Pilkada di Tengah Ketidakpastian Covid-19

Rabu, 16 September 2020 - 15:21 WIB
loading...
Pilkada di Tengah Ketidakpastian Covid-19
Publik terbelah terkait Pilkada 2020. Ada yang meminta pilkada tetap dilakukan sesuai jadwal,ada yang menyarankan agar pilkada ditunda lagi. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
Agus Surono
Peneliti senior Centre forStrategic and Indonesian PublicPolicy (CSIPP) Jakarta

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) 2020 sudah ditunda dari 23 September menjadi 9 Desember 2020. Kalkulasinya Covid-19 sudah turun dan tahapan pilkada bisa dijalankan dengan normal. Fakta covid-19 terus menggejala dan belum bisa dipastikan kapan berakhir. Saat bersamaan wacana dan dorongan pilkada ditunda kembali mengemuka dari pelbagai elemen masyarakat.

Publik pun terbelah. Ada yang meminta pilkada tetap dilakukan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, yakni hasil penundaan sebelumnya, sisi lain ada yang menyarankan agar pilkada ditunda lagi. Dua posisi diametral ini memiliki argumentasi masing-masing.

Ada beberapa alasan pilkada ditunda. Antara lain agar pemerintah fokus pada penanganan Covid-19, antisipasi potensi penularan Covid-19 yang muncul dari kegiatan-kegiatan pilkada, adanya kekhawatiran atas kemungkinan tingkat partisipasi hari pencoblosan yang rendah, dan efektifitas dari serangkaian tahapan-tahapan pilkada yang dijalani.

Tetapi penundaan pilkada untuk kedua kalinya bukannya tanpa kerumitan. Pertama, ketidakpastian Covid-19 membuat waktu penundaan menjadi tidak mudah. Apakah kemudian penundaan kembali pilkada menjamin covid-19 turun dan selesai. Kalau tidak, apa yang dilakukan, lagi-lagi ditunda atau akan tetap dilaksanakan.

Kedua, dimungkinkan akan banyak “kekosongan kekuasaan” di level daerah karena sudah berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Meskipun hal ini saja diantisipasi dengan penunjukkan semacam Pelaksana Tugas (Plt). Birokrasi terancamtidak efektif, karena keputusan-keputusan strategis tidak bisa dibuat oleh Plt.Imbasnya bisa menganggu kinerja pemerintah daerah.

Ketiga, sebagian tahapan pilkada sudah dijalankan, seperti rekomendasi dari partai politik dan pendaftaran calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Penundaan hanya akan mendorong pada ketidakpastian politik yang potensial menciptakan kegaduhan-kegaduhan baru.

Keempat, resistensi dari partai-partai politik. Hal ini terkait dengan persiapan dan kesiapan calon-calon mereka. Penundaan juga akan membuat biaya politik membesar yang akan memberatkan peserta pilkada. Terlebih penundaan pilkada sepertinya juga mesti mendapatkan persetujuan dari DPR yang notabene representasi partai-partai pengusung calon kepala daerah.

Kelima, penundaan pilkada berimplikasi pada pendeknya masa jabatan kepala daerah terpilih. Hal tersebut dikarenakan akan adanya pilkada serentak nasional yang akan dilangsungkan pada tahun 2024. Semakin diundur, maka semakin pendek umur jabatannya. Tentu ini juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.

Dalam situasi yang sama-sama tidakpasti tersebut, hemat penulis pilkada 2020 tetap dilakukan tahun ini atau tidak perlu ditunda. Kalau alasan desakan karena faktor pada tahapan pendaftaran bakal calon beberapa waktu yang lalu yang memunculkan kerumunan dan beberapa bakal calon yang positif Covid-19 tidak serta merta kemudian ditunda.

Evaluasi jelas mutlak dilakukan, dalam hal ini KPU/D sebagai penyelenggara. Kejadian waktu pendaftaran jelas menjadi pekerjaan rumah bagi KPU/D untuk lebih tegas dan lugas terkait pelaksanaan regulasi pilkada di masa covid-19. KPU/D perlu extra effort untuk menjamin pelaksanaan pilkada berjalan lancar, adil, bebas dan bebas covid-19.

