Vaksin Covid-19, Terobosan di Tengah Kedaruratan

Senin, 19 Oktober 2020 - 07:04 WIB
loading...
Vaksin Covid-19, Terobosan di Tengah Kedaruratan
Pemberian vaksin dalam upaya mencegah munculnya suatu penyakit kerap ditolak sebagian masyarakat. Status kehalalan seringkali menjadi pemicu penolakan tersebut. Foto/Reuters
A A A
JAKARTA - Pemberian vaksin dalam upaya mencegah munculnya suatu penyakit kerap ditolak sebagian masyarakat. Status kehalalan seringkali menjadi pemicu penolakan tersebut. Padahal, bisa jadi pemberian vaksin merupakan terobosan di tengah kondisi darurat yang diperbolehkan syariat agama.



Dalam beberapa tahun terakhir misalnya masyarakat hingga ormas di Tanah Air sempat menolak pemberian vaksin campak dan rubela (MR). Mereka beralasan bahwa ada kandungan vaksin MR yang tidak halal. Penolakan ini dilakukan dengan berbagai pernyataan sikap. Selain tidak memperbolehkan anak-anak mereka menerima vaksin, warga juga sempat memberikan ancaman fisik kepada petugas kesehatan.

Vaksin Covid-19, Terobosan di Tengah Kedaruratan


Kantor Staf Presiden sepanjang 2018 mencatat beberapa kasus ancaman fisik seperti terjadi di Puskesmas Papoyato Induk, Pohuwatu, Gorontalo. Enam petugas kesehatan yang melakukan imunisasi MR di Desa Torosiaje Kepulauan mendapat ancaman dari orang tua anak yang diimunisasi dengan parang. Mereka mengunci rumah dan mengancam akan memotong petugas yang melakukan penyuntikan. (Baca: Mereka Mati Megenaskan Setelah Menghina Nabi Muhammad SAW)

Selain itu, di posyandu wilayah Puskesmas Selalak Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, seorang laki-laki menanyakan tentang vaksin tersebut. Dia mengatakan bahwa imunisasi tersebut haram karena berasal dari babi. Pria tersebut datang dengan membawa senjata tajam dan memaksa petugas untuk membuang vaksin MR. Petugas menjadi ketakutan dan meninggalkan posyandu.

Hingga September 2020 ini vaksinisasi MR juga masih terjadi. Satu di antaranya di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Para orang tua dan beberapa pengasuh pesantren masih menolak dilakukan vaksinisasi karena khawatir kehalalan vaksin.

Padahal, campak dan rubela merupakan penyakit menular yang hingga saat ini belum ada obatnya. Penyakit ini bisa memicu radang paru-paru, kebutaan, gizi buruk, kelainan jantung, mata katarak, tuli, dan mengganggu tumbuh kembang anak.

MUI Dilibatkan dari Awal

Pemerintah tak ingin kondisi serupa terjadi dalam upaya pemberian vaksin untuk wabah corona (Covid-19) . Maka, sejak awal pemerintah melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai dari proses perencanaan pengadaan, pertimbangan kehalalan, hingga proses audit pabrik di negara asal vaksin.

“Nah, untuk vaksin, saya sudah minta (MUI) dilibatkan, dari mulai perencanaan, pengadaan vaksin, kemudian pertimbangan kehalalan vaksin. Kemudian melalui audit di pabriknya,” ungkap Wakil Presiden Ma’ruf Amin akhir pekan lalu. (Baca juga: Kemendikbud Akan Kembangkan SMK untuk Bangun Desa)

Dia menjelaskan, vaksin merupakan satu di antara bagian dari pengobatan. Dalam hal ini pengobatan untuk mencegah terjadi penyakit. “Itu bentuk upaya, ikhtiar, mencegah terjadinya suatu penyakit. Jadi, imunisasi juga bagian dari berobat. Berobat kan ada dua macam, ada yang kuratif, ada yang preventif. Kalau kuratif, kan kalau sudah terjadi diobati. Kalau preventif, kan sebelum terjadi,” katanya.

Wapres juga menyebutkan bahwa masalah pengobatan di dalam ajaran agama Islam memang ada perintahnya. Hal itu disebutkan di dalam Hadits. “Di dalam masalah pengobatan ini memang ada perintah. Hadistnya panjang, intinya begini,’berobatlah kamu karena Allah tidak meletakkan penyakit kecuali ada obatnya’,” ungkapnya.

“Jadi, setiap penyakit ada obatnya, cuma bisa ditemukan atau belum ditemukan saja. Kecuali, yang tidak ada obatnya itu penyakit pikun. Kalau orang pikun, enggak bisa diobati itu ya. Tapi, kalau yang namanya penyakit, ada obatnya,” tuturnya.

Ma'ruf juga menyebut bahwa usaha pencegahan pun ada dalilnya di dalam agama Islam. Setiap muslim diminta untuk bersiap di dalam lima hal sebelum datang lima hal. “Apa saja? Bersiap pada waktu masa mudamu sebelum kamu tua. Jadi masih muda harus siap-siap menghadapi tua. Masa sehatmu sebelum kamu sakit. Ini kan preventif. Ada perintah agama supaya kita menjaga kesehatan. Lainnya, ya masa kaya sebelum miskin, masa luang sebelum sibuk, masa hidup sebelum mati,” jelasnya. Jadi, kata Ma'ruf, di masa sehat, kita harus gunakan untuk persiapkan, mencegah terjadinya sakit. “Jadi, itu barangkali dalil imunisasi,” katanya. (Baca juga: Cukupi Nutrisi si Kecil Selama Pandemi)

Ma'ruf yang juga ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif ini menyebut jajarannya saat ini sedang melakukan kunjungan ke China dalam rangka memastikan proses pembuatan vaksin . Nanti MUI bisa menetapkan apakah vaksin tersebut terbuat dari bahan baku yang halal atau tidak.

