bawah payung Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) maupun ormas Islam yang berada di luar organisasi LPOI. Pelibatan santri dalam penanganan pandemi Covid-19 harus bersifat inklusif “bukan” eksklusif. Dalam arti, semua kelompok komunitas santri harus dilibatkan tanpa ada yang merasa dikecualikan, apalagi ditinggalkan.
Pendekatan inklusivitas demikian bertujuan menggalang dukungan penuh kaum santri bagi keberhasilan pelaksanaan program imunisasi vaksin Covid-19 secara masif, mulai dari tahap kampanye program vaksinasi hingga tahap pelaksanaan vaksinasi. Keberhasilan program vaksinasi Covid-19 merupakan ‘sine qua non’ dalam membantu membebaskan umat manusia dari belenggu pandemi.
Pada Hari Santri ini, bersama santri, marilah kita rapatkan barisan (shaf) dan kita ikrarkan jihad melawan Covid-19. Semoga pandemi segera berlalu dan kehidupan umat segera kembali normal seperti sebelum masa pandemi. Selamat Hari Santri Nasional 2020.
Ketua Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Zona Amerika, berdomisili di New York, Amerika Serikat
HARI Santri Nasional (HSN) mulai diperingati untuk pertama kalinya pada 22 Oktober 2015. Penetapan 22 Oktober sebagai HSN merupakan refleksi mengenang semangat heroik Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Melalui resolusi jihadnya, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada umat Islam untuk berjihad melawan pasukan kolonial Belanda yang mengatasnamakan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia. Semangat jihad tersebut tentunya masih relevan sekiranya dilakukan pada masa pandemi saat ini meski berbeda secara substansi jihadnya. Situasi pandemi virus korona baru (Covid-19) yang berimplikasi luar biasa terhadap kehidupan manusia di muka bumi merupakan ladang jihad untuk membantu sesama keluar dari pandemi ini.
Momentum Kebersamaan
Peringatan HSN merupakan momentum penting bagi kaum santri untuk secara bersama menghadapi Covid-19 yang menyengsarakan kehidupan umat. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, kaum santri Indonesia sudah semestinya diberikan peran dalam membantu penanganan Covid-19 di negeri ini.
Pengendalian Covid-19 tidak cukup bertumpu pada pemberlakuan protokol kesehatan semata. Tanpa dukungan dan kesadaran warga masyarakat tentang arti penting protokol kesehatan, maka protokol kesehatan akan kehilangan taji. Kekurangpatuhan warga masyarakat terhadap protokol kesehatan didasari berbagai ragam alasan sebagai justifikasi. Sebagian masyarakat boleh jadi memang tidak mengerti sama sekali atau mengerti sedikit-sedikit tentang Covid-19. Dan, sebagian lainnya boleh jadi meragukan atau sama sekali menafikan kebenaran Covid-19.
Karena itu, penanganan pandemi Covid-19 bukan sekadar mengatasi penyebaran virusnya, juga pentingnya membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait virus ini dan cara menyikapinya. Pembangkangan terhadap protokol kesehatan dan adanya persepsi keliru tentang Covid-19 juga masih kerap ditemui di sebagian kalangan masyarakat. Di sini peran serta santri dalam tataran hablum minannas patut dihadirkan dan dikedepankan untuk kemaslahatan umat pada masa pandemi Covid-19.
Kesalehan Sosial
Kaum santri yang kesehariannya identik dengan kultur kehidupan transendental, memiliki peranan penting dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial. Dengan keteladanan dan kesalehan sosialnya, santri dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam membantu mengubah paradigma, mindset, dan perilaku apatis masyarakat terkait Covid-19. Melalui pendekatan ala santri, masyarakat yang kurang paham, apatis, atau bahkan yang sama sekali tidak percaya tentang Covid-19 dapat diberikan pencerahan tentang bahaya nyata virus ini.
Peranan lain santri adalah sebagai social influencer. Peran santri dalam konteks ini dapat membantu mengomunikasikan dan mendiseminasikan secara efektif kepada masyarakat terkait kebijakan-kebijakan pemerintah menyangkut penanganan Covid-19. Betapa pun hebatnya sebuah kebijakan penanganan Covid-19, kiranya akan sulit mencapai hasil maksimal jika warga masyarakatnya kurang sepenuhnya mendukung atau kurang mematuhi kebijakan dimaksud.
Karenanya, kehadiran social influencer dari kalangan santri dipandang penting untuk membantu membumikan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19, khususnya di kalangan masyarakat muslim. Selain itu, santri dapat berperan memberikan edukasi kepada warga masyarakat mengenai pentingnya mematuhi protokol kesehatan, termasuk dalam menjaga lingkungannya agar tidak menjadi kluster Covid-19.
Peran serta santri bertujuan pula untuk meluruskan persepsi keliru sebagian masyarakat akar rumput mengenai Covid-19. Stigmatisasi Covid-19 di kalangan masyarakat menjadikan virus korona baru ini bak “virus penyakit kutukan”. Persepsi demikian boleh jadi muncul dilatarbelakangi oleh pemahaman masyarakat yang keliru dalam memaknai anjuran social distancing atau physical distancing. Persepsi demikian tentunya menjadikan mereka yang terinfeksi Covid-19 merasa terzalimi secara sosial, dan bahkan pada saat meninggal dunia pun proses pemakaman jenazah mereka pun tidak jarang menuai penolakan dari warga masyarakat setempat.
