Asa Jalur Rempah Menuju Warisan Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia. Bahkan, Nusantara telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia, yakni rempah-rempah .
Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa, dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet. Diperkirakan dalam perjalanan waktu dan pada skala dunia, 400–500 spesies tanaman telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara sendiri, jumlahnya mendekati 275 spesies (Prosea, 1999). (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)
Dengan peran sepenting itu, rempah-rempah pada masanya menjadi komoditas utama yang mampu memengaruhi kondisi politik, ekonomi, ataupun sosial budaya dalam skala global. Para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudra untuk mencarinya. Pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya. Perang demi perang memperebutkannya. Dunia bergolak dan sejarah peradaban manusia berubah.
Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban signifikan yang belakangan ramai diperbincangkan, yakni Jalur Rempah. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan rempah-rempah selama ribuan tahun.
Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi, bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Wilayah tersebut menjelma sebagai ruang silaturahmi antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan, dan praksis, melampaui konteks ruang dan waktu, dipertemukan oleh laut dan samudra. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan Sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)
Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali. Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep, seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok ataupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peran penting.
Berangkat dari kesejarahan Jalur Rempah yang begitu panjang itulah, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menyatakan kesiapannya mendaftarkan Jalur Rempah sebagai world heritage atau warisan dunia ke UNESCO, pada November tahun ini. Melalui program usulan itu, sekaligus merekonstruksi perdagangan rempah di Nusantara yang berlangsung 4,5 milenium silam, dengan harapan dapat mendorong kemajuan perekonomian demi kesejahteraan masyarakat.
Indonesia tidak sendiri dalam mengusulkan program tersebut ke UNESCO, tetapi juga menggandeng negara-negara serumpun yang memiliki sejarah jejak jalur rempah, di antaranya Sri Lanka, India, Madagaskar, serta Grenada. Usulan tersebut juga bukan sekadar "legacy" dari masa 4.500 tahun lalu, tetapi juga menyangkut peremajaan ladang, industri obat herbal, serta paket pariwisata. (Baca juga: Berpikir Positif Enyahkan Covid-19)
Setidaknya ada dua alasan untuk menghidupkan kembali kehangatan cita rasa rempah melalui program Jalur Rempah, terutama dari rempahnya sendiri, karena Indonesia atau Nusantara adalah tempat satu-satunya di muka bumi yang dipilih Tuhan untuk tumbuhnya rempah-rempah. Selain itu, jalur rempah saat itu menjadi cikal bakal perdagangan komoditas yang dilakukan nenek moyang bangsa Indonesia dengan melintasi pulau dan melibatkan beragam suku.
Program Jalur Rempah sejatinya digagas beberapa tahun lalu. Namun, pada 2020 ini mulai digalakkan kembali. Kemendikbud telah menetapkan tahapan yang akan dilakukan setiap tahun untuk melengkapi berbagai dokumen dibutuhkan guna mendukung pendaftaran jalur rempah ke lembaga PBB itu sehingga diharapkan pada 2024 atau 2025 sudah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa, dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet. Diperkirakan dalam perjalanan waktu dan pada skala dunia, 400–500 spesies tanaman telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara sendiri, jumlahnya mendekati 275 spesies (Prosea, 1999). (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)
Dengan peran sepenting itu, rempah-rempah pada masanya menjadi komoditas utama yang mampu memengaruhi kondisi politik, ekonomi, ataupun sosial budaya dalam skala global. Para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudra untuk mencarinya. Pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya. Perang demi perang memperebutkannya. Dunia bergolak dan sejarah peradaban manusia berubah.
Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban signifikan yang belakangan ramai diperbincangkan, yakni Jalur Rempah. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan rempah-rempah selama ribuan tahun.
Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi, bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Wilayah tersebut menjelma sebagai ruang silaturahmi antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan, dan praksis, melampaui konteks ruang dan waktu, dipertemukan oleh laut dan samudra. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan Sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)
Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali. Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep, seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok ataupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peran penting.
Berangkat dari kesejarahan Jalur Rempah yang begitu panjang itulah, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menyatakan kesiapannya mendaftarkan Jalur Rempah sebagai world heritage atau warisan dunia ke UNESCO, pada November tahun ini. Melalui program usulan itu, sekaligus merekonstruksi perdagangan rempah di Nusantara yang berlangsung 4,5 milenium silam, dengan harapan dapat mendorong kemajuan perekonomian demi kesejahteraan masyarakat.
Indonesia tidak sendiri dalam mengusulkan program tersebut ke UNESCO, tetapi juga menggandeng negara-negara serumpun yang memiliki sejarah jejak jalur rempah, di antaranya Sri Lanka, India, Madagaskar, serta Grenada. Usulan tersebut juga bukan sekadar "legacy" dari masa 4.500 tahun lalu, tetapi juga menyangkut peremajaan ladang, industri obat herbal, serta paket pariwisata. (Baca juga: Berpikir Positif Enyahkan Covid-19)
Setidaknya ada dua alasan untuk menghidupkan kembali kehangatan cita rasa rempah melalui program Jalur Rempah, terutama dari rempahnya sendiri, karena Indonesia atau Nusantara adalah tempat satu-satunya di muka bumi yang dipilih Tuhan untuk tumbuhnya rempah-rempah. Selain itu, jalur rempah saat itu menjadi cikal bakal perdagangan komoditas yang dilakukan nenek moyang bangsa Indonesia dengan melintasi pulau dan melibatkan beragam suku.
Program Jalur Rempah sejatinya digagas beberapa tahun lalu. Namun, pada 2020 ini mulai digalakkan kembali. Kemendikbud telah menetapkan tahapan yang akan dilakukan setiap tahun untuk melengkapi berbagai dokumen dibutuhkan guna mendukung pendaftaran jalur rempah ke lembaga PBB itu sehingga diharapkan pada 2024 atau 2025 sudah ditetapkan sebagai warisan dunia.