Tolak UU Cipta Kerja, Serikat Pekerja Tuntut Presiden Terbitkan Perppu

Selasa, 06 Oktober 2020 - 19:18 WIB
loading...
Tolak UU Cipta Kerja, Serikat Pekerja Tuntut Presiden Terbitkan Perppu
Ratusan buruh memblokade jalan nasional Bandung-Garut--Tasikmalaya dalam aksi menolak UU Cipta Kerja di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Foto/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Protes keras atas pengesahan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR pada Senin, 5 Oktober 2020, masih berlanjut. Terlebih, kaum buruh sudah berulang kali meminta pembahasan omnibus law itu dihentikan sebelum disahkan menjadi undang-undang (UU).

Atas pengesahan UU itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan menuding pemerintah dan DPR. seperti ‘kejar setoran’ sehingga terburu-buru mengesahkan UU Cipta Kerja . Hal itu disampaikan serikat pekerja atau buruh di sektor kelistrikan seperti SP PLN Persero, PP Indonesia Power, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk Indonesia.

Mereka mendesak Presiden Joko Widodo mendengarkan aspirasi rakyat dan bersikap tegas dengan membatalkan UU Cipta Kerja melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

“Presiden harus mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan Perppu yang menunda pemberlakukan omnibus law UU Cipta Kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Toh, hal itu untuk kepentingan rakyatnya sendiri,” ujar Ketua Umum PPIP PS Kuncoro kepada SINDOnews, Selasa (6/10/2020).

(Baca: Ribuan Buruh di KBB Turun ke Jalan Tolak UU Cipta Kerja)

Ia menilai omnibus law berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam Subklaster Ketenagalistrikan. Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 111/PUU-XIII/2015 tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja sehingga akan mengakibatkan adanya pelanggaran UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat.

“Kami sudah berkali-kali menyampaikan kepada pihak-pihak terkait akan dampak buruk yang ditimbulkan jika omnibus law dilakukan. Tetapi, aspirasi dan masukan kami hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga tangan. Sebelumnya, para wakil rakyat telah berjanji akan menjadikan putusan MK sebagai pegangan dalam penyusunan UU Cipta Kerja, tapi nyatanya dalam pembahasan Subklaster Ketenagalistrikan janji tersebut terlupakan,” tegas dia.

Ada sejumlah ancaman nyata dari omnibus law terhadap sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Satu di antaranya dihapuskannya peran DPR dalam konsultansi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). “Inti dari dihapusnya peran DPR dalam konsultasi RUKN menyalahi prinsip check and balance dalam melaksanakan kegiatan bernegara di Indonesia,” jelasnya.

(Baca: Demo Tolak UU Cipta Kerja Ricuh, Mahasiswa Rusak Fasilitas Umum dan Mobil Dinas)

Hal itu mengakibatkan beberapa hal. Aspirasi masyarakat dan peran masyarakat dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional tidak tersalurkan sehingga perencanaan ketenagalistrikan berpotensi hanya untuk kepentingan dan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu.

“RUKN sangat berperan penting penentuan harga listrik karena terkait dengan jenis energi primer yang digunakan dalam pembangkit tenaga listrik, karena harga listrik ditentukan 70 persen dari jenis energi primernya,” bebernya lagi.

Lantaran itu, campur tangan para wakil tangan dalam kebijakan energi primer menjadi sangat penting dalam pembahasan RUKN. Pada ujungnya, tarif listrik akan berdampak juga terhadap ekonomi masyarakat.

Ancaman lainnya terlihat dari kembali dimasukkannya Pasal 10 Ayat (2) terkait Unbundling sektor pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan serta Pasal 11 Ayat (1) yang memperbolehkan badan usaha swasta dalam penyediaan listrik untuk kepentingan.

(Baca: Gabungan Serikat Pekerja Minta RUU Ciptaker Tidak Dibawa ke Rapat Paripurna)

Kuncoro menilai ketentuan itu menyalahi keputusan MK berdasarkan Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 bahwa Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Padahal, pertimbangan MK bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut menghilangkan fungsi kontrol negara dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat Indonesia dan hilangnya kedaulatan energi bagi negara.

“Munculnya potensi memperburuk kondisi ketenagalistrikan saat ini yang telah mengalami kelebihan pasokan listrik (oversupply) dan besarnya kewajiban pembayaran take or pay kepada pembangkit listrik swasta (TOP IPP),” tukasnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1876 seconds (0.1#10.140)