Sudah 36 Tahun, Negara Masih Berhutang Peristiwa Tanjung Priok
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Amnesty International Indonesia mengingatkan bahwa negara masih berhutang pada penuntasan Peristiwa Tanjung Priok. Mereka menyayangkan masih abainya negara dalam proses penuntasan dan pemenuhan terhadap hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
"Hal ini terlihat jelas bagaimana negara hingga saat ini masih abai terhadap para korban dan keluarga korban, khususnya korban dan keluarga korban dalam peristiwa Tanjung Priok," ujar Divisi Pengawasan Impunitas KontraS, Syahar Banu dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu (13/9/2020).
Dia melanjutkan, Sabtu 12 September 2020 adalah tepat 36 tahun sudah berlangsungnya peristiwa kelam tersebut. "Akan tetapi proses pemenuhan masih jauh dari harapan," ujar Syahar Banu yang juga sebagai Putri Korban Kasus Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok, Aminatun Najariyah ini.
(Baca: RUU Cipta Kerja dan Minerba Dinilai Rentan Memicu Pelanggaran HAM)
Dia mengatakan, peristiwa Tanjung Priok, merupakan salah satu dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang berhasil dibawa ke dalam proses pengadilan HAM. Dalam kasus ini, pengadilan HAM ad hoc Jakarta (tingkat pertama), menjatuhkan vonis bersalah kepada 12 orang terdakwa. Pengadilan memerintahkan negara agar memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban.
"Namun sayangnya putusan tersebut dianulir dalam tingkat kasasi, yang menyatakan ke-12 orang terdakwa dinyatakan bebas," imbuhnya.
Dia mengatakan, walaupun proses peradilan telah dilangsungkan dan membebaskan ke-12 orang terdakwa dari tuntutan dalam tingkat kasasi, proses tersebut tidak menutup fakta bahwa telah terjadi peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru melalui Aparat Keamanannya pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok.
"Tidak hanya hasil temuan Komnas HAM dan proses peradilan, serta janji politik Presiden Jokowi terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat dimaknai bahwa kasus Tanjung Priok belum dapat terselesaikan oleh Negara," ujarnya.
(Baca: Terkait Penyerangan Polsek Ciracas, Amnesti Internasional: Tegakkan Hukum)
Maka itu, dalam peringatan 36 tahun peristiwa Pelangaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok, KontraS, IKOHI dan Amnesty International Indonesia mendesak Negara memberikan pemenuhan terhadap hak-hak korban dan keluarga korban berupa pemenuhan kompensasi, rehabilitasi dan restitusi akibat kejahatan yang dilakukan oleh Negara dalam peristiwa Tanjung Priok.
Negara juga didesak untuk membangun memorialisasi sebagai sebuah ingatan, yang bukan hanya untuk kepentingan korban dan keluarga korban, akan tetapi sebagai saran pengingat kepada publik dan generasi mendatang terkait pernah terjadinya peristiwa kelam dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. "Selain itu sebagai saran kita bersama untuk tidak melakukan keberulangan," tuturnya.
Dia mengatakan, Negara wajib memberikan kejelasan terkait status para korban yang hingga saat ini masih dinyatakan hilang, serta untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Sekadar diketahui, Peristiwa Tanjung Priok merupakan salah satu tragedi kemanusiaan dan peristiwa kelam yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 12 September 1984, itu setidaknya menimbulkan jatuhnya korban akibat tindakan represifitas negara. Temuan Komnas HAM menujukan setidaknya 79 orang dalam peristiwa tersebut menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 orang lainnya dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dinyatakan hilang.
"Hal ini terlihat jelas bagaimana negara hingga saat ini masih abai terhadap para korban dan keluarga korban, khususnya korban dan keluarga korban dalam peristiwa Tanjung Priok," ujar Divisi Pengawasan Impunitas KontraS, Syahar Banu dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu (13/9/2020).
Dia melanjutkan, Sabtu 12 September 2020 adalah tepat 36 tahun sudah berlangsungnya peristiwa kelam tersebut. "Akan tetapi proses pemenuhan masih jauh dari harapan," ujar Syahar Banu yang juga sebagai Putri Korban Kasus Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok, Aminatun Najariyah ini.
(Baca: RUU Cipta Kerja dan Minerba Dinilai Rentan Memicu Pelanggaran HAM)
Dia mengatakan, peristiwa Tanjung Priok, merupakan salah satu dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang berhasil dibawa ke dalam proses pengadilan HAM. Dalam kasus ini, pengadilan HAM ad hoc Jakarta (tingkat pertama), menjatuhkan vonis bersalah kepada 12 orang terdakwa. Pengadilan memerintahkan negara agar memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban.
"Namun sayangnya putusan tersebut dianulir dalam tingkat kasasi, yang menyatakan ke-12 orang terdakwa dinyatakan bebas," imbuhnya.
Dia mengatakan, walaupun proses peradilan telah dilangsungkan dan membebaskan ke-12 orang terdakwa dari tuntutan dalam tingkat kasasi, proses tersebut tidak menutup fakta bahwa telah terjadi peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru melalui Aparat Keamanannya pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok.
"Tidak hanya hasil temuan Komnas HAM dan proses peradilan, serta janji politik Presiden Jokowi terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat dimaknai bahwa kasus Tanjung Priok belum dapat terselesaikan oleh Negara," ujarnya.
(Baca: Terkait Penyerangan Polsek Ciracas, Amnesti Internasional: Tegakkan Hukum)
Maka itu, dalam peringatan 36 tahun peristiwa Pelangaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok, KontraS, IKOHI dan Amnesty International Indonesia mendesak Negara memberikan pemenuhan terhadap hak-hak korban dan keluarga korban berupa pemenuhan kompensasi, rehabilitasi dan restitusi akibat kejahatan yang dilakukan oleh Negara dalam peristiwa Tanjung Priok.
Negara juga didesak untuk membangun memorialisasi sebagai sebuah ingatan, yang bukan hanya untuk kepentingan korban dan keluarga korban, akan tetapi sebagai saran pengingat kepada publik dan generasi mendatang terkait pernah terjadinya peristiwa kelam dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. "Selain itu sebagai saran kita bersama untuk tidak melakukan keberulangan," tuturnya.
Dia mengatakan, Negara wajib memberikan kejelasan terkait status para korban yang hingga saat ini masih dinyatakan hilang, serta untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Sekadar diketahui, Peristiwa Tanjung Priok merupakan salah satu tragedi kemanusiaan dan peristiwa kelam yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 12 September 1984, itu setidaknya menimbulkan jatuhnya korban akibat tindakan represifitas negara. Temuan Komnas HAM menujukan setidaknya 79 orang dalam peristiwa tersebut menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 orang lainnya dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dinyatakan hilang.
(muh)