Pedagogi Pascapandemi Covid-19

Senin, 05 Oktober 2020 - 06:07 WIB
loading...
Pedagogi Pascapandemi Covid-19
Rakhmat Hidayat
A A A
JAKARTA - Rakhmat Hidayat

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

PANDEMI Covid-19 telah menggeser paradigma lama pedagogi atau ilmu pendidikan/pengajaran di berbagai negara. Secara empiris, kita bisa melihat terjadinya dekonstruksi pedagogi konvensional yang melahirkan inovasi nonkonvensional pedagogi (non-conventional pedagogy).

Pandemi Covid-19 menyebabkan gangguan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sistem pendidikan di seluruh dunia. Covid-19 mendekonstruksi kemapanan pedagogi konvensional. Semua aktor pendidikan, yakni guru, dosen, murid, mahasiswa, orang tua, "dipaksa" melakukan adaptasi dan perubahan strategi dari belajar model konvensional dan tatap muka, ke model nontatap muka melalui daring atau virtual (Hollweck & Doucet, 2020).

Saya melihat muncul kesadaran kolektif penggunaan berbagai platform baru untuk mendukung pembelajaran. Platform virtual memfasilitasi proses pembelajaran dan menjadi pola pedagogi baru. Meski demikian, paradigma baru tersebut membawa ekses lain, yaitu terjadinya ketimpangan akses di masyarakat dalam merespons perubahan paradigma pengajaran baru tersebut.
Penggunaan berbagai platform pengajaran di masa pandemi ini memerlukan dukungan sumber daya seperti gawai, akses internet, dan akses listrik. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, hal ini tentu tidak masalah. Tetapi tidak bagi kelas bawah yang tidak memiliki akses internet, akses listrik, dan gawai. Ini justru menjadi beban. Tidak sedikit yang mengalami keterbatasan ini karena Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografi memiliki banyak daerah terpencil.

Akhirnya, kelas bawah terpinggirkan dalam relasi pedagogi tersebut karena punya keterbatasan.

Adapun pemilik modal, terutama platform konferensi digital seperti Zoom dan Google Meet, diuntungkan dengan situasi ini. Platform pembelajaran daring seperti Ruangguru, Zenius, Quipper, Klassku, Edmodo, Kahoot, dan Kelase juga mendapat keuntungan karena penggunanya meningkat tajam seiring situasi pandemi.

Lanskap Pedagogi Pasca-Covid-19

Istilah pedagogi pascapandemi (the post pandemic pedagogy) diintrodusasi beberapa akademisi (Murphy, 2020; McCarty, 2020). Di tengah kondisi Covid-19 yang belum
jelas kapan berakhirnya, termasuk di Indonesia, memang sulit untuk memprediksi lanskap pedagogi pascasituasi pagebluk ini. Dunia internasional juga masih concern dalam penanganan transmisi Covid-19. Saya melihat perlu ada normalisasi
 emergency pedagogy dengan mengikis ketidaksetaraan struktural kelas, kapital, dan ras di masyarakat. Harus ada perubahan paradigma pedagogi di seluruh pemangku kepentingan. Perubahan paradigma itu terkait strategi, inovasi, pendekatan, dan evaluasi pedagogi. Tidak kalah penting adalah mendorong penguatan kepemimpinan pendidikan dari negara sebagai otoritas pendidikan tertinggi ke politik pendidikan yang inklusif dan sensitif krisis.

Saya sangat prihatin ketika ribuan anak-anak Indonesia harus berjuang mendapatkan gawai dan koneksi internet, tetapi negara dengan Program Organisasi Penggerak (POP) justru memberikan dana sangat besar kepada lembaga/perusahaan raksasa yang justru tidak memerlukannya. Hal ini menunjukkan negara tidak memiliki kepekaan terhadap krisis Covid-19, meskipun akhirnya program POP tersebut dihentikan. Adanya kepemimpinan pendidikan yang kuat di masa seperti ini akan mengantarkan kepada kondisi new educational insights (Bonk,et.al, 2020).

Agenda

Pascapandemi, terdapat dua proyeksi dalam praktik pedagogi. Pertama akan terjadi peningkatan secara dramatis blended learning, yakni gabungan antara pembelajaran tatap muka dan daring. Kedua, pedagogi daring akan menjadi strategi prioritas setiap institusi. Oleh karena itu, untuk mendukung kedua hal tersebut diperlukan penguatan kompetensi dan kapasitas digital pedagogy untuk tenaga pendidikan (guru dan dosen, tenaga kependidikan).

Selain itu, perlu juga dilakukan kerja-kerja advokasi untuk kelompok-kelompok rentan (disadvantage groups) seperti guru pedalaman, masyarakat miskin yang tidak bisa mengakses proses pembelajaran. Secara teknis pedagogi, kita perlu mempersiapkan desain pengukuran instrumen, evaluasi efektivitas/asesmen pembelajaran (Rapanta, Botturi, Goodyear,2020). Hal ini sangat penting karena bisa mengukur dan menjadi alat kontrol kualitas pendidikan selama dan pascapandemi. Hal lainnya adalah negara harus mendorong sumber daya pembelajaran kepada masyarakat luas. Sejak Maret 2020 hingga Agustus 2020, negara belum hadir maksimal dalam merespons krisis pedagogi yang dialami masyarakat. Kita bisa melihat banyak anak-anak yang tidak memiliki gawai, terbebani oleh kuota internet, dan daerahnya belum teraliri listrik.

Provider internet/swasta belum menunjukkan dukungan terhadap problem ini. Mekanisme pasar sangat tampak dalam situasi ini. Perlu mendorong keterlibatan swasta dalam mendukung pedagogi pascapandemi. Akses internet yang merata, potensial meningkatkan kualitas pembelajaran. Tanpa teknologi, pemerintah sulit menjawab masalah kesenjangan pendidikan tersebut.
Infrastruktur dan akses internet ini bisa mendorong peningkatan kualitas dan akses pendidikan sepanjang dilengkapi dengan visi kebijakan yang jelas dan inklusif.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2119 seconds (0.1#10.140)