Pengamat: Pilkada Bisa Ditunda, Nyawa Rakyat Tak Bisa Ditunda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengaku sangat khawatir jika Pilkada 2020 tetap ngotot diteruskan. Sementara jumlah rakyat yang tumbang karena pandemi Covid-19 ini semakin meningkat dan belum ada tanda-tanda akan berakhir.
"Apa yang disampaikan Jusuf Kalla agar pilkada ditunda agaknya benar, sampai anti virus ditemukan, saya sudah jauh-jauh hari hari berpendapat hal yang sama, tiga bulan yang lalu, saya meminta pilkada ditunda saja, jangan sampai kita bunuh diri, celaka semua, akibat salah mengalkulasi atau salah hitung, serta salah dalam melangkah," kata Pangi kepada SINDOnews, Selasa (22/9/2020). (Baca juga: Darurat Covid-19, PBNU Minta Pilkada Serentak Ditunda)
Pangi mengakui, bahasa yang disampaikan agak keras. Ekonomi masih bisa ditunda dan dipulihkan begitu juga dengan pilkada. “Saya katakana pilkada masih bisa ditunda, pemulihan ekonomi masih bisa ditunda, nyawa tidak bisa ditunda kepergiaannya. Ratusan dokter yang meninggal karena pandemi tak bisa ditunda, dan tak akan kembali,” katanya. (Baca juga: Giliran Muhammadiyah Minta Pilkada Serentak 2020 Ditunda)
Dia mengaku sedih, negara makin gagap, tak punya arah bagaimana menyelamatkan dan melindungi rakyatnya dari ganasnya virus pandemi Carona. Wajar organisasi kesehatan dunia WHO marah besar melihat negara-negara yang masih egois dan memprioritas ekonomi ketimbang menyelamatkan nyawa rakyatnya. ”Kita sepakat demokrasi perlu diselamatkan, kita sepakat ekonomi perlu diselamatkan, namun di atas itu semua, nyawa rakyat yang prioritas untuk diselamatkan. Untuk apa pemulihan ekonomi, untuk apa demokrasi, kalau rakyat menjadi tumbal karena klaster pilkada yang makin mengkhawatirkan, ini namanya mati celaka,” katanya. (Baca juga: Mahfud MD Kembali Tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
Dia menilai apa yang dilakukan para pejabat di negara ini sangat lucu. Berbeda dengan Selandia Baru, ketika pandemi Covid-19 kembali merebak, pemerintah memutuskan untuk menunda pemilu. ”Di Indonesia beda lagi lagunya, mulai dari Presiden Jokowi, KPU dan hampir semua partai politik kompak satu suara mengatakan pilkada makin sulit untuk ditunda. Selandia Baru level pilpres saja mereka tunda. Itulah mengapa saya katakana sebuah lelucon politik, mari kita tertawa bareng, supaya elite dan pejabat makin sehat cara berfikirnya, makin waras dalam mengambil keputusan strategis, penting dan tidak belagu,” sindirnya.
Di sisi lain, kata dia, ada juga sebagian elit yang khawatir kalau pilkada ditunda mengingat kepala daerah yang menjabat saat ini rata-rata selesai masa jabatannya pada Februari 2021. Artinya akan ada sekitar 240 kepala daerah yang dijabat Pelaksana Tugas (Plt). ”Timbul pertanyaan, apa betul Plt kepala daerah di masa krisis kurang tepat? Dalam hal ini dianggap menguntungkan Kemendagri yang menunjuk Plt kepala daerah, dan Plt tak bisa mengambil keputusan maupun kebijakan strategis,” katanya. (Baca juga: Istana Tegaskan Pilkada 2020 Dilaksanakan Sesuai Jadwal)
Dia menyebutkan, sebenarnya ada banyak solusi. Di antaranya, dipilih DPRD, ditunjuk presiden sebagai perpanjangan pemerintah daerah, atau gubernur untuk menunjuk Plt bupati dan wali kota. ”Masih banyak pola-pola lainnya, asal punya itikad baik. Jangan sampai menjadikan rakyat sebagai tumbal demokrasi, demi menyelamatkan demokrasi, demi elektoral, biar rakyat mati, ini jelas gak lucu," ungkapnya.
