Heboh Laptop Rp10 Juta
loading...
A
A
A
Akhir pekan ini publik dihebohkan dengan kabar laptop seharga Rp10 juta yang bakal dibagikan bagi pelajar di Tanah Air. Anggaran Rp2,4 triliun disiapkan untuk program pengadaan laptop yang bakal dibagikan untuk 242.465 pelajar di sekitar 15.656 sekolah.
Tentu ini kabar gembira. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbud Ristek) memiliki program yang peka atas kebutuhan pelajar. Laptop dewasa ini sudah barang tentu merupakan kebutuhan tak terpisahkan bagi pelajar. Hampir semua tugas dan pelajaran sekarang mensyaratkan laptop untuk menuntaskannya. Baik untuk mempermudah guru dalam menerangkan pelajaran di kelas, untuk menyimpan data, atau membuat tugas dalam bentuk tulisan, gambar maupun video. Kebutuhan laptop semakin terasa kala Covid-19 dalam satu tahun terakhir. Kala sekolah-sekolah ditutup untuk menghindari penularan wabah, mau tidak mau pembelajaran harus dilakukan secara daring (dalam jaringan). Imbasnya kebutuhan laptop tidak bisa dihindarkan sebagai media pembelajaran antara guru dan siswa.
Namun kebijakan ini menjadi sorotan banyak kalangan saat melihat besaran anggaran yang dialokasikan. Kemendikbud Ristek menganggarakan hingga Rp2,4 triliun untuk program tersebut. Jika diasumsikan ada 242.465 pelajar yang jadi sasaran, harga satu laptop dalam program ini hampir Rp10 juta/per unit. Tentu berapa pun harga laptop untuk pelajar tidak masalah asalkan ada kesesuaian antara harga dan spesifikasi laptop. Dari beberapa reviu pengguna laptop, harga Rp10 juta setidaknya mendapatkan spesifikasi RAM 8 gigabite (GB), SSD 512 GB, prosesor I5 generasi 11 serta bisa mendapatkan windows 10 dan mendapatkan microsof office. Masalahnya spesifikasi yang disyaratkan untuk laptop dalam program ini hanya spesifikasi minimal. RAM 4 GB, DDR 4, prosesor core 2, monitor LED 11 inc, harddrive 32 GB, USB 3.0, OS Chrom, dan garansi 1 tahun. Laptop dengan spesifikasi minimal ini di pasaran dijual dengan kisaran harga Rp4 juta-5 juta.
Ada selisih harga yang cukup mencolok antara alokasi anggaran dengan spesifikasi yang disyaratkan. Memang dari keterangan Kemendikbud Ristek, penyebutan laptop Rp10 juta sebenarnya kurang tepat. Anggaran Rp10 juta nantinya berupa paket teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Nantinya satu paket TIK tersebut terdiri atas laptop, router, scan-printer, dan konektor. Namun tetap saja keterangan tetap tidak memuaskan publik. Paket TIK senilai Rp10 juta tersebut di mata banyak kalangan juga mengandung keanehan. Jika diasumsikan laptop dengan spesifikasi yang disyaratkan seharga Rp5 juta, berarti ada alokasi Rp5 juta untuk router, scan-printer, dan konektor. Alokasi yang cukup besar untuk harga router, scan-printer, dan konektor bagi laptop dengan spesifikasi minimal.
Selain persoalan harga, program paket TIK ini juga menjadi sorotan karena sistem operasional laptop menggunakan chromebook. Sistem operasional ini mensyaratkan jaringan internet untuk memaksimalkan penggunaan. Sistem ini akan sangat sulit digunakan jika dilakukan dalam kondisi offline. Masalahnya jaringan internet di Indonesia belum merata. Faktor tidak meratanya jaringan internet ini jugalah yang menjadi kendala pelaksanaan pembelajaran jarak jauh selama pandemi ini. Tentunya berbagai sorotan publik harus membuat pemerintah berhati-hati dalam menjalankan program tersebut. Jangan sampai program yang diidealkan sebagai upaya membantu memecahkan masalah mendasar para siswa selama pandemi malah menjadi bumerang.
Aspek transparansi mulai kepastian harga, jenis item teknologi informasi yang diberikan, hingga kejelasan siapa saja yang menerima harus ditekankan. Jangan sampai atas nama kepentingan pelajar atau narasi mengutamakan produk dalam negeri, lalu faktor kualitas produk teknologi informasi yang diberikan asal-asalan. Selain itu, prinsip keterbukaan dan fairness juga harus diterapkan dalam memilih rekanan program ini. Uang negara senilai Rp2,4 triliun cukuplah besar dan menggiurkan sehingga harus dipastikan jika program ini tidak akan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Selain itu pemerintah juga harus memastikan jika jaringan internet sebagai penunjang produk TIK yang diberikan cepat merata di pelosok negeri. Jangan sampai produk TIK akhirnya hanya menjadi pajangan di rumah peserta didik karena tidak bisa dioperasikan.
