Penundaan Pilkada, Rem Darurat Cegah Kluster Baru Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah untuk menyiapkan opsi penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 di zona merah. Opsi ini menjadi rem darurat untuk mencegah kluster baru penularan Covid-19.
Pelaksanaan pilkada, di tengah pandemi Covid-19 yang terus mengalami peningkatan kasus, berpotensi menjadi media penularan Covid-19. Hal ini karena besarnya antusiasme pendukung maupun pasangan calon (paslon) untuk mengekspresikan dukungan. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak berebut Jihad di Perang Badar)
Tahapan pendaftaran yang penuh dengan kerumunan massa belum lama ini, misalnya, menjadi bukti nyata sulitnya menghindari terbentuknya kerumunan dalam tahapan pilkada. Padahal, KPU telah menyampaikan aturan untuk meminimalkan adanya kerumunan, namun tetap dilanggar juga.
Dampaknya, berdasarkan catatan KPU per 10 September 2020, tercatat ada 60 calon kepala daerah (cakada) yang terkonfirmasi positif Covid-19 lewat uji kerik atau swab test. Sebanyak 60 cakada ini berasal dari 21 provinsi dari 23 provinsi yang sudah melaporkan ke KPU. Jumlah tersebut belum termasuk pegawai KPU dan para pendukung paslon yang terinfeksi Covid-19.
Kasus Covid-19 di Indonesia juga terus meningkat. Berdasarkan laporan Satgas Penanganan Covid-19 Kementerian Kesehatan, temuan positif Covid-19 secara nasional per Jumat (11/9/2020), bertambah 3.737 kasus menjadi 210.940 orang.
Berbagai kalangan pun mendesak agar pilkada ditunda. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat, misalnya, membuat petisi melalui change.org yang mendesak agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda. Petisi dengan tema ”Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021” tersebut hingga Jumat (11/9/2020) pukul 14.37 tercatat sudah ditandatangani 30.589 orang. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Atas pertimbangan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat yang terdiri atas ICW, JPPR, KIPP Indonesia, Kopel, Net Grit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, PPUA Disabilitas, Kemitraan, dan kawan-kawan, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, dan pemerintah menunda Pilkada Serentak 2020 hingga 2021, paling lambat September 2021.
Alasannya, penyelenggaraan pilkada seyogianya juga memperhatikan unsur keselamatan dan kesehatan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memaksakan penyelenggaraan pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Antara lain terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan nonpetahana, dan turunnya partisipasi pemilih.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, petisi tersebut sebenarnya dibuat di awal-awal munculnya Covid-19, namun kini dilanjutkan mengingat perkembangan yang terjadi.
"Kita lihat beberapa praktiknya misalnya pas pendaftaran kemarin kan memprihatinkan. Kayanya enggak ada komitmen dan sulit untuk taat protokol kesehatan. Ya, sebaiknya kalau komitmennya rendah, daripada semakin membahayakan pemilih, opsinya ditunda," desaknya. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)
Menurut Khoirunnisa, opsi penyelenggaraan pilkada pada 2021 sebenarnya bukan lantas pada saat itu Covid-19 sudah tidak ada, lantaran hingga saat ini vaksinnya juga belum tersedia. "Tapi setidaknya kita punya waktu lebih banyak buat mempersiapkan. Tidak terburu-buru, lebih terukur. Kalau misalnya mau revisi di tingkat undang-undang juga masih sempat," katanya.
Namun, sejauh ini pemerintah memilih untuk tetap melanjutkan pilkada serentak. Karena itu, pemerintah dan DPR, juga KPU untuk serius melakukan upaya maksimal agar pilkada bisa berjalan dengan baik. "Kalau perlu menurunkan Satpol PP buat bubarin (kerumunan massa) ya bubarin saja. Pemerintah harus lebih tegas dalam mengawal pelaksanaannya," katanya.
