Asa Jalur Rempah Menuju Warisan Dunia

Kamis, 08 Oktober 2020 - 08:01 WIB
loading...
Asa Jalur Rempah Menuju Warisan Dunia
Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia. Foto/Koran SINDO/Hendri Irawan
A A A
JAKARTA - Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia. Bahkan, Nusantara telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia, yakni rempah-rempah .

Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa, dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet. Diperkirakan dalam perjalanan waktu dan pada skala dunia, 400–500 spesies tanaman telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara sendiri, jumlahnya mendekati 275 spesies (Prosea, 1999). (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)

Dengan peran sepenting itu, rempah-rempah pada masanya menjadi komoditas utama yang mampu memengaruhi kondisi politik, ekonomi, ataupun sosial budaya dalam skala global. Para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudra untuk mencarinya. Pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya. Perang demi perang memperebutkannya. Dunia bergolak dan sejarah peradaban manusia berubah.

Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban signifikan yang belakangan ramai diperbincangkan, yakni Jalur Rempah. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan rempah-rempah selama ribuan tahun.

Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi, bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Wilayah tersebut menjelma sebagai ruang silaturahmi antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan, dan praksis, melampaui konteks ruang dan waktu, dipertemukan oleh laut dan samudra. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan Sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)

Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali. Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep, seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok ataupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peran penting.

Berangkat dari kesejarahan Jalur Rempah yang begitu panjang itulah, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menyatakan kesiapannya mendaftarkan Jalur Rempah sebagai world heritage atau warisan dunia ke UNESCO, pada November tahun ini. Melalui program usulan itu, sekaligus merekonstruksi perdagangan rempah di Nusantara yang berlangsung 4,5 milenium silam, dengan harapan dapat mendorong kemajuan perekonomian demi kesejahteraan masyarakat.

Indonesia tidak sendiri dalam mengusulkan program tersebut ke UNESCO, tetapi juga menggandeng negara-negara serumpun yang memiliki sejarah jejak jalur rempah, di antaranya Sri Lanka, India, Madagaskar, serta Grenada. Usulan tersebut juga bukan sekadar "legacy" dari masa 4.500 tahun lalu, tetapi juga menyangkut peremajaan ladang, industri obat herbal, serta paket pariwisata. (Baca juga: Berpikir Positif Enyahkan Covid-19)

Setidaknya ada dua alasan untuk menghidupkan kembali kehangatan cita rasa rempah melalui program Jalur Rempah, terutama dari rempahnya sendiri, karena Indonesia atau Nusantara adalah tempat satu-satunya di muka bumi yang dipilih Tuhan untuk tumbuhnya rempah-rempah. Selain itu, jalur rempah saat itu menjadi cikal bakal perdagangan komoditas yang dilakukan nenek moyang bangsa Indonesia dengan melintasi pulau dan melibatkan beragam suku.

Program Jalur Rempah sejatinya digagas beberapa tahun lalu. Namun, pada 2020 ini mulai digalakkan kembali. Kemendikbud telah menetapkan tahapan yang akan dilakukan setiap tahun untuk melengkapi berbagai dokumen dibutuhkan guna mendukung pendaftaran jalur rempah ke lembaga PBB itu sehingga diharapkan pada 2024 atau 2025 sudah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Pada 2020 misalnya, ditetapkan sebagai periode "awareness" atau membangun kesadaran masyarakat terhadap Jalur Rempah melalui beragam kegiatan sosialisasi seperti seminar, pemutaran film, dan lainnya dengan tujuan membangkitkan ingatan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Setelah kesadaran terbangun, maka tahun berikutnya diharapkan banyak pihak termasuk lintas kementerian dan pemerintah daerah terlibat sesuai porsi masing-masing. (Baca juga: Jokowi Pergi ke Luar Kota, Istana Bantah Hindari Demo Tolak Omnibus Law)

Kepala Balitbang dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, salah satu syarat dalam mengajukan jalur rempah sebagai nominasi warisan budaya dunia UNESCO, maka sejarah rempah-rempah harus menjadi outstanding universal value. Dalam artian, pemahaman terhadap sejarah jalur rempah harus hidup di tengah masyarakat.

