Transparansi Iklan Kampanye di Media Sosial Mesti Diatur
loading...
A
A
A
Metode kampanye di platform digital juga bisa berdampak pada partai. Biaya iklan politik di media sosial dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi partai yang memiliki dana kampanye lebih besar daripada partai lain. Hal ini dapat menahan ide-ide politik, dari partai dengan dana kampanye yang kecil, terdistribusi luas ke publik. Partai juga akan makin bergantung pada platform digital untuk menjalankan kampanye politik modern mereka.
"Bagi publik luas, penargetan iklan politik dapat membuat fragmentasi. Publik makin tersekat-sekat dengan kelompok yang sesuai dengan isu tunggal yang relevan bagi mereka secara pribadi," ujarnya.
Meski membawa beberapa risiko, belum ada regulasi memadai yang dapat melindungi pemilih dari gempuran personalisasi iklan politik di platform-platform digital. Perludem memandang, pengaturan iklan politik di media sosial yang sudah dirancang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berfokus pada hal teknis seperti jumlah akun media sosial, jumlah konten iklan, dan waktu penayangan, belum menyentuh pada transparansi dan akuntabilitas di balik konten iklan tersebut.
Peneliti Perludem lainnya, Maharddhika menilai, ada berbagai kemungkinan pengaturan iklan politik di platform digital termasuk media sosial, mulai dari tidak diatur sama sekali, seperti di Amerika Serikat, hingga dilarang pada periode tertentu di dalam tahapan pemilu, seperti di beberapa negara di Eropa.
"Di antara dua ekstrem pengaturan tersebut, ada beberapa pilihan pengaturan yang bertujuan untuk membuat proses dan metode kampanye di media sosial lebih transparan," ujarnya.
(Baca: Lanjutkan Pilkada, Pemerintah-DPR Dinilai Tak Responsif Penderitaan Rakyat)
Dia menyebutkan, Prancis, misalnya, mengenalkan aturan dengan ketentuan bahwa dalam tiga bulan sebelum pemilu, platform online harus memberikan informasi kepada pengguna tentang siapa yang membayar promosi konten yang terkait dengan debat kepentingan umum (debate of general interest). Pengguna harus diberikan informasi yang adil, jelas, dan transparan tentang penggunaan data pribadi dalam konteks promosi konten informasi yang terkait dengan debat kepentingan umum.
Di Inggris, ada sejumlah rekomendasi reformasi undang-undang pemilu yang berlaku untuk iklan politik online, termasuk soal iklan harus diberi label untuk memperjelas sumbernya; dan juru kampanye harus diminta untuk memberikan faktur yang lebih rinci dan bermakna dari platform digital mereka untuk meningkatkan transparansi.
'Di Australia, ada juga label “disetujui oleh” pada iklan yang tayang sehingga peserta pemilu yang memasang iklan ikut bertanggung jawab terhadap iklan tersebut," ulasnya.
Di level Uni Eropa, lanjut dia, Komisi Eropa telah menyadari beberapa kekhawatiran terkait microtargeting yang tidak transparan dan mungkin melibatkan pemrosesan data pribadi secara tidak sah dalam konteks pemilu. Komisi Eropa memperkenalkan self-regulatory code yang juga disetujui medsos untuk memastikan transparansi iklan politik termasuk soal membuka informasi tentang mengapa pengguna menjadi sasaran iklan tertentu.
"Bagi publik luas, penargetan iklan politik dapat membuat fragmentasi. Publik makin tersekat-sekat dengan kelompok yang sesuai dengan isu tunggal yang relevan bagi mereka secara pribadi," ujarnya.
Meski membawa beberapa risiko, belum ada regulasi memadai yang dapat melindungi pemilih dari gempuran personalisasi iklan politik di platform-platform digital. Perludem memandang, pengaturan iklan politik di media sosial yang sudah dirancang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berfokus pada hal teknis seperti jumlah akun media sosial, jumlah konten iklan, dan waktu penayangan, belum menyentuh pada transparansi dan akuntabilitas di balik konten iklan tersebut.
Peneliti Perludem lainnya, Maharddhika menilai, ada berbagai kemungkinan pengaturan iklan politik di platform digital termasuk media sosial, mulai dari tidak diatur sama sekali, seperti di Amerika Serikat, hingga dilarang pada periode tertentu di dalam tahapan pemilu, seperti di beberapa negara di Eropa.
"Di antara dua ekstrem pengaturan tersebut, ada beberapa pilihan pengaturan yang bertujuan untuk membuat proses dan metode kampanye di media sosial lebih transparan," ujarnya.
(Baca: Lanjutkan Pilkada, Pemerintah-DPR Dinilai Tak Responsif Penderitaan Rakyat)
Dia menyebutkan, Prancis, misalnya, mengenalkan aturan dengan ketentuan bahwa dalam tiga bulan sebelum pemilu, platform online harus memberikan informasi kepada pengguna tentang siapa yang membayar promosi konten yang terkait dengan debat kepentingan umum (debate of general interest). Pengguna harus diberikan informasi yang adil, jelas, dan transparan tentang penggunaan data pribadi dalam konteks promosi konten informasi yang terkait dengan debat kepentingan umum.
Di Inggris, ada sejumlah rekomendasi reformasi undang-undang pemilu yang berlaku untuk iklan politik online, termasuk soal iklan harus diberi label untuk memperjelas sumbernya; dan juru kampanye harus diminta untuk memberikan faktur yang lebih rinci dan bermakna dari platform digital mereka untuk meningkatkan transparansi.
'Di Australia, ada juga label “disetujui oleh” pada iklan yang tayang sehingga peserta pemilu yang memasang iklan ikut bertanggung jawab terhadap iklan tersebut," ulasnya.
Di level Uni Eropa, lanjut dia, Komisi Eropa telah menyadari beberapa kekhawatiran terkait microtargeting yang tidak transparan dan mungkin melibatkan pemrosesan data pribadi secara tidak sah dalam konteks pemilu. Komisi Eropa memperkenalkan self-regulatory code yang juga disetujui medsos untuk memastikan transparansi iklan politik termasuk soal membuka informasi tentang mengapa pengguna menjadi sasaran iklan tertentu.