Posisi Baru Wakil Menteri Diduga Terkait Pengesahan RUU Ciptaker
loading...
A
A
A
(Baca: HMI Cabang se-Sumut Segera Turun ke Jalanan Tolak UU Cipta Kerja Omnibus Law)
Dugaan kedua, Said melanjutkan, dua jabatan wamen itu memiliki keterkaitan dengan proses politik UU Ciptaker di DPR yang mana, dua posisi itu kemungkinan sengaja disiapkan pemerintah untuk mempengaruhi parpol yang dipandang memiliki kecenderungan akan menolak pengesahan UU Ciptaker. Karena bersifat rayuan, maka bisa saja dua kursi wamen itu diciptakan sebagai jebakan batman.
“Artinya, kursi wamen tidak sungguh-sungguh akan diberikan sekalipun parpol bersangkutan sudah mengubah sikap politiknya mendukung omnibus law. Nah, masuk perangkap deh tuh partai. Alih-alih dapat jatah wamen, mereka justru akan mendapat stigma buruk dari masyarakat karena lebih mementingkan jabatan daripada nasib rakyat,” tuturnya.
“Jika partai yang hendak dipikat itu PKS dan Partai Demokrat, maka jelas strategi itu telah gagal total. Sebab, kedua partai tersebut telah menunjukan ketegasannya menolak pengesahan RUU Ciptaker menjadi undang-undang,” imbuh Said.
Kemungkinan ketiga, lanjut dia, jabatan wamen mungkin saja memang sudah dipersiapkan untuk parpol tertentu yang sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan presiden. Bisa saha sudah ada kesepakatan politik yang sudah dirancang sebelumnya antara pemerintah dan parpol tertentu dalam rangka memuluskan pengesahan UU Cipta Kerja di DPR.
“Untuk menguji kemungkinan yang ketiga ini, nanti kita lihat: siapa parpol yang kelak dapat jatah kursi Wamenaker dan Wamenkop UKM,” kata pemerhati kenegaraan itu.
Keempat, Said menjelaskan, di samping soal barter jabatan, parpol-parpol yang mendukung pengesahan UU Cipta Kerja mungkin saja mendapatkan uang atau materi lainnya dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengesahaan UU itu. Bisa dilihat dari sejumlah kasus korupsi yang telah diputus oleh pengadilan dan terbukti melibatkan anggota DPR. Termasuk ada UU yang belakangan diketahui memuat pasal siluman atas pesanan pihak tertentu.
Kemungkinan terakhir, dia menambahkan, terlepas soal barter jabatan dan praktik transaksional yang bersifat koruptif, mungkin juga anggota DPR yang berasal dari fraksi-fraksi yang setuju atas pengesahan RUU Ciptaker sebetulnya memiliki kepentingan tersembunyi. Data menunjukan, dari 575 anggota DPR Periode 2019-2024 yang dilantik, terdapat 262 anggota atau 46% yang berprofesi sebagai pengusaha.
“Nah, oleh karena UU Cipta Kerja dianggap menguntungkan bagi para pelaku bisnis, maka para anggota DPR yang merangkap sebagai pengusaha itu mungkin saja ingin mengamankan kepentingan usahanya, sehingga sanggup mengalahkan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya,” pungkasnya.
Dugaan kedua, Said melanjutkan, dua jabatan wamen itu memiliki keterkaitan dengan proses politik UU Ciptaker di DPR yang mana, dua posisi itu kemungkinan sengaja disiapkan pemerintah untuk mempengaruhi parpol yang dipandang memiliki kecenderungan akan menolak pengesahan UU Ciptaker. Karena bersifat rayuan, maka bisa saja dua kursi wamen itu diciptakan sebagai jebakan batman.
“Artinya, kursi wamen tidak sungguh-sungguh akan diberikan sekalipun parpol bersangkutan sudah mengubah sikap politiknya mendukung omnibus law. Nah, masuk perangkap deh tuh partai. Alih-alih dapat jatah wamen, mereka justru akan mendapat stigma buruk dari masyarakat karena lebih mementingkan jabatan daripada nasib rakyat,” tuturnya.
“Jika partai yang hendak dipikat itu PKS dan Partai Demokrat, maka jelas strategi itu telah gagal total. Sebab, kedua partai tersebut telah menunjukan ketegasannya menolak pengesahan RUU Ciptaker menjadi undang-undang,” imbuh Said.
Kemungkinan ketiga, lanjut dia, jabatan wamen mungkin saja memang sudah dipersiapkan untuk parpol tertentu yang sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan presiden. Bisa saha sudah ada kesepakatan politik yang sudah dirancang sebelumnya antara pemerintah dan parpol tertentu dalam rangka memuluskan pengesahan UU Cipta Kerja di DPR.
“Untuk menguji kemungkinan yang ketiga ini, nanti kita lihat: siapa parpol yang kelak dapat jatah kursi Wamenaker dan Wamenkop UKM,” kata pemerhati kenegaraan itu.
Keempat, Said menjelaskan, di samping soal barter jabatan, parpol-parpol yang mendukung pengesahan UU Cipta Kerja mungkin saja mendapatkan uang atau materi lainnya dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengesahaan UU itu. Bisa dilihat dari sejumlah kasus korupsi yang telah diputus oleh pengadilan dan terbukti melibatkan anggota DPR. Termasuk ada UU yang belakangan diketahui memuat pasal siluman atas pesanan pihak tertentu.
Kemungkinan terakhir, dia menambahkan, terlepas soal barter jabatan dan praktik transaksional yang bersifat koruptif, mungkin juga anggota DPR yang berasal dari fraksi-fraksi yang setuju atas pengesahan RUU Ciptaker sebetulnya memiliki kepentingan tersembunyi. Data menunjukan, dari 575 anggota DPR Periode 2019-2024 yang dilantik, terdapat 262 anggota atau 46% yang berprofesi sebagai pengusaha.
“Nah, oleh karena UU Cipta Kerja dianggap menguntungkan bagi para pelaku bisnis, maka para anggota DPR yang merangkap sebagai pengusaha itu mungkin saja ingin mengamankan kepentingan usahanya, sehingga sanggup mengalahkan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya,” pungkasnya.
(muh)