Kampanye di Tengah Pandemi, Lupakan Konser Manfaatkan Influencer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kampanye yang menghadirkan kerumunan massa, terutama konser musik, sangat dibatasi pada pilkada kali ini. Dengan begitu arena untuk merebut dukungan pemilih kini beralih ke media virtual, termasuk memanfaatkan platform media sosial (medsos).
Meski kampanye politik di media sosial bukan hal baru, ada yang berbeda kali ini karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pasangan calon untuk mengenalkan diri dan programnya kepada calon pemilih. Jika pada pilkada sebelumnya pasangan calon hanya diminta mendaftarkan lima akun medsos, pada pilkada kali ini kandidat bisa mendaftarkan hingga 30 akun. (Baca: Siapa yang Berhak Memandikan Jenazah Perempuan?)
Pengoptimalan kampanye virtual ini dilakukan demi mencegah kerumunan di masa pandemi. Kegiatan seperti konser musik, jalan santai, bazar dinilai sangat rawan memicu penularan virus corona (Covid-19).
Beralihnya kampanye dari dunia nyata ke dunia maya ini tak pelak menuntut kreativitas pasangan calon dan tim kampanye dalam membuat konten menarik. Bahkan untuk meningkatkan nilai jual di mata calon pemilih, kandidat bisa memanfaatkan jasa influencer di medsos yang umumnya memiliki pengikut dalam jumlah besar.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, salah satu strategi untuk menarik minat pemilih dalam kampanye di medsos adalah menggunakan jasa influencer. Namun karena metode kampanye politik jenis ini belum pernah dilakukan sebelumnya, susah mengukur efektivitasnya. Meski seorang influencer, semisal seorang selebritas, memiliki jutaan followers, tidak serta dia memiliki kemampuan memengaruhi pilihan seseorang.
“Sebab artis selama ini lebih berfungsi sebagai pengumpul massa, bukan sebagai pengarah suara,” ujarnya kemarin. (Baca juga: Zulkifli Hasan Tunjuk Pasha Ungu Jadi Ketua DPP PAN)
Meski di dalam Peraturan KPU (PKPU) kampanye penggunaan influencer belum diatur, itu bukan hal yang dilarang. Komisioner KPU I Made Dewa Wiarsa Raka Sandi mengatakan, aturan mengenai influencer sedang dipertimbangkan untuk diatur melalui pedoman teknis kampanye.
“Di PKPU yang bersifat umum, kami belum mengatur sampai sejauh itu. Cuma tentu nanti bisa menjadi pertimbangan dalam pedoman teknis kampanye,” kata Raka Sandi kepada KORAN SINDO, Selasa (22/9).
Meski ruang kampanye di medsos semakin luas, Raka Sandi menjelaskan bahwa metode kampanye lain tetap bisa dilakukan. Misalnya penggunaan alat peraga kampanye (APK), termasuk iklan di media cetak, radio, televisi, dan media daring (portal online).
Namun dia mengingatkan bahwa ada perbedaan antara masa kampanye dan iklan kampanye. Kampanye di medsos, secara daring, atau kampanye bentuk lain bisa dilakukan selama 71 hari masa kampanye, yakni dari 26 September hingga 5 Desember 2020. Adapun khusus penayangan iklan kampanye, itu hanya diperbolehkan dilakukan selama 14 hari terakhir sebelum tiba hari tenang. (Baca juga: Penting Deteksi Dini dan Kenal gejala Pikun)
“Akun medsos ini kan ada yang sifatnya gratis, ada yang iklan. Pada prinsipnya kampanye medsos dilakukan selama masa kampanye, sama-sama selama 71 hari. Cuma iklannya saja yang dibatasi,” paparnya.
Menurut Raka, akun medsos harus didaftarkan ke KPU dan dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu, kepolisian serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pasangan calon gubernur dan wakil maksimal mendaftarkan 30 akun, sedangkan calon bupati dan wakil maksimal 20 akun. Prinsip kampanye virtual menurut dia adalah tidak melanggar ketentuan dalam UU Pilkada, PKPU Kampanye Pilkada, dan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Selama tidak melanggar ketentuan atau larangan tentang kampanye menurut saya dipersilakan saja. Ada unsur kreativitas dari pihak masing-masing,” sebutnya.
