Empat Alasan Kartu Prakerja Sebaiknya Dihentikan dan Diganti BLT

Senin, 04 Mei 2020 - 14:04 WIB
loading...
Empat Alasan Kartu Prakerja...
Kritik terhadap pelaksanaan program Kartu Prakerja terus bermunculan, datang dari banyak kalangan. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kritik terhadap pelaksanaan program Kartu Prakerja terus bermunculan, datang dari banyak kalangan. Melalui program Kartu Prakerja, Pemerintah dinilai hanya sedang mempertebal kantong sejumlah perusahaan aplikasi digital.

Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp5,6 triliun, atau hanya terpaut sedikit di bawah nilai skandal Bank Century. Bahkan ada yang mengatakan, program ini bukan 'pelatihan digital' tapi 'perampokan digital'. Intinya, pelaksanaan program ini 'cacat' dan meleset dari tujuan.

Anggota DPR Fadli Zon mengatakan, jika dirumuskan, setidaknya ada empat alasan kenapa program ini harus dianggap bermasalah. Pertama, program ini tak relevan mengatasi dampak Covid-19 atau virus Corona. Program Kartu Prakerja tidak menjawab krisis yang tengah dihadapi.

"Target peserta program ini, misalnya korban pemutusan hubungan kerja (PHK), jelas lebih membutuhkan bantuan berupa 'cash transfer' atau bantuan langsung tunai (BLT) daripada pelatihan online. Lagi pula, mau usaha apa, atau kerja di mana, wong hampir semua perusahaan, termasuk sektor informal, saat ini semuanya tutup? BLT lebih dibutuhkan untuk menyambung hidup di tengah Covid-19," kata Fadli Zon, Senin (4/5/2020).

(Baca juga: DPR Didesak Bentuk Pansus Kartu Prakerja)

Menurut Fadli Zon, semua orang pastilah masih ingat program ini sebenarnya berangkat dari janji kampanye Calon Presiden Joko Widodo. Jadi, konteks gagasannya adalah program dalam kondisi normal. Sehingga, memaksakan program tersebut di tengah situasi krisis, jelas bermasalah. Konsepnya jadi tidak relevan.

Kedua kata dia, skema programnya tidak masuk akal. Sesudah terjadi pandemi Covid-19, Pemerintah telah mengubah tujuan program Kartu Prakerja ini menjadi membantu masyarakat yang terdampak wabah. Ini adalah skema bermasalah.

"Seperti poin pertama tadi, Kalau mau membantu masyarakat terdampak, seharusnya dilakukan melalui BLT saja, tak perlu melibatkan pelatihan. Ini untuk menjaga agar anggaran Kartu Prakerja bisa utuh seratus persen sampai ke masyarakat, tidak terpotong oleh mitra penyedia jasa pelatihan," ucapnya.

Jangan lupa kata dia, anggaran Rp5,6 triliun yang masuk ke kantong platform digital itu mencapai 28 persen keseluruhan anggaran Kartu Prakerja. Sekarang bayangkan, kalau hampir 30 persen anggaran bantuan bagi korban PHK, atau mereka yang kehilangan penghasilan, ternyata habis untuk hal-hal lain, dari sisi penganggaran ini jelas inefisiensi. Dari sisi administrasi, ini jelas maladministrasi.

"Kalaupun Pemerintah tetap ngotot mau bikin pelatihan, karena materi pelatihan itu dianggap penting, apa masuk akal biaya pelatihan online menyedot anggaran hingga Rp5,6 triliun? Jangan lupa, duit sebesar itu habis hanya untuk membeli video tutorial. Ini kan tak masuk akal," ungkapnya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini menjelaskan, sebagai pembanding, anggaran TVRI dan RRI dalam APBN 2020 itu masing-masing hanya Rp1,2 triliun dan Rp1,3 triliun. Kalau anggaran beli video itu, katakanlah Rp500 miliar saja, atau bahkan kurang dari itu, diserahkan ke TVRI atau RRI untuk memproduksi siaran program pelatihan keterampilan dan kewirausahaan, saya kira bukan hanya 5,6 juta target Kartu Prakerja saja yang bisa menontonnya, tapi juga 270 juta masyarakat Indonesia.

"Bahkan, mereka tak perlu beli pulsa, kuota, atau memiliki ponsel Android untuk bisa mengakses. Jadi, menurut saya, skema program ini memang bermasalah. Ketiga, validasi data lemah. Penerima bantuan Kartu Prakerja ini tak jelas kriteria dan parameternya," jelasnya.

"Semua orang bisa mendaftar dan semuanya bisa mengaku berhak menerima bantuan. Seleksi juga bersifat random saja, tidak melibatkan verifikasi data atau sejenisnya. Menurut saya, penggunaan anggaran negara seharusnya tidak boleh gegabah seperti itu. Potensi penyelewengan jadi besar sekali," tambahnya.

Keempat kata Fadli Zon, mitra tidak kompeten. Delapan perusahaan yang jadi mitra Kartu Prakerja ini, sebagai marketplace, mungkin kompeten. Tapi tidak di soal materi yang dilatihkan.

"Misalnya, apa kompetensi Ruang Guru sehingga bisa memberi pelatihan serta sertifikasi keahlian jurnalistik pada orang lain? Bagaimana bisa peserta ditawari pelatihan mancing oleh perusahaan mitra? Apalagi, semua materi yang ditawarkan hanyalah tutorial dasar, yang bisa dicari gratis di internet atau ditonton di Youtube. Itu menunjukkan inkompetensi mitra yang ditunjuk," tuturnya,

Lagi pula menurut dia, sebagai program pemerintah yang terkait dengan dunia usaha, program ini sama sekali tak melibatkan asosiasi dunia usaha, seperti KADIN (Kamar Dagang dan Industri), HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), asosiasi UMKM atau Koperasi. Padahal, mereka adalah 'user' dari peserta program Kartu Prakerja.

"Dengan empat catatan itu, saya kira program Kartu Prakerja ini sebaiknya dihentikan. Sesudah gelombang keempat, seharusnya Pemerintah mengevaluasi besar-besaran program ini dan mengalihkannya jadi sepenuhnya program BLT. Jika program ini diteruskan hingga gelombang ke-30, sesuai rencana semula, saya ingin mengingatkan Presiden kalau program ini bisa menjadi persoalan hukum dan politik di kemudian hari. Apalagi, banyak kalangan kini sudah mencium bau amis program ini. Mereka berpendapat program ini salah sasaran serta harus dihentikan," kata Fadli Zon.

Ditegaskan Fadli, di tengah pandemi ini, Pemerintah harus memperluas pemberian BLT. Jika segmen-segmen lain sudah di-cover oleh program bansos (bantuan sosial), maka untuk mereka yang baru saja kehilangan pekerjaan atau pendapatan, anggaran Kartu Prakerja ini bisa dialihkan ke situ.

Menurut data KADIN, jumlah korban PHK saat ini bisa mencapai 15 juta orang. Angka ini jauh lebih besar dari data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada 20 April lalu yang hanya mencatat 2,8 juta jiwa. Sebagai catatan, angka 15 juta itu sudah menghitung para pekerja di sektor UMKM yang juga terkena dampak pandemi. Realitasnya bisa saja korban PHK lebih besar dari 15 juta karena hampir mayoritas sektor kerja baik formal maupun informal terdampak Covid-19.

"Itu sebabnya biaya pelatihan Kartu Prakerja yang tak masuk akal tadi harus segera dipangkas, dihentikan dan dialihkan BLT untuk memperluas penerima bantuan di tengah krisis ini," pungkasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1116 seconds (0.1#10.140)