Keberadaan Peraturan KPU (PKPU) No 10/2020 tentang pelaksanaan pilkada dalam kondisi bencana nonalam virus corona sesungguhnya sudah menjadi petunjuk dan panduan bagi KPU/D tentang pelaksanaan pilkada ini. KPU/D perlu memaksimalkan keberadaan PKPU ini untuk mendorong peserta pilkada melaksanakan apa yang sudah digariskan melalui pasal-pasal yang ada.

Misalnya, Pasal 58: Kampanye jenis pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka maksimal 50 orang, antar peserta minimal berjarak 1 meter. Pasal 59: Debat publik atau debat terbuka jumlah undangan maksimal 50 orang dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Pasal 64, kampanye jenis rapat umum maksimal dihadiri 100 orang dengan ketentuan protokol kesehatan.

PKPU No. 10 2020 tersebut menuntut KPU/D untuk konsisten melaksanakan dan mengekskusi dilapangan. Di sinilah peran vital KPU/D dalam pilkada yang dilakukan tidak dalam kondisi normal. KPU/D memiliki kewenangan untuk mencegah kerumunan. Yang dibutuhkan saat ini adalah political will untuk melakukan itu sekaligus menjawab kekhawatiran-kekhawatiran yang ada.

Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah perlu adanya sanksi yang diberikan kepada para peserta pilkada apabila melakukan pelanggaran-pelanggaran yang terkait protokol kesehatan sebagaimana yang sudah diatur pada PKPU 10 2020. Sanksi ini diperlukan agar ketaatan dan kepatuhan bisa ditegakkan. Jelas ini membutuhkan keberanian dari penyelenggara, yakni KPU/D dan Pengawas pilkada.

Sementara peran pemerintah, dalam hal ini Kemendagri adalah memastikan pelaksanaan pilkada dalam siatusi Covid-19 berjalan aman tanpa gangguan keamanan, termasuk keamanan dari potensi penyebaran virus ini. Kemendagri bisa mendorong peserta pemilu dan pendukunya untuk benar-benar mematuhi protokol kesehatan.

Kemendagri juga dituntut untuk mampu memberikan garansi kepada masyarakat, meskipun dalam situasi covid-19 gelaran pilkada tetap berlangsung tertib dan masyarakat tidak perlu takut untuk datang memberikan hak suaranya dengan cara mengikuti arahan protokol kesehatan.

Alternatif Kampanye
Apabila memang kajian dan fakta-fakta di lapangan menunjukkan Covid-19 mengalami kecenderungan naik, maka kegiatan-kegiatan kampanye, rapat akbar, debat terbukadan lainnya yang melibatkan massa bisa dilakukan secara virtual/online sebagai alternatif diluar kampanye terbuka/offline.

Tantangannya adalah adalah bagaimana membuat kampanye virtual efektif menjangkau publik atau voter. Sebagai hal baru tentu tidak mudah, tapi menarik untuk dicoba dalam kondisi darurat seperti ini.Intinya kampanye tetap dilakukan, hanya medium yang digeser atau diganti.

Dari sisi infratsruktur pun tidak menjadi persoalan, kecuali daerah-daerah tertentu, misalnya di Papua. Atau kampanye virtual dikhususkan kepada daerah-daerah yang masih masuk kategori zona merah dalam hal positif Covid-19. Sementara yang sudah masuk kategori zero atau zona hijau tetap dilakukan terbuka dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Tantangan lainnya adalah, kampanye virtual memiliki keterbatasan. Hal ini bisa saja berimbas pada atmosfer dan suasana kebatinan publik akan gelaran pilkada. Ketidakmaksimalan kampanye bisa memengaruhi publik untuk memberikan suaranya atau tidak dalam pilkada.

Antisipasi Menurunnya Tingkat Partisipasi
Data dari Katadata.co.id, menyebutkan bahwa tingkat partisipasi tiga pilkada terakhir tidak lebihi 80% dari jumlah pemilih. Pilkada 2015 dengan 264 daerah yang melakukan pilkada tingkat partisipasi sebesar70%.