Dia juga sangat menyayangkan peraturan, regulasi, undang-undang soal larangan berkerumun, arak-arakan, pengumpulan massa, konser yang diabaikan calon kepala daerah. ”Regulasi hanya indah di kata-kata naskah teks, praktiknya, penegakkan sanksinya berujung pada kompromi dan negosiasi politik. Buktinya, banyak calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan ketika pendaftaran bakal calon kepala daerah ke KPUD. Mereka beramai-ramai, berkerumunan dan tidak mematuhi protokol kesehatan,” katanya.
Menurut dia, penyelenggara pilkada mendiskualifikasi calon kepala daerah tersebut karena terbukti melanggar protokok kesehatan. ”Bagaimana kalau nanti yang melanggar anak presiden dan menantu presiden yang kebetulan ikut dalam kontestasi elektoral pilkada, apakah berani menindak dan memberikan sangsi? Lagi-lagi ujungnya kompromi politik. Belum lagi, alasan KPU bicara bukan kewenangan institusi mereka soal menertibkan, bukan masuk wilayah pekerjaan kami, kami dibatasi undang-undang lah, macam-macam alasan, intinya bahasa keputus-asaan, sementara cluster pandemi pilkada makin mengerikan," ucap dia.
Dia menyebut, sudah banyak suara intitusi, pakar dan tokoh yang meminta agar pilkada ditunda mulai dari Komite I DPD, Perludem, PBNU, Muhammadiyah, Komnas HAM, Jusuf Kalla, Gubernur Banten Wahidin, Pakar Pemilu UGM Abdul Gaffar Karim, Analisi Politik Pangi Syarwi Chaniago. ”Pilkada ditunda bukan aib, justru ini pekerjaan yang mulia, menyelamatkan kesehatan dan jiwa masyarakat. Negara akan berwibawa, akan berkelas memang apabila menyelamatkan dan melindungi nyawa rakyat menjadi skala prioritas kelas wahid, pemulihan ekonomi bisa ditunda, pilkada bisa ditunda, tapi nyawa rakyat tak bisa ditunda," pungkas dia. (Rakhmat)
"Apa yang disampaikan Jusuf Kalla agar pilkada ditunda agaknya benar, sampai anti virus ditemukan, saya sudah jauh-jauh hari hari berpendapat hal yang sama, tiga bulan yang lalu, saya meminta pilkada ditunda saja, jangan sampai kita bunuh diri, celaka semua, akibat salah mengalkulasi atau salah hitung, serta salah dalam melangkah," kata Pangi kepada SINDOnews, Selasa (22/9/2020). (Baca juga: Darurat Covid-19, PBNU Minta Pilkada Serentak Ditunda)
Pangi mengakui, bahasa yang disampaikan agak keras. Ekonomi masih bisa ditunda dan dipulihkan begitu juga dengan pilkada. “Saya katakana pilkada masih bisa ditunda, pemulihan ekonomi masih bisa ditunda, nyawa tidak bisa ditunda kepergiaannya. Ratusan dokter yang meninggal karena pandemi tak bisa ditunda, dan tak akan kembali,” katanya. (Baca juga: Giliran Muhammadiyah Minta Pilkada Serentak 2020 Ditunda)
Dia mengaku sedih, negara makin gagap, tak punya arah bagaimana menyelamatkan dan melindungi rakyatnya dari ganasnya virus pandemi Carona. Wajar organisasi kesehatan dunia WHO marah besar melihat negara-negara yang masih egois dan memprioritas ekonomi ketimbang menyelamatkan nyawa rakyatnya. ”Kita sepakat demokrasi perlu diselamatkan, kita sepakat ekonomi perlu diselamatkan, namun di atas itu semua, nyawa rakyat yang prioritas untuk diselamatkan. Untuk apa pemulihan ekonomi, untuk apa demokrasi, kalau rakyat menjadi tumbal karena klaster pilkada yang makin mengkhawatirkan, ini namanya mati celaka,” katanya. (Baca juga: Mahfud MD Kembali Tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
Dia menilai apa yang dilakukan para pejabat di negara ini sangat lucu. Berbeda dengan Selandia Baru, ketika pandemi Covid-19 kembali merebak, pemerintah memutuskan untuk menunda pemilu. ”Di Indonesia beda lagi lagunya, mulai dari Presiden Jokowi, KPU dan hampir semua partai politik kompak satu suara mengatakan pilkada makin sulit untuk ditunda. Selandia Baru level pilpres saja mereka tunda. Itulah mengapa saya katakana sebuah lelucon politik, mari kita tertawa bareng, supaya elite dan pejabat makin sehat cara berfikirnya, makin waras dalam mengambil keputusan strategis, penting dan tidak belagu,” sindirnya.
