Transparansi Iklan Kampanye di Media Sosial Mesti Diatur

Kamis, 24 September 2020 - 07:38 WIB
loading...
Transparansi Iklan Kampanye...
Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Perludem mendesak Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu mempertimbangkan ulang keputusan untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020 mengingat penyebaran Covid-19 semakin meluas dan dapat mengancam siapa saja.

"Harus ada indikator yang jelas terukur dan berbasis data untuk menentukan apakah pilkada lanjut atau tidak. Ini harus terbuka bagi publik sehingga rasionalitas pengambilan keputusan bisa kita lihat dan uji bersama," tutur peneliti Perludem Nurul Amalia kepada SINDOnews, Kamis (24/9/2020).

Menurut Nurul, sembari menunda penyelenggara pemilu, Pemerintah, dan DPR bisa membenahi dan menyiapkan konstruksi hukum untuk melaksanakan pilkada di tengah bencana nonalam. Konstruksi hukum itu diperlukan untuk bisa menjamin, mengutamakan, dan memastikan keselamatan nyawa setiap warga negara. Konsekuensi-konsekuensi, penyesuaian-penyesuaian, dan tantangan-tantangan harus betul-betul dipikirkan.

"Salah satu tahapan di depan mata yang perlu penyesuaian dan akan jadi sorotan adalah tahapan kampanye yang akan berlangsung selama kurang lebih tiga bula. Kampanye yang sifatnya offline diperkirakan akan beralih pada online dan akan menjadi model kampanye baru menggantikan kampanye yang mengundang kerumunan," beber dia.

(Baca: KPU Ancam Tunda Pengundian Nomor Urut Paslon Jika Ada Kerumunan)

Dia menuturkan, kampanye virtual melalui iklan politik yang dipasang di platform digital termasuk media sosial akan makin digemari karena memiliki beberapa keunggulan dibanding di media konvensional. Pertama, partai dan kandidat dapat membuat iklan yang dipersonalisasi berbeda-beda sesuai dengan perilaku konstituen di dalam jaringan (online) sehingga pesan yang disiapkan bisa lebih mengena.

Kedua, distribusi iklan dapat ditargetkan spesifik pada kelompok-kelompok tertentu—bahkan ke level individu—sesuai dengan demografi, lokasi geografis, usia, isu yang menjadi perhatian, dan lain-lain. Kedua hal tersebut memungkinkan dilakukan dengan memanfaatkan data pemilih pengguna platform digital yang ditambang oleh platform digital atau oleh partai dan kandidat itu sendiri.

Metode kampanye virtual ini membawa beberapa risiko. Bagi individu, penargetan iklan politik dapat mengancam privasi. Pengumpulan data pribadi pengguna hingga perilaku menjelajah di daring dapat memberikan informasi yang cukup bagi pengiklan untuk menyingkap dan memetakan kecenderungan preferensi politik pengguna.

"Dari pemetaan ini, individu rentan menerima manipulasi informasi. Di sinilah disinformasi hingga deep fake bisa tumbuh subur dan luput dari pengawasan karena hanya dapat dilihat oleh pengguna platform digital tertentu yang menjadi target," katanya.

(Baca: Pilkada 2020, Saatnya Memilih Pemimpin yang Punya Sense Of Crisis)

Metode kampanye di platform digital juga bisa berdampak pada partai. Biaya iklan politik di media sosial dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi partai yang memiliki dana kampanye lebih besar daripada partai lain. Hal ini dapat menahan ide-ide politik, dari partai dengan dana kampanye yang kecil, terdistribusi luas ke publik. Partai juga akan makin bergantung pada platform digital untuk menjalankan kampanye politik modern mereka.

"Bagi publik luas, penargetan iklan politik dapat membuat fragmentasi. Publik makin tersekat-sekat dengan kelompok yang sesuai dengan isu tunggal yang relevan bagi mereka secara pribadi," ujarnya.

Meski membawa beberapa risiko, belum ada regulasi memadai yang dapat melindungi pemilih dari gempuran personalisasi iklan politik di platform-platform digital. Perludem memandang, pengaturan iklan politik di media sosial yang sudah dirancang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berfokus pada hal teknis seperti jumlah akun media sosial, jumlah konten iklan, dan waktu penayangan, belum menyentuh pada transparansi dan akuntabilitas di balik konten iklan tersebut.

Peneliti Perludem lainnya, Maharddhika menilai, ada berbagai kemungkinan pengaturan iklan politik di platform digital termasuk media sosial, mulai dari tidak diatur sama sekali, seperti di Amerika Serikat, hingga dilarang pada periode tertentu di dalam tahapan pemilu, seperti di beberapa negara di Eropa.

"Di antara dua ekstrem pengaturan tersebut, ada beberapa pilihan pengaturan yang bertujuan untuk membuat proses dan metode kampanye di media sosial lebih transparan," ujarnya.

(Baca: Lanjutkan Pilkada, Pemerintah-DPR Dinilai Tak Responsif Penderitaan Rakyat)

Dia menyebutkan, Prancis, misalnya, mengenalkan aturan dengan ketentuan bahwa dalam tiga bulan sebelum pemilu, platform online harus memberikan informasi kepada pengguna tentang siapa yang membayar promosi konten yang terkait dengan debat kepentingan umum (debate of general interest). Pengguna harus diberikan informasi yang adil, jelas, dan transparan tentang penggunaan data pribadi dalam konteks promosi konten informasi yang terkait dengan debat kepentingan umum.

Di Inggris, ada sejumlah rekomendasi reformasi undang-undang pemilu yang berlaku untuk iklan politik online, termasuk soal iklan harus diberi label untuk memperjelas sumbernya; dan juru kampanye harus diminta untuk memberikan faktur yang lebih rinci dan bermakna dari platform digital mereka untuk meningkatkan transparansi.

'Di Australia, ada juga label “disetujui oleh” pada iklan yang tayang sehingga peserta pemilu yang memasang iklan ikut bertanggung jawab terhadap iklan tersebut," ulasnya.

Di level Uni Eropa, lanjut dia, Komisi Eropa telah menyadari beberapa kekhawatiran terkait microtargeting yang tidak transparan dan mungkin melibatkan pemrosesan data pribadi secara tidak sah dalam konteks pemilu. Komisi Eropa memperkenalkan self-regulatory code yang juga disetujui medsos untuk memastikan transparansi iklan politik termasuk soal membuka informasi tentang mengapa pengguna menjadi sasaran iklan tertentu.

Komisi merekomendasikan bahwa negara anggota harus mendorong pengungkapan informasi tentang pengeluaran kampanye untuk iklan politik online berbayar, termasuk "informasi tentang kriteria penargetan apa pun yang digunakan dalam penyebaran iklan semacam itu."

"Indonesia bisa meniru spektrum regulasi yang sudah diintrodusir di beberapa negara tersebut sesuai dengan kebutuhan dan konteks politik Indonesia. Tentu dengan penekanan pada transparansi dan akuntabilitas dari semua pihak—baik peserta pemilu, tim kampanye, maupun platform media sosial," pungkas Maharddhika. (Rakhmat)
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1554 seconds (0.1#10.140)