Perlu Regulasi
Sementara itu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperkirakan kampanye virtual melalui iklan politik pada platform digital, termasuk medsos, akan makin digemari karena memiliki beberapa keunggulan daripada di media konvensional. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
Pertama, partai dan kandidat dapat membuat iklan yang dipersonalisasi berbeda-beda sesuai dengan perilaku konstituen di dalam jaringan. Dengan begitu pesan yang disiapkan bisa lebih mengena.
Kedua, distribusi iklan dapat ditargetkan spesifik pada kelompok-kelompok tertentu, bahkan ke level individu, dengan menyesuaikan demografi, lokasi geografis, usia, isu yang menjadi perhatian.
“Kedua hal tersebut memungkinkan dilakukan dengan memanfaatkan data pemilih pengguna platform digital yang ditambang oleh platform digital atau oleh partai politik dan kandidat itu sendiri,” ujar peneliti Perludem Nurul Amalia kemarin.
Dia mengingatkan beberapa risiko kampanye virtual. Bagi individu, privasi terancam karena masuk target iklan politik. Bukan tidak mungkin dilakukan pengumpulan data pribadi pengguna hingga perilakunya dengan cara menjelajah akun demi menyingkap dan memetakan kecenderungan preferensi politiknya. Dari pemetaan ini individu rentan menerima manipulasi informasi. (Baca juga: Mobil Nasional Vietnam Bertingkah Lagi)
“Di sinilah disinformasi hingga deep fake bisa tumbuh subur dan luput dari pengawasan karena hanya dapat dilihat oleh pengguna platform digital tertentu yang menjadi target," katanya.
Metode kampanye pada platform digital juga bisa berdampak terhadap partai. Biaya iklan politik di medsos dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi partai yang memiliki dana kampanye lebih besar. Di saat yang sama hal ini dapat menahan ide-ide politik dari partai dengan dana kampanye kecil untuk terdistribusi luas ke publik.
Meski membawa beberapa risiko, Nurul menyebut belum ada regulasi memadai yang dapat melindungi pemilih dari gempuran personalisasi iklan politik pada platform-platform digital.
Perludem memandang pengaturan iklan politik di medsos yang sudah dirancang oleh KPU masih berfokus pada hal teknis seperti jumlah akun media sosial, jumlah konten iklan, dan waktu penayangan. “Belum menyentuh pada transparansi dan akuntabilitas di balik konten iklan tersebut,” ujarnya. (Baca juga: Kisruh Politik Negeri Jiran, Raja Malaysia Punya Tiga Opsi)
Peneliti Perludem lainnya, Maharddhika, menilai ada berbagai kemungkinan pengaturan iklan politik pada platform digital, termasuk medsos, mulai dari tidak diatur sama sekali seperti di Amerika Serikat hingga dilarang pada periode tertentu di dalam tahapan pemilu seperti berlaku pada beberapa negara Eropa.
Di antara dua ekstrem pengaturan tersebut, dia menyebut ada beberapa pilihan pengaturan yang bertujuan membuat proses dan metode kampanye di medsos lebih transparan. Indonesia, menurut dia, bisa meniru spektrum regulasi yang sudah diintroduksi di beberapa negara tersebut sesuai dengan kebutuhan dan konteks politik Indonesia. “Tentu dengan penekanan pada transparansi dan akuntabilitas dari semua pihak—baik peserta pemilu, tim kampanye maupun platform media sosial," kata Maharddhika.
Rapat Umum Maksimal 50 Orang
Meski pemerintah didorong menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pilkada, termasuk mengatur penghapusan ketentuan rapat umum saat kampanye, sampai kemarin usulan tersebut belum direspons. Di lain pihak KPU mengatur kampanye secara tatap muka ini melalui PKPU No 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19. (Lihat videonya: Warga Wuhan Mulai Beraktivitas Normal Kembali)
Pasal 58 PKPU tersebut menjelaskan, peserta dapat menggelar kampanye pertemuan terbatas dan tatap muka melalui medsos dan media daring. Apabila pasangan calon tidak menggunakan medsos, kampanye pertemuan terbatas boleh dilakukan secara langsung dengan dihadiri maksimal 50 peserta dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. "Pertemuan terbatas dan tatap muka dilaksanakan dalam ruangan atau gedung," demikian dijelaskan Pasal 58 butir a. (Kiswondari/Rakhmatulloh/Bakti)
Meski kampanye politik di media sosial bukan hal baru, ada yang berbeda kali ini karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pasangan calon untuk mengenalkan diri dan programnya kepada calon pemilih. Jika pada pilkada sebelumnya pasangan calon hanya diminta mendaftarkan lima akun medsos, pada pilkada kali ini kandidat bisa mendaftarkan hingga 30 akun. (Baca: Siapa yang Berhak Memandikan Jenazah Perempuan?)
