Pendidikan Vokasi Dinilai Belum Jawab Kebutuhan Industri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perkembangan pendidikan vokasi di Tanah Air dinilai belum mampu menjawab tantangan yang ada saat ini, yakni pembukaan lapangan kerja yang besar dalam memenuhi kebutuhan industri. Maka itu, Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih mengritiknya. (Baca juga: Pemerintah Dorong Industri Buka Pendidikan Vokasi)
“Karena kebutuhan dunia usaha berapa, kualitas seperti apa, dan jenis-jenis lulusannya berapa, kita tidak tahu datanya,” ujar Fikri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/5/2020).
Dia melanjutkan, untuk menjawab kebutuhan industri, diperlukan kesesuaian data antara jenis-jenis industri yang membutuhkan tenaga kerja dengan banyak nya lulusan vokasi, baik SMK maupun perguruan tinggi. “Kalau tidak jelas datanya, maka terjadi ketimpangan seperti saat ini, lulusan satu jenis vokasi melimpah, sementara lainnya bisa jadi kosong, akhirnya impor dari China,” kata Fikri. (Baca juga: Pendidikan vokasi dan Sumber Daya Insani Unggul)
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun lalu, kata Fikri, dimana lulusan SMK lebih banyak mengganggur daripada lulusan SMA. Menurut data itu, dari 7 juta pengangguran di Indonesia, lulusan SMK mendominasi sebanyak 11,24%, sisanya lulusan SMA sebesar 7,95%.
Fikri menilai lulusan SMA memang wajar lebih rendah menganggur, “Karena sebagian yang mampu meneruskan pendidikan ke jenjang lanjutan,” kata Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Namun, menurut dia, aneh kalau lulusan SMK yang disiapkan agar siap kerja justru banyak menganggur. “Artinya industri tidak menyerapnya, bisa karena jumlahnya berlebih, atau kualitasnya kurang, kita perlu data yang spesifik soal kompetensi dan kebutuhan industrinya,” tuturnya.
Dia juga menyinggung soal rendahnya kualitas lulusan SMK di lapangan, terutama soal etos kerja, tingkat kepatuhan kerja, dan kemandirian. “Ini PR bagi pendidikan SMK, lebih khusus soal pendidikan karakter, memasuki dunia kerja kan harus dipersiapkan soal sikap professional,” ujar Fikri.
Maka itu, dia menekankan tentang perlunya setiap unit pendidikan vokasi melakukan kerja sama dengan dunia industri. “Hal itu adalah mutlak, untuk mewujudkan komunikasi, link and match dengan komunitas industri nasional. Sehingga lulusan vokasi bisa terserap maksimal,” tuturnya.
Dia berpendapat, peran pemerintah dalam hal ini adalah menyediakan data yang terpadu antara jenis-jenis kebutuhan industri dengan potensi lulusan vokasi agar dapat menjadi panduan dalam menelurkan kebijakan lanjutan. “Karena itu, dibutuhkan koordinasi pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbud dengan Kadin dan Apindo, demikian pula dengan Dinas Pendidikan provinsi dan Kabupaten/kota berkoordinasi dengan Apindo dan Kadin di daerah,” ungkapnya.
Sedangkan mengenai vokasi di perguruan tinggi, dia meminta peningkatan kualitas lulusan melalui tambahan keahlian yang disertifikasi menyesuaikan kebutuhan industri di lapangan. “Lulusan ini diharapkan menjadi tenaga ahli karena kompetensinya, namun dunia industri butuh jaminan, bukan sekedar ijazah, jadi ada semacam sertifikasi berstandar ISO atau internasional sebagai pengesahan keahlian mereka,” katanya.
Lihat Juga: Buntut Temuan Duit Zarof Ricar Hampir Rp1 Triliun, KPK Desak DPR Sahkan RUU Pembatasan Uang Kartal
“Karena kebutuhan dunia usaha berapa, kualitas seperti apa, dan jenis-jenis lulusannya berapa, kita tidak tahu datanya,” ujar Fikri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/5/2020).
Dia melanjutkan, untuk menjawab kebutuhan industri, diperlukan kesesuaian data antara jenis-jenis industri yang membutuhkan tenaga kerja dengan banyak nya lulusan vokasi, baik SMK maupun perguruan tinggi. “Kalau tidak jelas datanya, maka terjadi ketimpangan seperti saat ini, lulusan satu jenis vokasi melimpah, sementara lainnya bisa jadi kosong, akhirnya impor dari China,” kata Fikri. (Baca juga: Pendidikan vokasi dan Sumber Daya Insani Unggul)
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun lalu, kata Fikri, dimana lulusan SMK lebih banyak mengganggur daripada lulusan SMA. Menurut data itu, dari 7 juta pengangguran di Indonesia, lulusan SMK mendominasi sebanyak 11,24%, sisanya lulusan SMA sebesar 7,95%.
Fikri menilai lulusan SMA memang wajar lebih rendah menganggur, “Karena sebagian yang mampu meneruskan pendidikan ke jenjang lanjutan,” kata Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Namun, menurut dia, aneh kalau lulusan SMK yang disiapkan agar siap kerja justru banyak menganggur. “Artinya industri tidak menyerapnya, bisa karena jumlahnya berlebih, atau kualitasnya kurang, kita perlu data yang spesifik soal kompetensi dan kebutuhan industrinya,” tuturnya.
Dia juga menyinggung soal rendahnya kualitas lulusan SMK di lapangan, terutama soal etos kerja, tingkat kepatuhan kerja, dan kemandirian. “Ini PR bagi pendidikan SMK, lebih khusus soal pendidikan karakter, memasuki dunia kerja kan harus dipersiapkan soal sikap professional,” ujar Fikri.
Maka itu, dia menekankan tentang perlunya setiap unit pendidikan vokasi melakukan kerja sama dengan dunia industri. “Hal itu adalah mutlak, untuk mewujudkan komunikasi, link and match dengan komunitas industri nasional. Sehingga lulusan vokasi bisa terserap maksimal,” tuturnya.
Dia berpendapat, peran pemerintah dalam hal ini adalah menyediakan data yang terpadu antara jenis-jenis kebutuhan industri dengan potensi lulusan vokasi agar dapat menjadi panduan dalam menelurkan kebijakan lanjutan. “Karena itu, dibutuhkan koordinasi pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbud dengan Kadin dan Apindo, demikian pula dengan Dinas Pendidikan provinsi dan Kabupaten/kota berkoordinasi dengan Apindo dan Kadin di daerah,” ungkapnya.
Sedangkan mengenai vokasi di perguruan tinggi, dia meminta peningkatan kualitas lulusan melalui tambahan keahlian yang disertifikasi menyesuaikan kebutuhan industri di lapangan. “Lulusan ini diharapkan menjadi tenaga ahli karena kompetensinya, namun dunia industri butuh jaminan, bukan sekedar ijazah, jadi ada semacam sertifikasi berstandar ISO atau internasional sebagai pengesahan keahlian mereka,” katanya.
Lihat Juga: Buntut Temuan Duit Zarof Ricar Hampir Rp1 Triliun, KPK Desak DPR Sahkan RUU Pembatasan Uang Kartal
(cip)