Asa Jalur Rempah Menuju Warisan Dunia
loading...
A
A
A
"Satu hal yang perlu ditekankan, membicarakan jalur rempah jangan malah kita terjebak, apalagi mengulang nostalgia masa lalu yang tak mengenakkan. Jalur rempah mesti menjadi spirit bangsa mewujudkan kemajuan dan kemandirian," ujar Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negeri periode 2001–2009 yang saat ini menjabat Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah.
Sejarah Jalur Rempah dari masa ke masa merupakan contoh nyata bahwa diplomasi budaya telah dipraktikkan di segala lini oleh individu, komunitas masyarakat, hingga tingkatan negara bangsa. Belajar dari dinamikanya pada masa lalu, kiranya amatlah relevan bila Jalur Rempah menjadi rujukan dalam mencari warna diplomasi Indonesia yang mengedepankan interaksi dan kehangatan dialog di berbagai bidang dan lapisan masyarakat.
Jalur Rempah dapat menjadi pijakan dalam melihat kembali berbagai kemungkinan kerja sama antarbangsa untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian global yang mengutamakan pemahaman antarbudaya; penghormatan dan pengakuan atas keberagaman budaya beserta warisannya; memiliki semangat keadilan, kesetaraan dan saling berkontribusi, serta menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan. (Baca juga: Sejak Awal Muhammadiyah Minta DPR Batalkan Pembahasan Omnibus Law)
Jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa mewarnai dinamika perdagangan rempah di Nusantara, sejarah mencatat peran besar Sriwijaya yang senantiasa menjadi rujukan ketika membicarakan masa lalu Indonesia sebagai negara maritim. Kedatuan ini mumpuni dalam beberapa aspek strategisnya politik, ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya.
Bukti-bukti arkeologis pun memberikan petunjuk bahwa abad ke-6 dan ke-7, Asia Tenggara melalui Sriwijaya menjadi pengendali ekonomi yang mampu menggerakkan dinamika regional. Salah satu kekuatan yang dimilikinya adalah kemampuan berdiplomasi dengan mengedepankan kedermawanan dalam menjaga stabilitas kawasan.
“Diplomasi “tangan di atas” yang dicontohkan oleh Sriwijaya ini adalah bentuk diplomasi yang dapat dijadikan panutan oleh Indonesia dalam rangka berkontribusi pada kekayaan sejarah milik bersama (common heritage), yaitu Jalur Rempah,” kata penggiat budaya Bram Kushardjanto. (Baca juga: Sahkan UU Cipta kerja, Gedung DPR "Dijual" Murah di E-Commerce)
Dalam diplomasi berbasis kontribusi ini, Indonesia sebagai penggerak perdagangan rempah di masa lalu memiliki peran strategis untuk mengajak negara-negara yang berada di perlintasan Jalur Rempah dan menghidupkan kembali memori kolektif masa lalu bahwa kita pernah bersama-sama membangun peradaban melalui pertukaran gagasan, nilai, agama, bahasa, tradisi, termasuk teknologi.
Diplomasi “tangan di atas” ini menuntut keseriusan pemerintah agar berkontribusi lebih banyak dalam menghidupkan warisan sejarah bersama. Tidak untuk mengangkat Indonesia dan menjatuhkan yang lain, tapi untuk mengangkat Jalur Rempah sebagai milik bersama di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Inisiatif untuk aktif berkontribusi dilandasi oleh kesadaran bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya dukungan negara lain, dan oleh karenanya dibutuhkan kerja sama antarbangsa yang lebih bermakna.
Adapun tujuan dari diplomasi ini untuk meningkatkan peran aktif, kehadiran dan kontribusi Indonesia dalam percaturan dunia di dalam rangka membuka akses, menciptakan dialog, serta membangun hubungan antarmasyarakat di tingkat lokal dan internasional. Sasarannya nanti untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di daerah dan dunia internasional tentang sejarah dan peran Indonesia pada masa lalu serta potensi peran Indonesia di masa depan. (Lihat videonya: Buruh Blokir Pintu Tol di Tangerang Menolak UU Cipta Kerja)
“Ini juga guna mendapatkan dukungan dari negara-negara sahabat dalam perlintasan Jalur Rempah dan dunia internasional secara luas dalam rangka pengajuan dan pengakuan Jalur Rempah ke UNESCO sebagai warisan dunia. Strateginya nanti adalah penajaman diplomasi budaya berbasis kontribusi dari sisi kelembagaan dan program. Ini juga sekaligus pengimplementasian model diplomasi berbasis kontribusi menuju pengajuan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia,” kata Bram. (Neneng Zubaidah/Hendri Irawan)
Sejarah Jalur Rempah dari masa ke masa merupakan contoh nyata bahwa diplomasi budaya telah dipraktikkan di segala lini oleh individu, komunitas masyarakat, hingga tingkatan negara bangsa. Belajar dari dinamikanya pada masa lalu, kiranya amatlah relevan bila Jalur Rempah menjadi rujukan dalam mencari warna diplomasi Indonesia yang mengedepankan interaksi dan kehangatan dialog di berbagai bidang dan lapisan masyarakat.
