Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
SYAMSUDDIN RADJAB
Direktur Eksekutif Jenggala Center dan Dosen Politik Hukum Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta dan UIN Alauddin Makassar
PANDEMI Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tengah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Data WHO menunjukkan sudah 32.110.656 juta orang terinfeksi kasus Covid-19 dan sebanyak 980.031 ribu orang meninggal dunia.
Di Indonesia, terkonfirmasi sebanyak 275.213 orang meninggal dunia sebanyak 10.386 orang namun yang sembuh juga besar yakni 203.014 orang (Covid19.go.id:27/9/2020).
Masyarakat kita saat ini sedang dilanda fobia sosial dengan wabah Covid-19 sehingga memunculkan respons emosional berupa rasa takut dan ancaman bahaya terinfeksi covid-19 dan bahkan berakibat kematian. Tetapi, karena tak berwujud secara nyata beberapa kelompok masyarakat menganggap biasa saja: main ke mal, nongkrong di warung kopi dan masih sempat berwisata.
Di beberapa negara bahkan warganya melakukan aksi demonstrasi memprotes pembatasan pergerakan fisik yang dinilai sebagai bentuk pengekangan.
Selain itu, masyarakat kian khawatir karena penanganan pencegahan covid-19 dinilai belum maksimal dan kian bertambahnya jumlah orang terinfeksi baik dengan gejala atau tanpa gejala.
Tim penanganan Covid-19 yang dibentuk pemerintah masih bongkar pasang, tenaga kesehatan dan dokter masih kurang, ketidakdisiplinan warga menerapkan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak), komentar oknum pejabat yang kontraproduktif ditambah dengan liputan berita yang mewartakan kegaduhan akibat covid-19 seperti pencurian mayat dari rumah sakit dan lain-lain.
Dengan situasi demikian, agenda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 daerah ikut terkena imbas dari keadaan dan fobia sosial yang terbentuk di atas.
Belakangan muncul pelbagai reaksi publik, baik dari organisasi masyarakat, pemerhati pemilu maupun tokoh meminta agar pilkada ditunda dengan alasan keselamatan warga dan aspek kemanusiaan setelah melewati 10 tahapan dari 17 tahapan yang ada.
Sepenuhnya saya memahami reaksi penundaan pilkada tersebut sebagai wujud keprihatinan dengan jumlah korban yang terus bertambah setiap harinya dan penanganan Covid-19 yang masih kewalahan. Namun demikian, pandangan lainnya perlu dipertimbangkan bahwa penambahan jumlah terinfeksi karena kemampuan tim penanganan Covid-19 juga makin besar dan tersebar dalam melakukan uji rapid test atau PCR di banyak tempat.
Direktur Eksekutif Jenggala Center dan Dosen Politik Hukum Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta dan UIN Alauddin Makassar
PANDEMI Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tengah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Data WHO menunjukkan sudah 32.110.656 juta orang terinfeksi kasus Covid-19 dan sebanyak 980.031 ribu orang meninggal dunia.
Di Indonesia, terkonfirmasi sebanyak 275.213 orang meninggal dunia sebanyak 10.386 orang namun yang sembuh juga besar yakni 203.014 orang (Covid19.go.id:27/9/2020).
Masyarakat kita saat ini sedang dilanda fobia sosial dengan wabah Covid-19 sehingga memunculkan respons emosional berupa rasa takut dan ancaman bahaya terinfeksi covid-19 dan bahkan berakibat kematian. Tetapi, karena tak berwujud secara nyata beberapa kelompok masyarakat menganggap biasa saja: main ke mal, nongkrong di warung kopi dan masih sempat berwisata.
Di beberapa negara bahkan warganya melakukan aksi demonstrasi memprotes pembatasan pergerakan fisik yang dinilai sebagai bentuk pengekangan.
Selain itu, masyarakat kian khawatir karena penanganan pencegahan covid-19 dinilai belum maksimal dan kian bertambahnya jumlah orang terinfeksi baik dengan gejala atau tanpa gejala.
Tim penanganan Covid-19 yang dibentuk pemerintah masih bongkar pasang, tenaga kesehatan dan dokter masih kurang, ketidakdisiplinan warga menerapkan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak), komentar oknum pejabat yang kontraproduktif ditambah dengan liputan berita yang mewartakan kegaduhan akibat covid-19 seperti pencurian mayat dari rumah sakit dan lain-lain.
Dengan situasi demikian, agenda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 daerah ikut terkena imbas dari keadaan dan fobia sosial yang terbentuk di atas.
Belakangan muncul pelbagai reaksi publik, baik dari organisasi masyarakat, pemerhati pemilu maupun tokoh meminta agar pilkada ditunda dengan alasan keselamatan warga dan aspek kemanusiaan setelah melewati 10 tahapan dari 17 tahapan yang ada.
Sepenuhnya saya memahami reaksi penundaan pilkada tersebut sebagai wujud keprihatinan dengan jumlah korban yang terus bertambah setiap harinya dan penanganan Covid-19 yang masih kewalahan. Namun demikian, pandangan lainnya perlu dipertimbangkan bahwa penambahan jumlah terinfeksi karena kemampuan tim penanganan Covid-19 juga makin besar dan tersebar dalam melakukan uji rapid test atau PCR di banyak tempat.