Di sisi lain, kata dia, ada juga sebagian elit yang khawatir kalau pilkada ditunda mengingat kepala daerah yang menjabat saat ini rata-rata selesai masa jabatannya pada Februari 2021. Artinya akan ada sekitar 240 kepala daerah yang dijabat Pelaksana Tugas (Plt). ”Timbul pertanyaan, apa betul Plt kepala daerah di masa krisis kurang tepat? Dalam hal ini dianggap menguntungkan Kemendagri yang menunjuk Plt kepala daerah, dan Plt tak bisa mengambil keputusan maupun kebijakan strategis,” katanya. (Baca juga: Istana Tegaskan Pilkada 2020 Dilaksanakan Sesuai Jadwal)
Dia menyebutkan, sebenarnya ada banyak solusi. Di antaranya, dipilih DPRD, ditunjuk presiden sebagai perpanjangan pemerintah daerah, atau gubernur untuk menunjuk Plt bupati dan wali kota. ”Masih banyak pola-pola lainnya, asal punya itikad baik. Jangan sampai menjadikan rakyat sebagai tumbal demokrasi, demi menyelamatkan demokrasi, demi elektoral, biar rakyat mati, ini jelas gak lucu," ungkapnya.
Dia juga sangat menyayangkan peraturan, regulasi, undang-undang soal larangan berkerumun, arak-arakan, pengumpulan massa, konser yang diabaikan calon kepala daerah. ”Regulasi hanya indah di kata-kata naskah teks, praktiknya, penegakkan sanksinya berujung pada kompromi dan negosiasi politik. Buktinya, banyak calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan ketika pendaftaran bakal calon kepala daerah ke KPUD. Mereka beramai-ramai, berkerumunan dan tidak mematuhi protokol kesehatan,” katanya.
Menurut dia, penyelenggara pilkada mendiskualifikasi calon kepala daerah tersebut karena terbukti melanggar protokok kesehatan. ”Bagaimana kalau nanti yang melanggar anak presiden dan menantu presiden yang kebetulan ikut dalam kontestasi elektoral pilkada, apakah berani menindak dan memberikan sangsi? Lagi-lagi ujungnya kompromi politik. Belum lagi, alasan KPU bicara bukan kewenangan institusi mereka soal menertibkan, bukan masuk wilayah pekerjaan kami, kami dibatasi undang-undang lah, macam-macam alasan, intinya bahasa keputus-asaan, sementara cluster pandemi pilkada makin mengerikan," ucap dia.
Dia menyebut, sudah banyak suara intitusi, pakar dan tokoh yang meminta agar pilkada ditunda mulai dari Komite I DPD, Perludem, PBNU, Muhammadiyah, Komnas HAM, Jusuf Kalla, Gubernur Banten Wahidin, Pakar Pemilu UGM Abdul Gaffar Karim, Analisi Politik Pangi Syarwi Chaniago. ”Pilkada ditunda bukan aib, justru ini pekerjaan yang mulia, menyelamatkan kesehatan dan jiwa masyarakat. Negara akan berwibawa, akan berkelas memang apabila menyelamatkan dan melindungi nyawa rakyat menjadi skala prioritas kelas wahid, pemulihan ekonomi bisa ditunda, pilkada bisa ditunda, tapi nyawa rakyat tak bisa ditunda," pungkas dia. (Rakhmat)
(cip)