Pemahaman tentang jalur rempah harus bisa menggelora di tengah masyarakat, seperti halnya pengetahuan batik, keris, ataupun pencak silat. Salah satu cara untuk menghidupkan memori dan makna penting jalur rempah ialah melalui pendidikan, khususnya pembelajaran sejarah kepada anak. Dengan begitu, sejarah tentang jalur rempah melekat pada peserta didik dan masyarakat pada umumnya.

“Kemendikbud dan para sejarawan, bapak dan ibu guru sejarah, perlu kerja sama untuk membangun narasi kuat tentang jalur rempah ini dalam muatan sejarah yang akan diajarkan kepada anak-anak kita,'' kata Totok.

Dia menjelaskan, Balitbang dan Perbukuan telah mendukung proses nominasi ini dengan penelitian dan kajian yang telah dilakukan selama ini. Balitbang dan Perbukuan, katanya, sudah terlibat dalam penyiapan 6 warisan budaya Indonesia yang telah ditetapkan UNESCO, seperti Angklung yang terdaftar pada 2010, Tari Saman pada 2011, Noken pada 2012, 3 Genre Tari Bali pada 2015, Perahu Pinisi pada 2017, dan Pencak Silat pada 2019. (Baca juga: Sebut Islam Dalam Krisis, Erdogan Cela Macron)

Diplomasi Budaya “Tangan di Atas”

Pada 2011, kanal televisi BBC Knowledge dari Inggris meluncurkan serial dokumenternya bertajuk “Spice Trail”, dengan pembawa acara Kate Humble. Yang istimewa, dalam film tersebut - Maluku sebagai daerah endemik penghasil rempah-rempah jenis pala dan cengkih, memperoleh porsi signifikan dalam narasinya.

Film dokumenter tersebut sekaligus menjadi salah satu referensi penting ketika membicarakan posisi Indonesia dalam sejarah perdagangan rempah-rempah berskala global, yang belakangan ini hangat diperbincangkan dan dikenal dengan sebutan Jalur Rempah. Jalur Rempah pula yang kemudian menarik perhatian terutama bagi masyarakat awam, untuk mengenal sejarah Indonesia lebih dalam.

Perspektif Jalur Rempah diyakini dapat menjadi entry point sekaligus memberikan bingkai yang kontekstual untuk memahami Indonesia. Karena Jalur Rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sekaligus menghasilkan pertukaran ilmu, budaya, sosial, bahasa, keahlian, keterampilan, dan bahkan agama di antara manusia yang berasal dari berbagai tempat yang jauh. (Baca juga: Batal demo DPR, Ribuan Buruh Tanjung Priok Akan Geruduk Istana)

Jalur Rempah juga merupakan melting pot berbagai konsep, gagasan, dan praksis. Dan, Jalur Rempah menjadi sarana perpindahan semua itu, dari satu tempat ke tempat lain. Pengetahuan dan pemahaman terhadap hal tersebut di atas menjadi penting untuk senantiasa dipupuk dan ditumbuhkan, agar manusia Indonesia tak lupa dengan multikulturalisme yang telah membentuknya.

"Satu hal yang perlu ditekankan, membicarakan jalur rempah jangan malah kita terjebak, apalagi mengulang nostalgia masa lalu yang tak mengenakkan. Jalur rempah mesti menjadi spirit bangsa mewujudkan kemajuan dan kemandirian," ujar Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negeri periode 2001–2009 yang saat ini menjabat Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah.

Sejarah Jalur Rempah dari masa ke masa merupakan contoh nyata bahwa diplomasi budaya telah dipraktikkan di segala lini oleh individu, komunitas masyarakat, hingga tingkatan negara bangsa. Belajar dari dinamikanya pada masa lalu, kiranya amatlah relevan bila Jalur Rempah menjadi rujukan dalam mencari warna diplomasi Indonesia yang mengedepankan interaksi dan kehangatan dialog di berbagai bidang dan lapisan masyarakat.