“Bahkan sekarang lagi kunjungan di RRT. Kemudian akan terus terlibat dalam menyosialisasikan ke masyarakat luas. Dalam rangka vaksinasinya. Saya kira MUI sudah terlibat sejak awal dan beberapa kali pertemuan ikut dilibatkan,” jelasnya.

Ma'ruf menuturkan, apabila hasil tinjauan MUI menyebutkan vaksin korona terbuat dan diproses dengan cara yang halal, maka itu tidak menjadi masalah. MUI juga akan memberikan sertifikat halal atas vaksin tersebut. “Apabila itu halal, itu kan memang tidak menjadi masalah. Tetapi, harus ada sertifikatnya oleh lembaga yang memiliki otoritas, dalam hal ini MUI,” ucapnya.

Namun, bilamana vaksin tersebut terbuat dan diproses dengan cara tak halal, maka dalam kondisi darurat seperti ini diperbolehkan oleh agama. Sebelum digunakan ke masyarakat, MUI harus menetapkannya terlebih dahulu.

“Tetapi, andai kata di dalam suatu ketika, seperti waktu meningitis itu ternyata belum ada yang halal, tetapi kalau tidak ada, tidak digunakan vaksin itu akan menimbulkan kebahayaan, akan menimbulkan penyakit atau juga penyakit yang berkepanjangan, maka bisa digunakan,” jelasnya. (Baca juga: Waspadai Politik Uang Jelang Pilkada Serentak)

“Walaupun tidak halal secara darurat, tapi dengan penetapan oleh lembaga bahwa iya ini boleh menggunakan karena keadaannya darurat. Harus ada ketetapan yang dikeluarkan oleh MUI,” katanya.

Mutasyar PBNU ini berharap masyarakat mendukung pengembangan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi nanti. Dia juga berpesan agar masyarakat mengikuti informasi vaksin melalui sumber-sumber resmi sehingga tidak menyesatkan.

“Diharapkan masyarakat memberi dukungan atas semua tahapan. Mulai dari penyiapan hingga pelaksanaan vaksinasinya. Dan, ikuti informasi melalui sumber-sumber yang resmi. Informasi bisa menyesatkan karena banyak yang disalahpahamkan, disalahpahami. Jangan mudah percaya pada informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Itu penting,” katanya.

Dia juga mengingatkan perlunya saling mengingatkan dalam pelaksanaan protokol kesehatan. “Juga menjaga imunitas tubuh, menjaga jarak. Ini saya kira apa yang harus kita lakukan itu. Ini penting untuk mengikuti semua tahapan-tahapan dari vaksinasinya,” pungkasnya. (Baca juga: Objek Wisata Kota Tua Kembali Dibuka, Pengunjung Masih Sepi)

Bahan Baku Vaksin Sinovac Diklaim Halal

Bio Farma menyebut, bahan baku vaksin Sinovac asal China yang saat ini sedang diuji klinis di Bandung menggunakan bahan baku halal. Walaupun begitu, untuk mendapat sertifikasi halal, pihaknya harus mendapat pengujian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Vaksin ini menggunakan bahan baku halal. Tapi, untuk spesifikasinya, itu kewenangan MUI. Mereka yang akan tentukan. Tentu kami akan lakukan sertifikasi,” kata Corporate Secretary Bio Farma Bambang Heriyanto.

Terkait proses, kata dia, akan tergantung sistemnya karena perlu dilihat proses dan lainnya. Tim Indonesia baik MUI atau POM bahkan mesti ke Sinovac untuk mengaudit. Dalam kondisi normal, proses sertifikasi halal bisa enam hingga satu tahun. Namun, karena pandemi, dia berharap bisa satu bulan. (Lihat videonya: Napi WNA Kabur dari Lapas Tangerang Ditemukan Tewas di Bogor)

Kepala Divisi Surveillance dan Uji Klinis Novilia S Bachtiar mengatakan, terkait sertifikasi halal, sejak kerja sama dengan Sinovac pihaknya sudah koordinasi dengan MUI. Beberapa kali bahkan melakukan koordinasi. “Untuk sertifikasi halal sekarang memang belum karena belum bisa dikeluarkan ketika vaksin sedang dilakukan uji klinis. Nanti sertifikasi halal MUI akan silakan saat proses registrasi,” bebernya.

Kendati begitu, pihaknya sudah komunikasi dengan Sinovac sejak awal. Bio Farma sempat mengajukan pertanyaan, apakah mereka produksi pakai bahan haram. “Mereka katakan, tidak. Mereka ada statement letter-nya, tidak ada bahan yang bersumber dari haram. Tapi, tetap, nanti kami akan minta sertifikasi MUI,” imbuhnya. (Arif Budianto/Dita Angga)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1506 seconds (0.1#10.140)