Penegak Hukum Harus Tuntaskan Kasus Hukum Oknum Kader Demokrat

Jum'at, 18 September 2020 - 10:01 WIB
loading...
Penegak Hukum Harus...
Pengamat Hukum dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Suyanto Londrang menilai kasus tersebut harus berlanjut. Tidak bisa digantung apalagi sampai ditutup. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Kasus dugaan penipuan oleh salah satu kader Partai Demokrat asal Sumatera Barat, Rezka Oktoberia dinilai harus dituntaskan. Berhembus kabar Rezka yang sudah ditetapkan tersangka kasusnya akan ditutup.

Pengamat Hukum dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Suyanto Londrang menilai kasus tersebut harus berlanjut. Tidak bisa digantung apalagi sampai ditutup. "Muncul rumor kasus akan ditutup itu tidak ada dasar hukumnya," ujar Suyanto saat dihubungi wartawan, Jumat (18/9/2020). (Baca juga: Tiru Sosok SBY, AHY Harus Berani Pecat Kader Demokrat yang Bermasalah)

Menurutnya perbuatan yang disangkakan adalah delik penipuan. Delik tersebut merupakan delik pidana biasa bukan delik aduan. Artinya aparat penegak hukum sebagai representatif negara berkewajiban untuk meneruskan kasus ini. "Agar kasus tersebut bisa diselesaikan sesuai peraturan hukum yang berlaku," ucapnya.

Suyanto juga mengkritisi posisi Rezka yang sekarang masih menjabat di kepengurusan partai politik. Itu menjadi ranah partai untuk menjaga nama baik. "Itu tergantung mekanisme internal partai dan tentu itu akan menjadi penilaian publik terhadap partai politik," tuturnya.

Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa menjelaskan memang umumnya penahanan bisa dilakukan kepada para tersangka. Sebab itu menjadi pertanyaan ketika Polres sudah menetapkan menjadi tersangka. Pengajuan pra peradilan tersangka juga ditolak Hakim PN.

"Kita harus lihat lagi tindak kejahatannya karena ini adalah penipuan loh. Kasus ini yang tidak perlu alat dan jabatan sebetulnya. Ini masih jadi pertanyaan kepada petugas alasan apa sehingga tidak ada penahanan sampai sekarang," ujar Eva.

Dia menjelaskan bahwa penahanan itu adalah upaya paksa yang perlu dilakukan. Penahanan dilakukan kalau tersangka akan melarikan diri, diduga akan menghilangkan barang bukti serta diduga akan mengulangi tindak kejahatannya. Mengenai ditahan dan tidaknya tersangka memang itu menjadi kewenangan kepolisian.

"Jadi polisi bisa saja menahan jika menurut subyektifitas polisi menilai ada potensi pada diri tersangka akan menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi kejahatanya. Untuk perbuatan pidana yang ancaman hukumanya ya diatas 4 tahun polisi dapat melakukan penahanan," jelasnya.

Di Indonesia, lanjut Eva, umumnya polisi biasanya menggunakan konteks penahanan untuk tindak pidana yang umumnya ringan atau kecil. Dia membandingkan kasus ini dengan kasus Nenek Minah yang dahulu terbukti mencuri sampai ditahan. Padahal nenek ini sebetulnya tidak mungkin dia akan melarikan diri, menghapus barang bukti atau akan mengulangi lagi.

"Karena tradisinya sering mengumbar proses penahanan jadi orang melihat seolah-olah kalau tidak ditahan itu seperti ada perlakuan khusus berbanding terbalik dengan konteks yang normatif. Makanya ini perlu kejelasan apa alasannya tidak ditahan," tuturnya.

Jika membandingkan kasus oknum kader Partai Demokrat ini dengan Nenek Minah tentu masyarakat akan melihatnya miris. Kenapa sosok Rezka yang sudah ditetapkan tersangka tidak ditahan justru menjabat pengurus partai.

"Sebetulnya miris, kalau kita bandingkan dengan kasus Nenek Minah beberapa tahun lalu. Dia ditahan padahal dia tidak bisa melakukan perlawanan atau bahkan melarikan diri," imbuh dia.

Dia juga menegaskan bahwa penahanan bisa menjadi bersifat sekunder jika memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun jika melihat kasus Nenek Minah atau kasus orang stroke bisa ditahan tentu ini membuat publik bingung.

Sebab itu, hingga saat ini masih menuai pertanyaan kenapa kasus penipuan oleh oknum kader Partai Demokrat sampai sekarang terkesan menggantung. Jika dibiarkan ini bisa memancing rasa penasaran publik. Masyarakat khususnya di wilayah Sumbar nantinya akan bertanya-tanya hingga menuai kecurigaan. Partai Demokrat juga perlu mengambil sikap tegas.

Direktur Eksekutif Center of Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi memandang ketegasan partai perlu ditunjukkan. Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) perlu membenahi internal partai dari kader yang bermasalah hukum. "Ini demi menjaga citra partai di mata publik dan konstituen," tandasnya.

Untuk diketahui, status tersangka Rezka ini berawal dari laporan salah seorang pengusaha asal Kabupaten Limapuluh Kota, Zamhar Pasma Budi ke Polsek Suliki Nomor: LP/K/67/X/2019/Sektor Suliki, tanggal 22 Oktober 2019 dalam kasus penipuan. Selanjutnya, Satreskrim Polres Limapuluh Kota menetapkan Rezka sebagai tersangka sesuai surat penetapan Nomor: S.TAP/05/I/Res.1.11/2020, tanggal 29 Januari 2020.

Tak terima dengan status tersangka tersebut, Rezka melalui kuasa hukumnya, Jhon Mathias mengajukan pra peradilan kepada Pengadilan Negeri Gunung Pati, dan permohonan itu ditolak. Namun hingga saat ini kasus ini terkesan mandek. Seharusnya, pihak kejaksaan segera merespons kerja kepolisian dengan meneruskannya ke proses peradilan di meja hijau. (Baca juga: Demokrat Nilai Penundaan Proyek IKN Keputusan Bijak)

Sebelumnya, Politisi Senior Partai Demokrat, Tri Yulianto mengaku sangat menunggu gebrakan dari sang ketua umum. "Menunggu ketegasan dari ketua umum partai (AHY) terkait status tersangka yang menjadi pengurus DPP Partai," ujar Tri beberapa waktu lalu.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1409 seconds (0.1#10.140)