Sejarah: Sekadar Kisah atau Pelajaran Berhikmah?
loading...
A
A
A
Erry Trisna
Guru dan Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Bali
BELAKANGAN berita tentang penghapusan pelajaran Sejarah di tingkat SMA/SMK ramai dibincangkan. Rencana perubahan terhadap pelajaran Sejarah di SMA/SMK tersebut tertuang dalam draf Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tanggal 25 Agustus 2020. Draf tersebut beredar di kalangan akademisi dan guru. Dalam draf tersebut, mata pelajaran Sejarah disebut tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib di tingkat SMA, dan menjadi mata pelajaran pilihan. Bahkan di SMK, pelajaran Sejarah ditiadakan.
Perampingan kurikulum telah diwacanakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sekitar April 2020, bertujuan mengurangi beban belajar siswa. Implikasinya adalah pengurangan mata pelajaran dalam kurikulum. Saat itu Kemendikbud menyatakan belum ada keputusan konkret terkait bagaimana modifikasi kurikulum dilakukan, atau mata pelajaran apa yang harus dipangkas.
Wacana ini juga muncul untuk menjawab tantangan kualitas pendidikan Indonesia yang menurun. Pada 2018, dari 77 negara yang mengikuti program PISA, Indonesia menempati urutan ke 72. Ini mengkhawatirkan. Beban mata pelajaran kita banyak, terlebih lagi ada beberapa rumpun yang terintegrasI--misalnya IPA Terpadu di SMP--dapat membuat seorang guru Biologi, misalnya, harus mampu mengajar mata pelajaran IPA lainnya (Fisika dan Kimia), karena itu masih serumpun. Artinya, dapat muncul anggapan bahwa guru bisa saja mengajarkan ilmu yang tidak sesuai kemampuannya.
Sebenarnya, proses perubahan kurikulum bukan pertama kali ini terjadi di Indonesia. Banyak babak telah terlewati. Pada 1950, ada kurikulum pertama yang berorientasi Pancasila. Ini dibuat untuk menjawab tantangan saat itu, manakala bangsa Indonesia baru lepas dari penjajahan Belanda.
Kemudian pada 1968, kurikulum diubah dari Pancawardhana menjadi Jiwa Pancasila. Perubahan terjadi lagi pada 1984 dengan jargon yang terkenal Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA kemudian dirombak lagi karena banyak sekolah yang kurang mampu menafsirkannya.
Hingga akhirnya, pada 2020, kurikulum yang masih dipakai adalah Kurikulum 2013 yang dianggap banyak kalangan sebagai kurikulum dengan konsep pembelajaran kurang relevan dengan situasi saat ini. Kurikulum itu juga sulit diterjemahkan guru dalam merangkai proses kegiatan belajar-mengajar karena sifatnya yang terintegrasi.
Bahkan, tidak sedikit wacana agar sekolah kembali menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006 yang berorientasi pada mata pelajaran yang parsial. Proses berkesinambungan itu menunjukkan bahwa kurikulum menjadi sebuah catatan sejarah bagi perjalanan pendidikan bangsa ini. Lantas, perlukah pemangkasan mata pelajaran Sejarah?
Sejarah dan Pembelajaran
Setiap bangsa memiliki sejarah masing-masing, meskipun tidak semua dapat tertulis dalam sebuah catatan sejarah. Dalam sejarah, manusia bisa berperan menjadi pembuat sejarah, dan manusia lainnya menjadi penutur sejarah. Mempelajari sejarah sama halnya dengan mengenal kembali diri sendiri. Karena itu, penting bagi tiap generasi mengenali bangsanya dengan mempelajari sejarah.
Maka menjadi tepat, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Bahkan Bung Karno, sang Proklamator, mengumandangkan agar kita jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Sebagai contoh, jauh sebelum Indonesia merdeka, perjuangan mengusir penjajah Belanda sudah dilakukan para pahlawan. Kala itu perjuangan masih bersifat kedaerahan. Perjuangan tidak dilakukan serentak, sehingga Belanda mampu menggunakan politik adu domba untuk memecah belah perjuangan. Kemudian, generasi berikutnya mulai menyadari pentingnya bersatu. Lahirnya Sumpah Pemuda menjadi awal tonggak perjuangan atas nama persatuan.
Namun, sejarah tidak selalu berkaitan dengan perjuangan. Sebagai sebuah catatan, sejarah bicara tidak hanya tentang kebaikan, tapi juga keburukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah pada masa lalu dapat dijadikan pengalaman bagi generasi baru jika menghadapi hal serupa di masa kini atau mendatang.
Apa yang terjadi kini merupakan akibat dari perubahan yang dilakukan oleh pendahulu di masa lalu. Perubahan yang meliputi beragam aspek kehidupan--seperti pendidikan, komunikasi, sosial, politik, ekonomi, budaya--terjadi dalam naungan sejarah. Mengetahui kekurangan di masa lalu, tentu manusia dapat lebih arif mengambil keputusan di masa kini dan nanti.