Tahun 2017 dengan 101 daerah melakukan pilkada, tingkat partisipasi mencapai 74,2%. Sementara dalam pilkada 2018, dengan 171 daerah, tingkat partisipasinya sebesar 73,24%. Dua pilkada tersebut dilakukan dalam situasi normal. Menjadi catatan pilkada tahun 2020 ini adalah yang melakukan pilkada pada tahun 2015.

Survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menengerai pilkada serentak 9 Desember 2020 akan cenderung sedikit. Hasil survei pada kisaran 20% sampai 46% calon pemilih yang akan datang pada hari pemungutan suara. Hasil survei jelas menjadi PR dan tantangan bagi penyelenggara pilkada tahun ini.

Sementara kemendagri sendiri mennargetkan tingkat partisipasi pada angka di atas 50%. Jelas target yang cukup rendah. Sementara KPU sebagai penyelenggara pilkada mengestimasi tingkat partsipasi pada angka 77,5%, sama dengan saat pemilihan presiden tahun 2019 kemarin. Dari data-data tersebut dimungkinan tingkat partisipasi pilkada 2020 pada ttitik yang terendah.

Mengahadapi potensi rendahnya tingkat partsipasi dalam pilkada 2020 ditengah pandemi, maka KPU/D perlu kerja keras untuk mendorong tingkat partisipasi yang mendekati ideal. Tingkat partisipasi ini sangat krusial karena akan berdampak langsung pada kualitas pilkada itu sendiri.

Semakin tinggi partisipasi semakin tinggi legitimasi atau mandat yang diterima, tetapi sebaliknya, apabila tingkat partisipasi rendah, legitimasi akan rendah dan ini cukup baik karena menyangkut kepercayaan rakyat terhadap hasil pilkada.

Melihat gelagat akan menurunnya tingkat partisipasi tersebut, KPU/D perlu melakukan gerak cepat melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat. Beragam media yang efektif juga perlu digunakan.

Selain itu pelibatan pelbagai elemen untuk mendukung susksesnya pilkada 2020, seperti media, kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (civil society), individu dan lain sebagainya adalah langkah yang bisa dilakukan. Semakin intens dan tinggi pelibatan kelompok sipil dalam sosialisasi, potensial untuk menaikkan tingkat partisipasi.

Peran Partai Politik
Partai politik dan para kandidat pilkada juga dituntut untuk memahami pilkada dalam situasi Covid-19. Komitmen pada protokol kesehatan sangat diharapkan bisa dilakukan. Inisiatifnya akan sangat membantu massa akar rumput untuk tidak terlibat dalam kerumunan untuk aktifitas/kegiatan tahapan pilkada.

Peran keduanya tidak melulu kontestasi, tapi saat bersamaan juga membangun kesadaran dan pendidikan politik kepada warga masyarakat, bahwa satu sisi ada pesta demokrasi lokal yang harus dilaksanakan, sisi yang lain ada situasi pandemi yang siapapun bisa terpapar. Masyarakat tetap sehat dan jangan kemudian pilkada selesai justru bermunculan kluster kluster baru pilkada.

Partai politik punya tanggung jawab besar agar pelaksanaan pilkada tidak justru kontraproduktif terhadap agenda rakyat yang menjadi tujuan dan subtansinya. Partai politik mesti memastikan manfaat pilkada memang dirasakan oleh rakyat.

Tentu manfaat yang dimaksud adalah bukan dalam bentuk “saweran politik” atau money politics. Tetapi manfaat, bahwa pilkada sebagai mekanisme demokrasi lokal bukan sekedar rutinitas yang menjadikan rakyat sebagai objek, melainkan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Pilkada dalam situasi Covid-19 memang tidak mudah. Di banyak negara agenda agenda pemilu ada yang tetap dilakukan, tapi juga ada yang ditunda. Tentu setiap negara punya argumentasi atas realitas dan kondisinegaranya masing-masing. Pun demikian Indonesia. Pilkada jelas membutuhkan kesiapan dan biaya yang cukup besar.

Untuk itu butuh kerjasama banyak pihak untuk terlibat dan mensukseskan pilkada ini. Bukan saja sukses secara prosedural, tapi juga sukses merawat suara rakyat dan menjaganya dari kerentanan Covid-19.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1235 seconds (0.1#10.140)