Sejarah: Sekadar Kisah atau Pelajaran Berhikmah?
loading...
A
A
A
Sebagai contoh, jauh sebelum Indonesia merdeka, perjuangan mengusir penjajah Belanda sudah dilakukan para pahlawan. Kala itu perjuangan masih bersifat kedaerahan. Perjuangan tidak dilakukan serentak, sehingga Belanda mampu menggunakan politik adu domba untuk memecah belah perjuangan. Kemudian, generasi berikutnya mulai menyadari pentingnya bersatu. Lahirnya Sumpah Pemuda menjadi awal tonggak perjuangan atas nama persatuan.
Namun, sejarah tidak selalu berkaitan dengan perjuangan. Sebagai sebuah catatan, sejarah bicara tidak hanya tentang kebaikan, tapi juga keburukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah pada masa lalu dapat dijadikan pengalaman bagi generasi baru jika menghadapi hal serupa di masa kini atau mendatang.
Apa yang terjadi kini merupakan akibat dari perubahan yang dilakukan oleh pendahulu di masa lalu. Perubahan yang meliputi beragam aspek kehidupan--seperti pendidikan, komunikasi, sosial, politik, ekonomi, budaya--terjadi dalam naungan sejarah. Mengetahui kekurangan di masa lalu, tentu manusia dapat lebih arif mengambil keputusan di masa kini dan nanti.
Di Indonesia, Sejarah dijadikan mata pelajaran wajib. Kemendikbud (2016) menyatakan muatan isi mata pelajaran Sejarah mengembangkan peserta didik agar memiliki kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik, pewaris nilai-nilai kebangsaan, dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan kehidupan masyarakat dan bangsa pada masa kini dan masa depan. Dari pernyataan itu, tentu pemerintah memiliki harapan besar pada mata pelajaran Sejarah. Dengan belajar sejarah, siswa dapat mengkaji nilai-nilai kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Munculnya draf penyederhanaan kurikulum terkait sejarah mestinya membuat para guru berefleksi. Refleksi ini berkaitan dengan cara guru mengajarkan Sejarah di kelas. Belajar Sejarah pada hakikatnya adalah belajar mengingat. Cara guru mengajar agar siswa menyadari bahwa belajar Sejarah itu perlu dengan demikian menjadi penting.
Bayangkan saja jika guru hadir di dalam kelas hanya untuk mengajak siswa menghafal peristiwa yang sama sekali tidak dilaluinya: mengingat tanggal, tempat, dan nama dari sebuah peristiwa. Bukankah itu hal yang menjemukan bagi siswa? Maka tidaklah aneh jika ada sebuah iklan yang menampilkan seorang siswa menjawab, "Takdir, Pak!" ketika guru bertanya alasan gugurnya seorang pejuang.
Perampingan mata pelajaran memang perlu agar beban belajar tidak banyak. Kemendikbud memang perlu mengambil langkah. Namun, tepatkah kalau yang dihapus adalah Sejarah yang notabene adalah pelajaran yang dapat mempersatukan bangsa? Saat ini bangsa kita pun bahkan sering terpecah-belah karena urusan politik, sosial, dan kesenjangan ekonomi. Sejarah mestinya memiliki kekuatan untuk memupuk nasionalisme.
Ketika mendengar klarifikasi Pak Menteri bahwa mata pelajaran Sejarah tetap dipertahankan, setidaknya sampai 2022, ini adalah tantangan. Tantangan bagi guru untuk melakukan inovasi baru dalam pembelajaran Sejarah. Jangan sampai guru tetap bertahan dengan cara lama. Jika terjadi, yang terjadi hari-hari ini pun akan terjadi lagi di masa mendatang: pelajaran Sejarah akan direncanakan untuk dihapuskan. Mampukah kita menghayati, dan para guru Sejarah memberi teladan, bahwa pelajaran Sejarah bukan sekadar mengingat kisah, namun membuat siswa dapat memetik hikmah? Semoga!
Namun, sejarah tidak selalu berkaitan dengan perjuangan. Sebagai sebuah catatan, sejarah bicara tidak hanya tentang kebaikan, tapi juga keburukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah pada masa lalu dapat dijadikan pengalaman bagi generasi baru jika menghadapi hal serupa di masa kini atau mendatang.
Apa yang terjadi kini merupakan akibat dari perubahan yang dilakukan oleh pendahulu di masa lalu. Perubahan yang meliputi beragam aspek kehidupan--seperti pendidikan, komunikasi, sosial, politik, ekonomi, budaya--terjadi dalam naungan sejarah. Mengetahui kekurangan di masa lalu, tentu manusia dapat lebih arif mengambil keputusan di masa kini dan nanti.
Di Indonesia, Sejarah dijadikan mata pelajaran wajib. Kemendikbud (2016) menyatakan muatan isi mata pelajaran Sejarah mengembangkan peserta didik agar memiliki kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik, pewaris nilai-nilai kebangsaan, dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan kehidupan masyarakat dan bangsa pada masa kini dan masa depan. Dari pernyataan itu, tentu pemerintah memiliki harapan besar pada mata pelajaran Sejarah. Dengan belajar sejarah, siswa dapat mengkaji nilai-nilai kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Munculnya draf penyederhanaan kurikulum terkait sejarah mestinya membuat para guru berefleksi. Refleksi ini berkaitan dengan cara guru mengajarkan Sejarah di kelas. Belajar Sejarah pada hakikatnya adalah belajar mengingat. Cara guru mengajar agar siswa menyadari bahwa belajar Sejarah itu perlu dengan demikian menjadi penting.
Bayangkan saja jika guru hadir di dalam kelas hanya untuk mengajak siswa menghafal peristiwa yang sama sekali tidak dilaluinya: mengingat tanggal, tempat, dan nama dari sebuah peristiwa. Bukankah itu hal yang menjemukan bagi siswa? Maka tidaklah aneh jika ada sebuah iklan yang menampilkan seorang siswa menjawab, "Takdir, Pak!" ketika guru bertanya alasan gugurnya seorang pejuang.
Perampingan mata pelajaran memang perlu agar beban belajar tidak banyak. Kemendikbud memang perlu mengambil langkah. Namun, tepatkah kalau yang dihapus adalah Sejarah yang notabene adalah pelajaran yang dapat mempersatukan bangsa? Saat ini bangsa kita pun bahkan sering terpecah-belah karena urusan politik, sosial, dan kesenjangan ekonomi. Sejarah mestinya memiliki kekuatan untuk memupuk nasionalisme.
Ketika mendengar klarifikasi Pak Menteri bahwa mata pelajaran Sejarah tetap dipertahankan, setidaknya sampai 2022, ini adalah tantangan. Tantangan bagi guru untuk melakukan inovasi baru dalam pembelajaran Sejarah. Jangan sampai guru tetap bertahan dengan cara lama. Jika terjadi, yang terjadi hari-hari ini pun akan terjadi lagi di masa mendatang: pelajaran Sejarah akan direncanakan untuk dihapuskan. Mampukah kita menghayati, dan para guru Sejarah memberi teladan, bahwa pelajaran Sejarah bukan sekadar mengingat kisah, namun membuat siswa dapat memetik hikmah? Semoga!
(bmm)