Stigmatisasi Covid-19 ini mesti segera diatasi karena dapat bersifat counterproductive terhadap misi penanganan Covid-19 itu sendiri. Dalam arti, stigmatisasi Covid-19 berpotensi mendorong mereka yang terinfeksi virus ini, termasuk mereka yang berstatus kasus suspect, kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) dan kontak erat, memilih bergeming dan menutup diri terkait kondisi kesehatan mereka. Mereka bersikap demikian karena takut mengalami bullying, dikucilkan, atau bahkan diusir dari tempat tinggal mereka. Ketidakterbukaan sikap demikian justru sangat membahayakan kesehatan warga masyarakat di lingkungan terdekat mereka.
Peranan Pendamping
Penanganan wabah Covid-19 melalui pemberlakuan protokol kesehatan, seperti penerapan physical distancing, penggunaan masker, sarung tangan dan handsanitizer, merupakan ikhtiar medis yang bersifat sementara. Ikhtiar medis sejatinya tentu adalah pengadaan program imunisasi vaksin Covid-19 secara masif seperti yang tengah dipersiapkan Indonesia saat ini.
Dalam rangka program imunisasi vaksin Covid-19 ini, selain pengembangan vaksin mandiri, Indonesia juga terus membangun kerja sama di bidang pengembangan vaksin dengan kalangan mitra pengembang vaksin di luar negeri. Kerja sama ini melibatkan perusahaan farmasi nasional bersama perusahaan farmasi mitranya di luar negeri. Tercatat beberapa kerja sama pengembangan vaksin Covid-19 telah berhasil dijalin, seperti antara PT Kalbe Farma Tbk dan Genexine Inc dari Korea Selatan, dan antara PT Bio Farma (Persero) dan Sinovac Biotech dari China.
Indonesia dilaporkan telah mengamankan sekitar 20-40 juta dosis vaksin Covid-19 untuk tahun 2020. Pengamanan vaksin Covid-19 untuk 2021 juga dilakukan oleh Indonesia, di antaranya melalui komitmen dukungan penyediaan 100 juta dosis vaksin Covid-19 oleh perusahaan farmasi asal Inggris, AstraZeneca.
Belajar dari pengalaman program imunisasi vaksin Measles rubelle (MR) yang sempat mengundang polemik dan prokontra di sejumlah kalangan masyarakat muslim beberapa tahun silam, program imunisasi vaksin Covid-19 kiranya patut disiapkan secara saksama, di antaranya dengan pelibatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari awal proses penyiapan hingga tahap pelaksanaan vaksinasi. Dus, sinergitas dan komunikasi umara-ulama harus terus dibangun agar penanganan Covid-19 dan program vaksinasinya dapat berjalan efektif sesuai yang diharapkan.
Santri sebagai sambung tangan ulama dapat berperan membantu menjawab pertanyaan atau keraguan umat, seperti soal kehalalan vaksin Covid-19. Dengan demikian, program imunisasi vaksin akan dapat berjalan masif tanpa adanya sikap resistensi masyarakat pada tataran implementasinya. Peranan santri tidak hanya terbatas pada misi pendampingan program imunisasi vaksin Covid-19 semata. Pelibatan lembaga pusat kesehatan (rumah sakit dan klinik) milik komunitas santri juga dapat berperan membantu memperluas jangkauan program imunisasi vaksin Covid-19 ke kalangan warga masyarakat.
Jihad Covid-19
Pelibatan komunitas santri dalam membantu penanganan Covid-19 tentunya tidak serta merta bersifat ‘as it is’. Namun, hal tersebut mesti dikomunikasikan secara baik terlebih dahulu dengan kalangan ormas Islam, baik ormas Islam yang berada di bawah payung Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) maupun ormas Islam yang berada di luar organisasi LPOI. Pelibatan santri dalam penanganan pandemi Covid-19 harus bersifat inklusif “bukan” eksklusif. Dalam arti, semua kelompok komunitas santri harus dilibatkan tanpa ada yang merasa dikecualikan, apalagi ditinggalkan.
Pendekatan inklusivitas demikian bertujuan menggalang dukungan penuh kaum santri bagi keberhasilan pelaksanaan program imunisasi vaksin Covid-19 secara masif, mulai dari tahap kampanye program vaksinasi hingga tahap pelaksanaan vaksinasi. Keberhasilan program vaksinasi Covid-19 merupakan ‘sine qua non’ dalam membantu membebaskan umat manusia dari belenggu pandemi.
Pada Hari Santri ini, bersama santri, marilah kita rapatkan barisan (shaf) dan kita ikrarkan jihad melawan Covid-19. Semoga pandemi segera berlalu dan kehidupan umat segera kembali normal seperti sebelum masa pandemi. Selamat Hari Santri Nasional 2020.
(bmm)