Penundaan Pilkada, Rem Darurat Cegah Kluster Baru Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah untuk menyiapkan opsi penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 di zona merah. Opsi ini menjadi rem darurat untuk mencegah kluster baru penularan Covid-19.
Pelaksanaan pilkada, di tengah pandemi Covid-19 yang terus mengalami peningkatan kasus, berpotensi menjadi media penularan Covid-19. Hal ini karena besarnya antusiasme pendukung maupun pasangan calon (paslon) untuk mengekspresikan dukungan. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak berebut Jihad di Perang Badar)
Tahapan pendaftaran yang penuh dengan kerumunan massa belum lama ini, misalnya, menjadi bukti nyata sulitnya menghindari terbentuknya kerumunan dalam tahapan pilkada. Padahal, KPU telah menyampaikan aturan untuk meminimalkan adanya kerumunan, namun tetap dilanggar juga.
Dampaknya, berdasarkan catatan KPU per 10 September 2020, tercatat ada 60 calon kepala daerah (cakada) yang terkonfirmasi positif Covid-19 lewat uji kerik atau swab test. Sebanyak 60 cakada ini berasal dari 21 provinsi dari 23 provinsi yang sudah melaporkan ke KPU. Jumlah tersebut belum termasuk pegawai KPU dan para pendukung paslon yang terinfeksi Covid-19.
Kasus Covid-19 di Indonesia juga terus meningkat. Berdasarkan laporan Satgas Penanganan Covid-19 Kementerian Kesehatan, temuan positif Covid-19 secara nasional per Jumat (11/9/2020), bertambah 3.737 kasus menjadi 210.940 orang.
Berbagai kalangan pun mendesak agar pilkada ditunda. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat, misalnya, membuat petisi melalui change.org yang mendesak agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda. Petisi dengan tema ”Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021” tersebut hingga Jumat (11/9/2020) pukul 14.37 tercatat sudah ditandatangani 30.589 orang. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Atas pertimbangan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat yang terdiri atas ICW, JPPR, KIPP Indonesia, Kopel, Net Grit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, PPUA Disabilitas, Kemitraan, dan kawan-kawan, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, dan pemerintah menunda Pilkada Serentak 2020 hingga 2021, paling lambat September 2021.
Alasannya, penyelenggaraan pilkada seyogianya juga memperhatikan unsur keselamatan dan kesehatan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memaksakan penyelenggaraan pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Antara lain terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan nonpetahana, dan turunnya partisipasi pemilih.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, petisi tersebut sebenarnya dibuat di awal-awal munculnya Covid-19, namun kini dilanjutkan mengingat perkembangan yang terjadi.
"Kita lihat beberapa praktiknya misalnya pas pendaftaran kemarin kan memprihatinkan. Kayanya enggak ada komitmen dan sulit untuk taat protokol kesehatan. Ya, sebaiknya kalau komitmennya rendah, daripada semakin membahayakan pemilih, opsinya ditunda," desaknya. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)
Pelaksanaan pilkada, di tengah pandemi Covid-19 yang terus mengalami peningkatan kasus, berpotensi menjadi media penularan Covid-19. Hal ini karena besarnya antusiasme pendukung maupun pasangan calon (paslon) untuk mengekspresikan dukungan. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak berebut Jihad di Perang Badar)
Tahapan pendaftaran yang penuh dengan kerumunan massa belum lama ini, misalnya, menjadi bukti nyata sulitnya menghindari terbentuknya kerumunan dalam tahapan pilkada. Padahal, KPU telah menyampaikan aturan untuk meminimalkan adanya kerumunan, namun tetap dilanggar juga.
Dampaknya, berdasarkan catatan KPU per 10 September 2020, tercatat ada 60 calon kepala daerah (cakada) yang terkonfirmasi positif Covid-19 lewat uji kerik atau swab test. Sebanyak 60 cakada ini berasal dari 21 provinsi dari 23 provinsi yang sudah melaporkan ke KPU. Jumlah tersebut belum termasuk pegawai KPU dan para pendukung paslon yang terinfeksi Covid-19.
Kasus Covid-19 di Indonesia juga terus meningkat. Berdasarkan laporan Satgas Penanganan Covid-19 Kementerian Kesehatan, temuan positif Covid-19 secara nasional per Jumat (11/9/2020), bertambah 3.737 kasus menjadi 210.940 orang.
Berbagai kalangan pun mendesak agar pilkada ditunda. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat, misalnya, membuat petisi melalui change.org yang mendesak agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda. Petisi dengan tema ”Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021” tersebut hingga Jumat (11/9/2020) pukul 14.37 tercatat sudah ditandatangani 30.589 orang. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Atas pertimbangan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat yang terdiri atas ICW, JPPR, KIPP Indonesia, Kopel, Net Grit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, PPUA Disabilitas, Kemitraan, dan kawan-kawan, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, dan pemerintah menunda Pilkada Serentak 2020 hingga 2021, paling lambat September 2021.
Alasannya, penyelenggaraan pilkada seyogianya juga memperhatikan unsur keselamatan dan kesehatan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memaksakan penyelenggaraan pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Antara lain terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan nonpetahana, dan turunnya partisipasi pemilih.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, petisi tersebut sebenarnya dibuat di awal-awal munculnya Covid-19, namun kini dilanjutkan mengingat perkembangan yang terjadi.
"Kita lihat beberapa praktiknya misalnya pas pendaftaran kemarin kan memprihatinkan. Kayanya enggak ada komitmen dan sulit untuk taat protokol kesehatan. Ya, sebaiknya kalau komitmennya rendah, daripada semakin membahayakan pemilih, opsinya ditunda," desaknya. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)