Desakan penundaan pilkada juga muncul dari Koalisi Tunda Pilkada 2020 yang meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda Pilkada 2020 demi kemanusiaan atau HAM warga Indonesia karena kasus Covid-19 terus meningkat. Pada Kamis (10/9/2020) lalu mereka menggelar aksi di depan Kantor Komnas HAM di Menteng, Jakarta Pusat. (Baca juga: Inilah negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu ledak Nuklir)
Mereka berharap Komnas HAM juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengeluarkan perppu agar menunda dan mengundurkan pelaksanaan pilkada. "Komnas HAM, demi kemanusiaan dan HAM, kami minta untuk memanggil Presiden Jokowi yang membiarkan pelanggaran HAM dengan dilaksanakannya Pilkada 2020 ini. Kalau Pilkada 2020 tidak ditunda maka akan banyak penyebaran Covid-19 dan penyebaran meningkat sehingga banyak korban jiwa," ujar Koordinator Gerakan Tunda Pilkada 2020 Lisman Hasibuan.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengungkapkan, sejak awal lembaganya bersikap agar pilkada serentak itu ditunda. Charles menambahkan, tren kasus positif Covid-19 pun meningkat drastis saat ini. "Maka, apa yang terjadi sekarang hanya bukti bahwa yang kita khawatirkan terjadi juga. Dengan demikian, jika hendak tetap dipaksakan, siap-siap untuk menanggung risiko yang lebih besar," ujarnya.
Desakan senada juga disampaikan Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) yang meminta Presiden Jokowi untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Hal ini seiring terus bertambahnya kasus Covid-19. "Pilkada 2020 demi kemanusiaan dan keselamatan masyarakat, serta kehancuran bangsa dan negara Indonesia harus ditunda oleh Presiden Jokowi," ujar Direktur Eksekutif LKPI Arifin Nur Cahyono.
Arifin mengatakan, jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19 terus meningkat. Jika dipaksakan Pilkada 2020 digelar pada 9 Desember 2020 mendatang, dikhawatirkan akan menimbulkan peningkatan penyebaran virus korona di Indonesia hingga mencapai jutaan warga. (Baca juga: Virus Corona Intai Pembalap Tour de France 2020)
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan dosen komunikasi politik pada UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, mengatakan bahwa alarm tanda bahaya sudah menyala di awal gegap gempitanya pilkada. Adanya 60 calon kepala daerah yang positif terinfeksi Covid-19 per Kamis lalu memberi pesan kuat bahwa Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah berada dalam bayang-bayang ancaman. "Sedari awal sudah banyak yang mengingatkan bahwa kerawanan tertinggi dalam penyelenggaraan pilkada tahun ini adalah pandemi," tulis Gun Gun dalam artikelnya di SINDOnews, Selasa (8/9/2020).
Gun Gun mengingatkan bahwa gelaran pilkada serentak memasuki tahapan sangat riskan. Prosesi pendaftaran para kandidat di 270 daerah yang berpilkada, misalnya, diramaikan dengan arak-arakan, deklarasi dukungan, unjuk kekuatan saat pendaftaran membuat kita kehabisan kata-kata betapa sulitnya menertibkan para pasangan calon, tim sukses dan masa pendukungnya.
"Arak-arakan dan kerumunan massa dalam jumlah besar menjadi sinyal kuat bahwa mengandalkan kesadaran saja tidak cukup," katanya. Karena itu, KPU harus sesegera mungkin mengatur secara rinci yang boleh dan tidak boleh dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2020. (Baca juga: Mahfud MD Kembali tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
Kendati desakan penundaan pilkada nyaring disuarakan berbagai kalangan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pilkada serentak tetap harus dilaksanakan, meskipun saat ini masih dalam masa pandemi Covid-19.
"Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan dan tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir karena memang kita tidak tahu. Negara manapun tidak tahu kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir,” katanya saat membuka rapat terbatas, Selasa (8/9/2020).
Karena itu, Jokowi meminta agar pilkada kali ini harus menggunakan cara baru dengan memberlakukan protokol kesehatan. “Penyelenggara pilkada harus dilaksanakan dengan norma baru, dengan cara baru,” tuturnya.
Jokowi meminta seluruh aparat pemerintah terkait aktif mendisiplinkan masyarakat. “Saya minta semua pihak, pada penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu, aparat pemerintah, jajaran keamanan, penegak hukum, seluruh aparat TNI/Polri, seluruh tokoh masyarakat, tokoh organisasi untuk aktif bersama-sama mendisiplinkan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan,” tuturnya. (Baca juga: Sektor Transportasi Darat masih Meraba PSBB Total ala Anies)
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengungkapkan bahwa tidak mudah bagi Komisi II, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan KPU untuk memutuskan pilkada serentak digelar tahun ini. Dia membeberkan sebelumnya ada tiga opsi, yakni digelar 9 Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021. Konsultasi juga sempat dilakukan dengan Doni Monardo yang saat itu sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
"Tidak ada kepastian bahwa Covid-19 akan berakhir di September atau di Maret 2021, tidak pastinya juga di Desember. Tetapi kalau kita tunda akan ada plt (pelaksana tugas) kepala daerah massal," ujar Mardani dalam webinar Fokus SINDO bertajuk ”Kampanye di Masa Pandemi”, Rabu (22/7/2020).