Pengoptimalan kampanye virtual ini dilakukan demi mencegah kerumunan di masa pandemi. Kegiatan seperti konser musik, jalan santai, bazar dinilai sangat rawan memicu penularan virus corona (Covid-19).
Beralihnya kampanye dari dunia nyata ke dunia maya ini tak pelak menuntut kreativitas pasangan calon dan tim kampanye dalam membuat konten menarik. Bahkan untuk meningkatkan nilai jual di mata calon pemilih, kandidat bisa memanfaatkan jasa influencer di medsos yang umumnya memiliki pengikut dalam jumlah besar.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, salah satu strategi untuk menarik minat pemilih dalam kampanye di medsos adalah menggunakan jasa influencer. Namun karena metode kampanye politik jenis ini belum pernah dilakukan sebelumnya, susah mengukur efektivitasnya. Meski seorang influencer, semisal seorang selebritas, memiliki jutaan followers, tidak serta dia memiliki kemampuan memengaruhi pilihan seseorang.
“Sebab artis selama ini lebih berfungsi sebagai pengumpul massa, bukan sebagai pengarah suara,” ujarnya kemarin. (Baca juga: Zulkifli Hasan Tunjuk Pasha Ungu Jadi Ketua DPP PAN)
Meski di dalam Peraturan KPU (PKPU) kampanye penggunaan influencer belum diatur, itu bukan hal yang dilarang. Komisioner KPU I Made Dewa Wiarsa Raka Sandi mengatakan, aturan mengenai influencer sedang dipertimbangkan untuk diatur melalui pedoman teknis kampanye.
“Di PKPU yang bersifat umum, kami belum mengatur sampai sejauh itu. Cuma tentu nanti bisa menjadi pertimbangan dalam pedoman teknis kampanye,” kata Raka Sandi kepada KORAN SINDO, Selasa (22/9).
Meski ruang kampanye di medsos semakin luas, Raka Sandi menjelaskan bahwa metode kampanye lain tetap bisa dilakukan. Misalnya penggunaan alat peraga kampanye (APK), termasuk iklan di media cetak, radio, televisi, dan media daring (portal online).
Namun dia mengingatkan bahwa ada perbedaan antara masa kampanye dan iklan kampanye. Kampanye di medsos, secara daring, atau kampanye bentuk lain bisa dilakukan selama 71 hari masa kampanye, yakni dari 26 September hingga 5 Desember 2020. Adapun khusus penayangan iklan kampanye, itu hanya diperbolehkan dilakukan selama 14 hari terakhir sebelum tiba hari tenang. (Baca juga: Penting Deteksi Dini dan Kenal gejala Pikun)
“Akun medsos ini kan ada yang sifatnya gratis, ada yang iklan. Pada prinsipnya kampanye medsos dilakukan selama masa kampanye, sama-sama selama 71 hari. Cuma iklannya saja yang dibatasi,” paparnya.
Menurut Raka, akun medsos harus didaftarkan ke KPU dan dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu, kepolisian serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pasangan calon gubernur dan wakil maksimal mendaftarkan 30 akun, sedangkan calon bupati dan wakil maksimal 20 akun. Prinsip kampanye virtual menurut dia adalah tidak melanggar ketentuan dalam UU Pilkada, PKPU Kampanye Pilkada, dan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Selama tidak melanggar ketentuan atau larangan tentang kampanye menurut saya dipersilakan saja. Ada unsur kreativitas dari pihak masing-masing,” sebutnya.
