Kasus Dugaan Penipuan Oknum Kader Demokrat Tak Bisa Dihentikan Tuntutannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus dugaan penipuan oleh oknum kader Demokrat RO sebesar Rp1,7 miliar yang ditangani Kacabjari Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota dinilai tidak bisa dihentikan tuntutannya.Apalagi dasar pertimbangan penghentian tuntutan itu memakai azas restorasi justice, sebagaimana termuat dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020.
“Restorasi justice itu mekanisme penyelesaian dalam kasus tindak pidana yang nilainya di bawah Rp2.500.000 atau kasus pidana yang pelakunya masih anak anak di bawah umur. Jadi, tidak tepat jika diterapkan untuk kasus penipuan yang nilainya bisa dibilang fantastis mencapai miliaran rupiah,” ujar Pengamat Hukum dari Universitas Krisnadwipayana Suyanto Londrang kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (1/9/2020). (Baca juga: Penegak Hukum Harus Tuntaskan Kasus Hukum Oknum Kader Demokrat)
Hal ini disampaikan Suyanto menanggapi kabar dari kubu tersangka RO yang mengklaim, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menyetujui permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, Surat Keterangan Pemberhentian Penuntutan (SKPP) kepada RO itu bakal dikeluarkan.
Soal sudah adanya kesepakatan damai antara pihak tersangka dan korban, Suyanto menegaskan untuk tindak pidana biasa hubungan hukumnya antara negara dengan pelaku kejahatan.Jadi kata dia, tidak bisa serta merta melalui penyelesaian damai antara pelaku penipuan dengan si korban, kemudian perkara pidananya tak dilanjutkan.
“Meskipun telah tercapai perdamaian oleh para pihak, proses hukum atas delik biasa yang sedang berlangsung tidak serta merta dapat dihentikan,” katanya.
Suyanto pun mengutif, PAF Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia (hal. 217-218). Di situ kata dia, memberi pengertian delik biasa sebagai tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.
Yang harus dilakukan penegak hukum sebagai representasi negara dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan adalah melengkapi bukti-bukti, dan melakukan penuntutan terhadap pelaku sampai pengadilan memutus bersalah atau tidak.
Suyanto juga menambahkan ketentuan mengenai tindak pidana penipuan diatur di dalam undang-undang dalam hal ini KUHP. Sekalipun Kejaksaan Agung menerbitkan peraturan kejaksaan, tidak bisa bertentangan dengan undang undang.
“Secara hierarki KUHP lebih tinggi dari peraturan kejaksaan tersebut,” kata Advokat dari Peradi ini.
Sebelumnya diberitakan, Dasril sepupu tersangka RO kepada wartawan sabtu pagi (19/09), menyampaikan tanggal 16 September 2020 Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menyetujui permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, SKPP tersebut akan segera di terbitkan.
Berbeda Wakil Kepala Kejati Sumbar sekaligus Pelaksana tugas Kajati Sumbar, Yusron menegaskan kasus dugaan penipuan sebesar Rp1,7 miliar yang ditangani Kacabjari Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, tidak memenuhi syarat untuk dihentikan penuntutannya sebagaimana termuat dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020.
"Kami telah mempelajari perkara tersebut dan berkoordinasi dengan Jampidum Kejagung, dari situ disimpulkan kasus ini tidak bisa dihentikan penuntutannya," kata Yusron.
Yusron juga menegaskan Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif hanya diberikan untuk kerugian di bawah Rp2,5 juta, seperti masyarakat kecil yang mencuri singkong, kakao, atau sekeping kayu sehingga mereka tidak perlu dibawa ke persidangan. (Baca juga: Tiru Sosok SBY, AHY Harus Berani Pecat Kader Demokrat yang Bermasalah)
Ia mengemukakan dengan tidak terpenuhinya syarat penghentian penuntutan tersebut maka Kecabjari Suliki selanjutnya akan melanjutkan proses perkara dan melimpahkannya
“Restorasi justice itu mekanisme penyelesaian dalam kasus tindak pidana yang nilainya di bawah Rp2.500.000 atau kasus pidana yang pelakunya masih anak anak di bawah umur. Jadi, tidak tepat jika diterapkan untuk kasus penipuan yang nilainya bisa dibilang fantastis mencapai miliaran rupiah,” ujar Pengamat Hukum dari Universitas Krisnadwipayana Suyanto Londrang kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (1/9/2020). (Baca juga: Penegak Hukum Harus Tuntaskan Kasus Hukum Oknum Kader Demokrat)
Hal ini disampaikan Suyanto menanggapi kabar dari kubu tersangka RO yang mengklaim, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menyetujui permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, Surat Keterangan Pemberhentian Penuntutan (SKPP) kepada RO itu bakal dikeluarkan.
Soal sudah adanya kesepakatan damai antara pihak tersangka dan korban, Suyanto menegaskan untuk tindak pidana biasa hubungan hukumnya antara negara dengan pelaku kejahatan.Jadi kata dia, tidak bisa serta merta melalui penyelesaian damai antara pelaku penipuan dengan si korban, kemudian perkara pidananya tak dilanjutkan.
“Meskipun telah tercapai perdamaian oleh para pihak, proses hukum atas delik biasa yang sedang berlangsung tidak serta merta dapat dihentikan,” katanya.
Suyanto pun mengutif, PAF Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia (hal. 217-218). Di situ kata dia, memberi pengertian delik biasa sebagai tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.
Yang harus dilakukan penegak hukum sebagai representasi negara dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan adalah melengkapi bukti-bukti, dan melakukan penuntutan terhadap pelaku sampai pengadilan memutus bersalah atau tidak.
Suyanto juga menambahkan ketentuan mengenai tindak pidana penipuan diatur di dalam undang-undang dalam hal ini KUHP. Sekalipun Kejaksaan Agung menerbitkan peraturan kejaksaan, tidak bisa bertentangan dengan undang undang.
“Secara hierarki KUHP lebih tinggi dari peraturan kejaksaan tersebut,” kata Advokat dari Peradi ini.
Sebelumnya diberitakan, Dasril sepupu tersangka RO kepada wartawan sabtu pagi (19/09), menyampaikan tanggal 16 September 2020 Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menyetujui permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, SKPP tersebut akan segera di terbitkan.
Berbeda Wakil Kepala Kejati Sumbar sekaligus Pelaksana tugas Kajati Sumbar, Yusron menegaskan kasus dugaan penipuan sebesar Rp1,7 miliar yang ditangani Kacabjari Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, tidak memenuhi syarat untuk dihentikan penuntutannya sebagaimana termuat dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020.
"Kami telah mempelajari perkara tersebut dan berkoordinasi dengan Jampidum Kejagung, dari situ disimpulkan kasus ini tidak bisa dihentikan penuntutannya," kata Yusron.
Yusron juga menegaskan Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif hanya diberikan untuk kerugian di bawah Rp2,5 juta, seperti masyarakat kecil yang mencuri singkong, kakao, atau sekeping kayu sehingga mereka tidak perlu dibawa ke persidangan. (Baca juga: Tiru Sosok SBY, AHY Harus Berani Pecat Kader Demokrat yang Bermasalah)
Ia mengemukakan dengan tidak terpenuhinya syarat penghentian penuntutan tersebut maka Kecabjari Suliki selanjutnya akan melanjutkan proses perkara dan melimpahkannya
(kri)