Jalur Rempah dapat menjadi pijakan dalam melihat kembali berbagai kemungkinan kerja sama antarbangsa untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian global yang mengutamakan pemahaman antarbudaya; penghormatan dan pengakuan atas keberagaman budaya beserta warisannya; memiliki semangat keadilan, kesetaraan dan saling berkontribusi, serta menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan. (Baca juga: Sejak Awal Muhammadiyah Minta DPR Batalkan Pembahasan Omnibus Law)
Jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa mewarnai dinamika perdagangan rempah di Nusantara, sejarah mencatat peran besar Sriwijaya yang senantiasa menjadi rujukan ketika membicarakan masa lalu Indonesia sebagai negara maritim. Kedatuan ini mumpuni dalam beberapa aspek strategisnya politik, ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya.
Bukti-bukti arkeologis pun memberikan petunjuk bahwa abad ke-6 dan ke-7, Asia Tenggara melalui Sriwijaya menjadi pengendali ekonomi yang mampu menggerakkan dinamika regional. Salah satu kekuatan yang dimilikinya adalah kemampuan berdiplomasi dengan mengedepankan kedermawanan dalam menjaga stabilitas kawasan.
“Diplomasi “tangan di atas” yang dicontohkan oleh Sriwijaya ini adalah bentuk diplomasi yang dapat dijadikan panutan oleh Indonesia dalam rangka berkontribusi pada kekayaan sejarah milik bersama (common heritage), yaitu Jalur Rempah,” kata penggiat budaya Bram Kushardjanto. (Baca juga: Sahkan UU Cipta kerja, Gedung DPR "Dijual" Murah di E-Commerce)
Dalam diplomasi berbasis kontribusi ini, Indonesia sebagai penggerak perdagangan rempah di masa lalu memiliki peran strategis untuk mengajak negara-negara yang berada di perlintasan Jalur Rempah dan menghidupkan kembali memori kolektif masa lalu bahwa kita pernah bersama-sama membangun peradaban melalui pertukaran gagasan, nilai, agama, bahasa, tradisi, termasuk teknologi.
Diplomasi “tangan di atas” ini menuntut keseriusan pemerintah agar berkontribusi lebih banyak dalam menghidupkan warisan sejarah bersama. Tidak untuk mengangkat Indonesia dan menjatuhkan yang lain, tapi untuk mengangkat Jalur Rempah sebagai milik bersama di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Inisiatif untuk aktif berkontribusi dilandasi oleh kesadaran bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya dukungan negara lain, dan oleh karenanya dibutuhkan kerja sama antarbangsa yang lebih bermakna.
Adapun tujuan dari diplomasi ini untuk meningkatkan peran aktif, kehadiran dan kontribusi Indonesia dalam percaturan dunia di dalam rangka membuka akses, menciptakan dialog, serta membangun hubungan antarmasyarakat di tingkat lokal dan internasional. Sasarannya nanti untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di daerah dan dunia internasional tentang sejarah dan peran Indonesia pada masa lalu serta potensi peran Indonesia di masa depan. (Lihat videonya: Buruh Blokir Pintu Tol di Tangerang Menolak UU Cipta Kerja)
“Ini juga guna mendapatkan dukungan dari negara-negara sahabat dalam perlintasan Jalur Rempah dan dunia internasional secara luas dalam rangka pengajuan dan pengakuan Jalur Rempah ke UNESCO sebagai warisan dunia. Strateginya nanti adalah penajaman diplomasi budaya berbasis kontribusi dari sisi kelembagaan dan program. Ini juga sekaligus pengimplementasian model diplomasi berbasis kontribusi menuju pengajuan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia,” kata Bram. (Neneng Zubaidah/Hendri Irawan)