Perlu Regulasi
Sementara itu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperkirakan kampanye virtual melalui iklan politik pada platform digital, termasuk medsos, akan makin digemari karena memiliki beberapa keunggulan daripada di media konvensional. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
Pertama, partai dan kandidat dapat membuat iklan yang dipersonalisasi berbeda-beda sesuai dengan perilaku konstituen di dalam jaringan. Dengan begitu pesan yang disiapkan bisa lebih mengena.
Kedua, distribusi iklan dapat ditargetkan spesifik pada kelompok-kelompok tertentu, bahkan ke level individu, dengan menyesuaikan demografi, lokasi geografis, usia, isu yang menjadi perhatian.
“Kedua hal tersebut memungkinkan dilakukan dengan memanfaatkan data pemilih pengguna platform digital yang ditambang oleh platform digital atau oleh partai politik dan kandidat itu sendiri,” ujar peneliti Perludem Nurul Amalia kemarin.
Dia mengingatkan beberapa risiko kampanye virtual. Bagi individu, privasi terancam karena masuk target iklan politik. Bukan tidak mungkin dilakukan pengumpulan data pribadi pengguna hingga perilakunya dengan cara menjelajah akun demi menyingkap dan memetakan kecenderungan preferensi politiknya. Dari pemetaan ini individu rentan menerima manipulasi informasi. (Baca juga: Mobil Nasional Vietnam Bertingkah Lagi)
“Di sinilah disinformasi hingga deep fake bisa tumbuh subur dan luput dari pengawasan karena hanya dapat dilihat oleh pengguna platform digital tertentu yang menjadi target," katanya.
Metode kampanye pada platform digital juga bisa berdampak terhadap partai. Biaya iklan politik di medsos dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi partai yang memiliki dana kampanye lebih besar. Di saat yang sama hal ini dapat menahan ide-ide politik dari partai dengan dana kampanye kecil untuk terdistribusi luas ke publik.
Meski membawa beberapa risiko, Nurul menyebut belum ada regulasi memadai yang dapat melindungi pemilih dari gempuran personalisasi iklan politik pada platform-platform digital.
Perludem memandang pengaturan iklan politik di medsos yang sudah dirancang oleh KPU masih berfokus pada hal teknis seperti jumlah akun media sosial, jumlah konten iklan, dan waktu penayangan. “Belum menyentuh pada transparansi dan akuntabilitas di balik konten iklan tersebut,” ujarnya. (Baca juga: Kisruh Politik Negeri Jiran, Raja Malaysia Punya Tiga Opsi)
Peneliti Perludem lainnya, Maharddhika, menilai ada berbagai kemungkinan pengaturan iklan politik pada platform digital, termasuk medsos, mulai dari tidak diatur sama sekali seperti di Amerika Serikat hingga dilarang pada periode tertentu di dalam tahapan pemilu seperti berlaku pada beberapa negara Eropa.
Di antara dua ekstrem pengaturan tersebut, dia menyebut ada beberapa pilihan pengaturan yang bertujuan membuat proses dan metode kampanye di medsos lebih transparan. Indonesia, menurut dia, bisa meniru spektrum regulasi yang sudah diintroduksi di beberapa negara tersebut sesuai dengan kebutuhan dan konteks politik Indonesia. “Tentu dengan penekanan pada transparansi dan akuntabilitas dari semua pihak—baik peserta pemilu, tim kampanye maupun platform media sosial," kata Maharddhika.
Rapat Umum Maksimal 50 Orang
Meski pemerintah didorong menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pilkada, termasuk mengatur penghapusan ketentuan rapat umum saat kampanye, sampai kemarin usulan tersebut belum direspons. Di lain pihak KPU mengatur kampanye secara tatap muka ini melalui PKPU No 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19. (Lihat videonya: Warga Wuhan Mulai Beraktivitas Normal Kembali)
Pasal 58 PKPU tersebut menjelaskan, peserta dapat menggelar kampanye pertemuan terbatas dan tatap muka melalui medsos dan media daring. Apabila pasangan calon tidak menggunakan medsos, kampanye pertemuan terbatas boleh dilakukan secara langsung dengan dihadiri maksimal 50 peserta dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. "Pertemuan terbatas dan tatap muka dilaksanakan dalam ruangan atau gedung," demikian dijelaskan Pasal 58 butir a. (Kiswondari/Rakhmatulloh/Bakti)
(ysw)