Di Indonesia, Sejarah dijadikan mata pelajaran wajib. Kemendikbud (2016) menyatakan muatan isi mata pelajaran Sejarah mengembangkan peserta didik agar memiliki kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik, pewaris nilai-nilai kebangsaan, dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan kehidupan masyarakat dan bangsa pada masa kini dan masa depan. Dari pernyataan itu, tentu pemerintah memiliki harapan besar pada mata pelajaran Sejarah. Dengan belajar sejarah, siswa dapat mengkaji nilai-nilai kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Munculnya draf penyederhanaan kurikulum terkait sejarah mestinya membuat para guru berefleksi. Refleksi ini berkaitan dengan cara guru mengajarkan Sejarah di kelas. Belajar Sejarah pada hakikatnya adalah belajar mengingat. Cara guru mengajar agar siswa menyadari bahwa belajar Sejarah itu perlu dengan demikian menjadi penting.
Bayangkan saja jika guru hadir di dalam kelas hanya untuk mengajak siswa menghafal peristiwa yang sama sekali tidak dilaluinya: mengingat tanggal, tempat, dan nama dari sebuah peristiwa. Bukankah itu hal yang menjemukan bagi siswa? Maka tidaklah aneh jika ada sebuah iklan yang menampilkan seorang siswa menjawab, "Takdir, Pak!" ketika guru bertanya alasan gugurnya seorang pejuang.
Perampingan mata pelajaran memang perlu agar beban belajar tidak banyak. Kemendikbud memang perlu mengambil langkah. Namun, tepatkah kalau yang dihapus adalah Sejarah yang notabene adalah pelajaran yang dapat mempersatukan bangsa? Saat ini bangsa kita pun bahkan sering terpecah-belah karena urusan politik, sosial, dan kesenjangan ekonomi. Sejarah mestinya memiliki kekuatan untuk memupuk nasionalisme.
Ketika mendengar klarifikasi Pak Menteri bahwa mata pelajaran Sejarah tetap dipertahankan, setidaknya sampai 2022, ini adalah tantangan. Tantangan bagi guru untuk melakukan inovasi baru dalam pembelajaran Sejarah. Jangan sampai guru tetap bertahan dengan cara lama. Jika terjadi, yang terjadi hari-hari ini pun akan terjadi lagi di masa mendatang: pelajaran Sejarah akan direncanakan untuk dihapuskan. Mampukah kita menghayati, dan para guru Sejarah memberi teladan, bahwa pelajaran Sejarah bukan sekadar mengingat kisah, namun membuat siswa dapat memetik hikmah? Semoga!
Guru dan Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Bali
BELAKANGAN berita tentang penghapusan pelajaran Sejarah di tingkat SMA/SMK ramai dibincangkan. Rencana perubahan terhadap pelajaran Sejarah di SMA/SMK tersebut tertuang dalam draf Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tanggal 25 Agustus 2020. Draf tersebut beredar di kalangan akademisi dan guru. Dalam draf tersebut, mata pelajaran Sejarah disebut tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib di tingkat SMA, dan menjadi mata pelajaran pilihan. Bahkan di SMK, pelajaran Sejarah ditiadakan.
Perampingan kurikulum telah diwacanakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sekitar April 2020, bertujuan mengurangi beban belajar siswa. Implikasinya adalah pengurangan mata pelajaran dalam kurikulum. Saat itu Kemendikbud menyatakan belum ada keputusan konkret terkait bagaimana modifikasi kurikulum dilakukan, atau mata pelajaran apa yang harus dipangkas.
Wacana ini juga muncul untuk menjawab tantangan kualitas pendidikan Indonesia yang menurun. Pada 2018, dari 77 negara yang mengikuti program PISA, Indonesia menempati urutan ke 72. Ini mengkhawatirkan. Beban mata pelajaran kita banyak, terlebih lagi ada beberapa rumpun yang terintegrasI--misalnya IPA Terpadu di SMP--dapat membuat seorang guru Biologi, misalnya, harus mampu mengajar mata pelajaran IPA lainnya (Fisika dan Kimia), karena itu masih serumpun. Artinya, dapat muncul anggapan bahwa guru bisa saja mengajarkan ilmu yang tidak sesuai kemampuannya.
Sebenarnya, proses perubahan kurikulum bukan pertama kali ini terjadi di Indonesia. Banyak babak telah terlewati. Pada 1950, ada kurikulum pertama yang berorientasi Pancasila. Ini dibuat untuk menjawab tantangan saat itu, manakala bangsa Indonesia baru lepas dari penjajahan Belanda.
Kemudian pada 1968, kurikulum diubah dari Pancawardhana menjadi Jiwa Pancasila. Perubahan terjadi lagi pada 1984 dengan jargon yang terkenal Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA kemudian dirombak lagi karena banyak sekolah yang kurang mampu menafsirkannya.