Jalur Rempah dapat menjadi pijakan dalam melihat kembali berbagai kemungkinan kerja sama antarbangsa untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian global yang mengutamakan pemahaman antarbudaya; penghormatan dan pengakuan atas keberagaman budaya beserta warisannya; memiliki semangat keadilan, kesetaraan dan saling berkontribusi, serta menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan. (Baca juga: Sejak Awal Muhammadiyah Minta DPR Batalkan Pembahasan Omnibus Law)

Jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa mewarnai dinamika perdagangan rempah di Nusantara, sejarah mencatat peran besar Sriwijaya yang senantiasa menjadi rujukan ketika membicarakan masa lalu Indonesia sebagai negara maritim. Kedatuan ini mumpuni dalam beberapa aspek strategisnya politik, ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya.

Bukti-bukti arkeologis pun memberikan petunjuk bahwa abad ke-6 dan ke-7, Asia Tenggara melalui Sriwijaya menjadi pengendali ekonomi yang mampu menggerakkan dinamika regional. Salah satu kekuatan yang dimilikinya adalah kemampuan berdiplomasi dengan mengedepankan kedermawanan dalam menjaga stabilitas kawasan.

“Diplomasi “tangan di atas” yang dicontohkan oleh Sriwijaya ini adalah bentuk diplomasi yang dapat dijadikan panutan oleh Indonesia dalam rangka berkontribusi pada kekayaan sejarah milik bersama (common heritage), yaitu Jalur Rempah,” kata penggiat budaya Bram Kushardjanto. (Baca juga: Sahkan UU Cipta kerja, Gedung DPR "Dijual" Murah di E-Commerce)

Dalam diplomasi berbasis kontribusi ini, Indonesia sebagai penggerak perdagangan rempah di masa lalu memiliki peran strategis untuk mengajak negara-negara yang berada di perlintasan Jalur Rempah dan menghidupkan kembali memori kolektif masa lalu bahwa kita pernah bersama-sama membangun peradaban melalui pertukaran gagasan, nilai, agama, bahasa, tradisi, termasuk teknologi.

Diplomasi “tangan di atas” ini menuntut keseriusan pemerintah agar berkontribusi lebih banyak dalam menghidupkan warisan sejarah bersama. Tidak untuk mengangkat Indonesia dan menjatuhkan yang lain, tapi untuk mengangkat Jalur Rempah sebagai milik bersama di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Inisiatif untuk aktif berkontribusi dilandasi oleh kesadaran bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya dukungan negara lain, dan oleh karenanya dibutuhkan kerja sama antarbangsa yang lebih bermakna.

Adapun tujuan dari diplomasi ini untuk meningkatkan peran aktif, kehadiran dan kontribusi Indonesia dalam percaturan dunia di dalam rangka membuka akses, menciptakan dialog, serta membangun hubungan antarmasyarakat di tingkat lokal dan internasional. Sasarannya nanti untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di daerah dan dunia internasional tentang sejarah dan peran Indonesia pada masa lalu serta potensi peran Indonesia di masa depan. (Lihat videonya: Buruh Blokir Pintu Tol di Tangerang Menolak UU Cipta Kerja)

“Ini juga guna mendapatkan dukungan dari negara-negara sahabat dalam perlintasan Jalur Rempah dan dunia internasional secara luas dalam rangka pengajuan dan pengakuan Jalur Rempah ke UNESCO sebagai warisan dunia. Strateginya nanti adalah penajaman diplomasi budaya berbasis kontribusi dari sisi kelembagaan dan program. Ini juga sekaligus pengimplementasian model diplomasi berbasis kontribusi menuju pengajuan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia,” kata Bram. (Neneng Zubaidah/Hendri Irawan)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1777 seconds (0.1#10.140)