Kekerasan Jurnalis Marak, IJTI: Ancaman Nyata Kebebasan Pers di Tanah Air
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kekerasan yang menimpa para jurnalis saat meliput unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) di berbagai daerah di Indonesia menambah catatan buruk dan ancaman nyata bagi iklim kebebasan pers di Tanah Air.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menerima laporan daftar jurnalis yang mengalami kekerasaan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Ibu Kota dan berbagai daerah di Indonesia. Hingga hari ini, data yang dikumpulkan IJTI sebanyak 18 jurnalis mengalami tindak kekerasan. (Baca juga: Dewan Pers Kecam Kekerasan Terhadap Wartawan)
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana menjelaskan, kronologis kekerasan yang dialami jurnalis di Tarakan, Kalimantan Timur berawal saat kedua jurnalis Arif Rusman, reporter TVRI Kaltim dan Ifransyah, fotografer Radar Tarakan meliput aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Tarakan pada Rabu, 7 Oktober 2020. ” Saat itu, kedua jurnalis ini terkena tembakan water canon aparat saat tengah mengambil gambar, selain mengalami luka-luka, satu perangkat liputan berupa kamera juga rusak,” katanya. (Baca juga: Poros Wartawan Jakarta Desak Kapolri Tindak Penganiaya Jurnalis)
Sedangkan di Lampung, empat jurnalis juga mengalami kekerasan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Keempat jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi yakni Angga (jurnalis Metro TV), Hari Ajahar (jurnalis Radar Lampung Radio), Syahrudin (jurnalis lampungsegalow.co.id) dan Heridho (jurnalis Lampungone.com). ”Para jurnalis ini mendapat intimidasi dan kekerasan dari sejumlah aparat polisi berpakai preman. Intimidasi berupa bentakan dan memaksa agar menghapus rekaman video,” ucapnya. (Baca juga: PWI Lampung Utara Kecam Tindakan Kekerasan Terhadap Wartawan)
Begitu juga di Palu, Sulawesi Tengah. Tiga jurnalis Alsih Marselina (Wartawati SultengNews.com), Aldy Rifaldy (Wartawan SultengNews.co) dan Fikri (Wartawan Nexteen Media) juga menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi penolakan Undang-undang Cipta Kerja di Palu, Kamis, 8 Oktober 2020. Saat itu ketiganya tengah meliput demonstrasi ribuan mahasiswa di Jalan Samratulangi, hingga kericuhan antara polisi dan mahasiswa terjadi. ”Alsih, Aldy Rifaldy berusaha menyelamatkan diri di barikade kepolisian. Namun mereka malah dintimidasi dan dipukuli, meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis. Sedangkan Fikri kameranya rusak di bagian viewfinder dan bodi kamera, karena dibanting polisi berpakaian preman,” jelasnya. (Baca juga: Tangkap dan Aniaya Wartawan, Polri Didesak Evaluasi Pola Pengamanan Unras)
Senada, Sekjen IJTI Indria Purnama Hadi mengatakan, di Kota Medan Sumatera Utara seorang jurnalis Indozone.id bernama Raden Armand, dari media online juga menjadi korban kekerasan dan intimidasi anggota polisi. Saat itu ia tengah mengabadikan momen bentrokan antara pendemo dan aparat polisi. Tiba tiba yang bersangkutan dipaksa dan dintimidasi agar menghapus foto-foto yang diambil.
Sementara di Ibu Kota Jakarta sedikitnya delapan jurnalis menjadi korban kekerasan serta intimidasi. Ke delapan jurnalis itu yakni, Jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin, kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan oleh polisi. Peter Rotti, wartawan Suara.com ponselnya dirampas aparat berpakai preman karena menolak saat diminta menghapus video dan foto unjuk rasa yang diambil.
Selain itu sejumlah jurnalis lainnya yang mengelami kekerasan dan intimidasi serta sempat ditahan di polda metro jaya yakni Ponco Sulaksono (jurnalis Merahputih.com) Aldi (jurnalis Radar Depok), Kiagus (Jurnalis RTMC Poldametro), Qolbee freelance, Willy (Jurnalis Berdikari), Ismu (jurnalis Berdikari).
Atas kekerasan dan intimidasi yang menimpa para jurnalis di berbagai daerah saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia menyatakan mengutuk dan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepada para jurnalis di berbagai daerah. Mendesak Kapolri agar menyelidiki dan memeriksa anggotanya yang diduga terlibat dalam aksi kekerasan kepada para jurnalis.
