PSHK UII Ungkap Sejumlah Catatan Buruk Pengesahan RUU Cipta Kerja

Selasa, 06 Oktober 2020 - 13:41 WIB
loading...
PSHK UII Ungkap Sejumlah Catatan Buruk Pengesahan RUU Cipta Kerja
Pengesahan RUU Ciptaker antara DPR dan pemerintah pada Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10) kemarin banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja ( RUU Ciptaker ) antara DPR dan pemerintah pada Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10) kemarin banyak menuai kritik dari berbagai kalangan.

Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII), Allan Fatchan Gani mengungkap sejumlah catatan buruk dalam proses legislasi yang terulang dengan adanya pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. (Baca juga: UU Ciptaker Disebut Bikin Rentan PHK, Menaker Ida: Itu Kesimpulan Prematur)

“Penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sejak awal sampai dengan pembahasan tidak mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Secara formil, RUU Cipta Kerja cacat formil karena sejak penyusunan sampai dengan pembahasan tidak melibatkan publik,” ujar Allan kepada SINDO Media, Selasa (6/10/2020).

Kemudian, Allan melanjutkan, materi muatan RUU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 antara lain, berpotensi mereduksi hak otonomi seluas-luasnya yang diberikan kepada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Seperti pemangkasan beberapa kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah (Pemda) baik provinsi, hingga kabupaten/kota.

“Hilangnya kewenangan memeroses dan menerbitkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dan izin lingkungan, hilangnya konsultasi penentuan wilayah potensial minyak dan gas bumi, dipangkasnya kewenangan ketenagalistrikan, dan hilangnya memberikan persetujuan kawasan ekonomi khusus,” bebernya.

Allan menjelaskan RUU ini juga mereduksi prinisip perekonomian nasional yang berkelanjutan berwawasan lingkungan (environmental sustainable development) berdasarkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, serta mereduksi jaminan konstitusional setiap orang untuk mendapat lingkungan hidup yang baik berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Di antaranya, Allan menguraikan menghapus izin usaha perkebunan dengan mekanisme amdal, analisis dan manajemen risiko hasil rekayasa genetik, menanggulangi kebakaran; menghapus batas ketentuan minimum 30% kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk Daerah Aliran Sungsi (DAS) dan/atau pulau.

“Sehingga, kawasan hutan dapat dipergunakan untuk kegiatan berusaha yang mengabaikan upaya pelestarian lingkungan hidup,” terang Allan.

Menurut Allan, RUU Ciptaker juga mereduksi hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 28D UUD 1945. Seperti pengaturan upah minimum yang tidak lagi diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak tetapi berdasarkan kondisi pertumbuhan dan inflasi ekonomi daerah serta ketenagakerjaan, kenaikan pengaturan jam lembur kerja, menghilangkan ketentuan istirahat panjang yang sebelumnya diatur secara ketat, serta mengubah ketentuan uang pesangon dan uang penghargaan menjadi lebih tidak proporsional dan tidak berkeadilan.

Karena itu, dia menegaskan berdasarkan uraian catatan buruk tersebut, pihaknya mengajak masyarakat melakukan upaya untuk ‘menjegal’ RUU Cipta Kerja secara konstitusional. Lewat uji materi UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi (MK), atau mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu). (Baca juga: RUU Cipta Kerja Sah Jadi UU, Ini Deretan Dampak Buruknya bagi Rakyat)

“Melakukan Uji Formil dan Uji Materiil UU Omnibus Law Cipta Kerja Ke Mahkamah Konstitusi; dan/atau mendesak presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang untuk membatalkan berlakunya UU Omnibus Law Cipta Kerja,” pungkasnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2574 seconds (0.1#10.140)