Tentu ini kabar gembira. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbud Ristek) memiliki program yang peka atas kebutuhan pelajar. Laptop dewasa ini sudah barang tentu merupakan kebutuhan tak terpisahkan bagi pelajar. Hampir semua tugas dan pelajaran sekarang mensyaratkan laptop untuk menuntaskannya. Baik untuk mempermudah guru dalam menerangkan pelajaran di kelas, untuk menyimpan data, atau membuat tugas dalam bentuk tulisan, gambar maupun video. Kebutuhan laptop semakin terasa kala Covid-19 dalam satu tahun terakhir. Kala sekolah-sekolah ditutup untuk menghindari penularan wabah, mau tidak mau pembelajaran harus dilakukan secara daring (dalam jaringan). Imbasnya kebutuhan laptop tidak bisa dihindarkan sebagai media pembelajaran antara guru dan siswa.
Namun kebijakan ini menjadi sorotan banyak kalangan saat melihat besaran anggaran yang dialokasikan. Kemendikbud Ristek menganggarakan hingga Rp2,4 triliun untuk program tersebut. Jika diasumsikan ada 242.465 pelajar yang jadi sasaran, harga satu laptop dalam program ini hampir Rp10 juta/per unit. Tentu berapa pun harga laptop untuk pelajar tidak masalah asalkan ada kesesuaian antara harga dan spesifikasi laptop. Dari beberapa reviu pengguna laptop, harga Rp10 juta setidaknya mendapatkan spesifikasi RAM 8 gigabite (GB), SSD 512 GB, prosesor I5 generasi 11 serta bisa mendapatkan windows 10 dan mendapatkan microsof office. Masalahnya spesifikasi yang disyaratkan untuk laptop dalam program ini hanya spesifikasi minimal. RAM 4 GB, DDR 4, prosesor core 2, monitor LED 11 inc, harddrive 32 GB, USB 3.0, OS Chrom, dan garansi 1 tahun. Laptop dengan spesifikasi minimal ini di pasaran dijual dengan kisaran harga Rp4 juta-5 juta.
Ada selisih harga yang cukup mencolok antara alokasi anggaran dengan spesifikasi yang disyaratkan. Memang dari keterangan Kemendikbud Ristek, penyebutan laptop Rp10 juta sebenarnya kurang tepat. Anggaran Rp10 juta nantinya berupa paket teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Nantinya satu paket TIK tersebut terdiri atas laptop, router, scan-printer, dan konektor. Namun tetap saja keterangan tetap tidak memuaskan publik. Paket TIK senilai Rp10 juta tersebut di mata banyak kalangan juga mengandung keanehan. Jika diasumsikan laptop dengan spesifikasi yang disyaratkan seharga Rp5 juta, berarti ada alokasi Rp5 juta untuk router, scan-printer, dan konektor. Alokasi yang cukup besar untuk harga router, scan-printer, dan konektor bagi laptop dengan spesifikasi minimal.
Selain persoalan harga, program paket TIK ini juga menjadi sorotan karena sistem operasional laptop menggunakan chromebook. Sistem operasional ini mensyaratkan jaringan internet untuk memaksimalkan penggunaan. Sistem ini akan sangat sulit digunakan jika dilakukan dalam kondisi offline. Masalahnya jaringan internet di Indonesia belum merata. Faktor tidak meratanya jaringan internet ini jugalah yang menjadi kendala pelaksanaan pembelajaran jarak jauh selama pandemi ini. Tentunya berbagai sorotan publik harus membuat pemerintah berhati-hati dalam menjalankan program tersebut. Jangan sampai program yang diidealkan sebagai upaya membantu memecahkan masalah mendasar para siswa selama pandemi malah menjadi bumerang.
Aspek transparansi mulai kepastian harga, jenis item teknologi informasi yang diberikan, hingga kejelasan siapa saja yang menerima harus ditekankan. Jangan sampai atas nama kepentingan pelajar atau narasi mengutamakan produk dalam negeri, lalu faktor kualitas produk teknologi informasi yang diberikan asal-asalan. Selain itu, prinsip keterbukaan dan fairness juga harus diterapkan dalam memilih rekanan program ini. Uang negara senilai Rp2,4 triliun cukuplah besar dan menggiurkan sehingga harus dipastikan jika program ini tidak akan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Selain itu pemerintah juga harus memastikan jika jaringan internet sebagai penunjang produk TIK yang diberikan cepat merata di pelosok negeri. Jangan sampai produk TIK akhirnya hanya menjadi pajangan di rumah peserta didik karena tidak bisa dioperasikan.
(war)