”Mendorong Dewan Pers dan Polri melakukan evaluasi pelaksanaan dan sosialisasi MoU kedua lembaga karena faktanya ditataran paling bawah masih banyak anggota polisi yang tidak paham tugas-tugas jurnalis yang dilindungi oleh UU,” tegasnya.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menerima laporan daftar jurnalis yang mengalami kekerasaan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Ibu Kota dan berbagai daerah di Indonesia. Hingga hari ini, data yang dikumpulkan IJTI sebanyak 18 jurnalis mengalami tindak kekerasan. (Baca juga: Dewan Pers Kecam Kekerasan Terhadap Wartawan)
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana menjelaskan, kronologis kekerasan yang dialami jurnalis di Tarakan, Kalimantan Timur berawal saat kedua jurnalis Arif Rusman, reporter TVRI Kaltim dan Ifransyah, fotografer Radar Tarakan meliput aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Tarakan pada Rabu, 7 Oktober 2020. ” Saat itu, kedua jurnalis ini terkena tembakan water canon aparat saat tengah mengambil gambar, selain mengalami luka-luka, satu perangkat liputan berupa kamera juga rusak,” katanya. (Baca juga: Poros Wartawan Jakarta Desak Kapolri Tindak Penganiaya Jurnalis)
Sedangkan di Lampung, empat jurnalis juga mengalami kekerasan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Keempat jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi yakni Angga (jurnalis Metro TV), Hari Ajahar (jurnalis Radar Lampung Radio), Syahrudin (jurnalis lampungsegalow.co.id) dan Heridho (jurnalis Lampungone.com). ”Para jurnalis ini mendapat intimidasi dan kekerasan dari sejumlah aparat polisi berpakai preman. Intimidasi berupa bentakan dan memaksa agar menghapus rekaman video,” ucapnya. (Baca juga: PWI Lampung Utara Kecam Tindakan Kekerasan Terhadap Wartawan)
Begitu juga di Palu, Sulawesi Tengah. Tiga jurnalis Alsih Marselina (Wartawati SultengNews.com), Aldy Rifaldy (Wartawan SultengNews.co) dan Fikri (Wartawan Nexteen Media) juga menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi penolakan Undang-undang Cipta Kerja di Palu, Kamis, 8 Oktober 2020. Saat itu ketiganya tengah meliput demonstrasi ribuan mahasiswa di Jalan Samratulangi, hingga kericuhan antara polisi dan mahasiswa terjadi. ”Alsih, Aldy Rifaldy berusaha menyelamatkan diri di barikade kepolisian. Namun mereka malah dintimidasi dan dipukuli, meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis. Sedangkan Fikri kameranya rusak di bagian viewfinder dan bodi kamera, karena dibanting polisi berpakaian preman,” jelasnya. (Baca juga: Tangkap dan Aniaya Wartawan, Polri Didesak Evaluasi Pola Pengamanan Unras)
Senada, Sekjen IJTI Indria Purnama Hadi mengatakan, di Kota Medan Sumatera Utara seorang jurnalis Indozone.id bernama Raden Armand, dari media online juga menjadi korban kekerasan dan intimidasi anggota polisi. Saat itu ia tengah mengabadikan momen bentrokan antara pendemo dan aparat polisi. Tiba tiba yang bersangkutan dipaksa dan dintimidasi agar menghapus foto-foto yang diambil.
Sementara di Ibu Kota Jakarta sedikitnya delapan jurnalis menjadi korban kekerasan serta intimidasi. Ke delapan jurnalis itu yakni, Jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin, kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan oleh polisi. Peter Rotti, wartawan Suara.com ponselnya dirampas aparat berpakai preman karena menolak saat diminta menghapus video dan foto unjuk rasa yang diambil.
Selain itu sejumlah jurnalis lainnya yang mengelami kekerasan dan intimidasi serta sempat ditahan di polda metro jaya yakni Ponco Sulaksono (jurnalis Merahputih.com) Aldi (jurnalis Radar Depok), Kiagus (Jurnalis RTMC Poldametro), Qolbee freelance, Willy (Jurnalis Berdikari), Ismu (jurnalis Berdikari).
Atas kekerasan dan intimidasi yang menimpa para jurnalis di berbagai daerah saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia menyatakan mengutuk dan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepada para jurnalis di berbagai daerah. Mendesak Kapolri agar menyelidiki dan memeriksa anggotanya yang diduga terlibat dalam aksi kekerasan kepada para jurnalis.
”Mendorong Dewan Pers dan Polri melakukan evaluasi pelaksanaan dan sosialisasi MoU kedua lembaga karena faktanya ditataran paling bawah masih banyak anggota polisi yang tidak paham tugas-tugas jurnalis yang dilindungi oleh UU,” tegasnya.