Hingga akhirnya, pada 2020, kurikulum yang masih dipakai adalah Kurikulum 2013 yang dianggap banyak kalangan sebagai kurikulum dengan konsep pembelajaran kurang relevan dengan situasi saat ini. Kurikulum itu juga sulit diterjemahkan guru dalam merangkai proses kegiatan belajar-mengajar karena sifatnya yang terintegrasi.
Bahkan, tidak sedikit wacana agar sekolah kembali menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006 yang berorientasi pada mata pelajaran yang parsial. Proses berkesinambungan itu menunjukkan bahwa kurikulum menjadi sebuah catatan sejarah bagi perjalanan pendidikan bangsa ini. Lantas, perlukah pemangkasan mata pelajaran Sejarah?
Sejarah dan Pembelajaran
Setiap bangsa memiliki sejarah masing-masing, meskipun tidak semua dapat tertulis dalam sebuah catatan sejarah. Dalam sejarah, manusia bisa berperan menjadi pembuat sejarah, dan manusia lainnya menjadi penutur sejarah. Mempelajari sejarah sama halnya dengan mengenal kembali diri sendiri. Karena itu, penting bagi tiap generasi mengenali bangsanya dengan mempelajari sejarah.
Maka menjadi tepat, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Bahkan Bung Karno, sang Proklamator, mengumandangkan agar kita jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Sebagai contoh, jauh sebelum Indonesia merdeka, perjuangan mengusir penjajah Belanda sudah dilakukan para pahlawan. Kala itu perjuangan masih bersifat kedaerahan. Perjuangan tidak dilakukan serentak, sehingga Belanda mampu menggunakan politik adu domba untuk memecah belah perjuangan. Kemudian, generasi berikutnya mulai menyadari pentingnya bersatu. Lahirnya Sumpah Pemuda menjadi awal tonggak perjuangan atas nama persatuan.
Namun, sejarah tidak selalu berkaitan dengan perjuangan. Sebagai sebuah catatan, sejarah bicara tidak hanya tentang kebaikan, tapi juga keburukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah pada masa lalu dapat dijadikan pengalaman bagi generasi baru jika menghadapi hal serupa di masa kini atau mendatang.
Apa yang terjadi kini merupakan akibat dari perubahan yang dilakukan oleh pendahulu di masa lalu. Perubahan yang meliputi beragam aspek kehidupan--seperti pendidikan, komunikasi, sosial, politik, ekonomi, budaya--terjadi dalam naungan sejarah. Mengetahui kekurangan di masa lalu, tentu manusia dapat lebih arif mengambil keputusan di masa kini dan nanti.
Di Indonesia, Sejarah dijadikan mata pelajaran wajib. Kemendikbud (2016) menyatakan muatan isi mata pelajaran Sejarah mengembangkan peserta didik agar memiliki kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik, pewaris nilai-nilai kebangsaan, dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan kehidupan masyarakat dan bangsa pada masa kini dan masa depan. Dari pernyataan itu, tentu pemerintah memiliki harapan besar pada mata pelajaran Sejarah. Dengan belajar sejarah, siswa dapat mengkaji nilai-nilai kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Munculnya draf penyederhanaan kurikulum terkait sejarah mestinya membuat para guru berefleksi. Refleksi ini berkaitan dengan cara guru mengajarkan Sejarah di kelas. Belajar Sejarah pada hakikatnya adalah belajar mengingat. Cara guru mengajar agar siswa menyadari bahwa belajar Sejarah itu perlu dengan demikian menjadi penting.
Bayangkan saja jika guru hadir di dalam kelas hanya untuk mengajak siswa menghafal peristiwa yang sama sekali tidak dilaluinya: mengingat tanggal, tempat, dan nama dari sebuah peristiwa. Bukankah itu hal yang menjemukan bagi siswa? Maka tidaklah aneh jika ada sebuah iklan yang menampilkan seorang siswa menjawab, "Takdir, Pak!" ketika guru bertanya alasan gugurnya seorang pejuang.
Perampingan mata pelajaran memang perlu agar beban belajar tidak banyak. Kemendikbud memang perlu mengambil langkah. Namun, tepatkah kalau yang dihapus adalah Sejarah yang notabene adalah pelajaran yang dapat mempersatukan bangsa? Saat ini bangsa kita pun bahkan sering terpecah-belah karena urusan politik, sosial, dan kesenjangan ekonomi. Sejarah mestinya memiliki kekuatan untuk memupuk nasionalisme.
Ketika mendengar klarifikasi Pak Menteri bahwa mata pelajaran Sejarah tetap dipertahankan, setidaknya sampai 2022, ini adalah tantangan. Tantangan bagi guru untuk melakukan inovasi baru dalam pembelajaran Sejarah. Jangan sampai guru tetap bertahan dengan cara lama. Jika terjadi, yang terjadi hari-hari ini pun akan terjadi lagi di masa mendatang: pelajaran Sejarah akan direncanakan untuk dihapuskan. Mampukah kita menghayati, dan para guru Sejarah memberi teladan, bahwa pelajaran Sejarah bukan sekadar mengingat kisah, namun membuat siswa dapat memetik hikmah? Semoga!
(bmm)