Memang banyak kepala daerah yang berakhir masa baktinya pada Februari 2021. "Tapi kalau kita tunda September 2021, Kemendagri sebagai pihak penanggung jawab plt juga keberatan karena ini tidak sehat. Ada 270 daerah, semuanya plt di bawah Kemendagri. Ini berbahaya buat demokrasi," ujar politikus PKS ini. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Nekat Kabur)
Mardani memastikan, Komisi II DPR RI akan betul-betul mengawasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. "Menjaga betul-betul tidak boleh ada kluster baru dari Covid-19 ini akibat pilkada yang diselenggarakan Desember 2020," jaminnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan tidak menutup kemungkinan sanksi diskualifikasi bagi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Berbeda dengan itu, KPU beranggapan sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur tentang diskualifikasi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Di lain pihak, Bawaslu berpandangan soal sanksi hanya diatur dalam PKPU dan UU Karantina Kesehatan. (Abdul Rochim/SINDOnews)
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
Pelaksanaan pilkada, di tengah pandemi Covid-19 yang terus mengalami peningkatan kasus, berpotensi menjadi media penularan Covid-19. Hal ini karena besarnya antusiasme pendukung maupun pasangan calon (paslon) untuk mengekspresikan dukungan. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak berebut Jihad di Perang Badar)
Tahapan pendaftaran yang penuh dengan kerumunan massa belum lama ini, misalnya, menjadi bukti nyata sulitnya menghindari terbentuknya kerumunan dalam tahapan pilkada. Padahal, KPU telah menyampaikan aturan untuk meminimalkan adanya kerumunan, namun tetap dilanggar juga.
Dampaknya, berdasarkan catatan KPU per 10 September 2020, tercatat ada 60 calon kepala daerah (cakada) yang terkonfirmasi positif Covid-19 lewat uji kerik atau swab test. Sebanyak 60 cakada ini berasal dari 21 provinsi dari 23 provinsi yang sudah melaporkan ke KPU. Jumlah tersebut belum termasuk pegawai KPU dan para pendukung paslon yang terinfeksi Covid-19.
Kasus Covid-19 di Indonesia juga terus meningkat. Berdasarkan laporan Satgas Penanganan Covid-19 Kementerian Kesehatan, temuan positif Covid-19 secara nasional per Jumat (11/9/2020), bertambah 3.737 kasus menjadi 210.940 orang.
Berbagai kalangan pun mendesak agar pilkada ditunda. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat, misalnya, membuat petisi melalui change.org yang mendesak agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda. Petisi dengan tema ”Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021” tersebut hingga Jumat (11/9/2020) pukul 14.37 tercatat sudah ditandatangani 30.589 orang. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Atas pertimbangan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat yang terdiri atas ICW, JPPR, KIPP Indonesia, Kopel, Net Grit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, PPUA Disabilitas, Kemitraan, dan kawan-kawan, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, dan pemerintah menunda Pilkada Serentak 2020 hingga 2021, paling lambat September 2021.
Alasannya, penyelenggaraan pilkada seyogianya juga memperhatikan unsur keselamatan dan kesehatan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memaksakan penyelenggaraan pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Antara lain terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan nonpetahana, dan turunnya partisipasi pemilih.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, petisi tersebut sebenarnya dibuat di awal-awal munculnya Covid-19, namun kini dilanjutkan mengingat perkembangan yang terjadi.
"Kita lihat beberapa praktiknya misalnya pas pendaftaran kemarin kan memprihatinkan. Kayanya enggak ada komitmen dan sulit untuk taat protokol kesehatan. Ya, sebaiknya kalau komitmennya rendah, daripada semakin membahayakan pemilih, opsinya ditunda," desaknya. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)
Menurut Khoirunnisa, opsi penyelenggaraan pilkada pada 2021 sebenarnya bukan lantas pada saat itu Covid-19 sudah tidak ada, lantaran hingga saat ini vaksinnya juga belum tersedia. "Tapi setidaknya kita punya waktu lebih banyak buat mempersiapkan. Tidak terburu-buru, lebih terukur. Kalau misalnya mau revisi di tingkat undang-undang juga masih sempat," katanya.
Namun, sejauh ini pemerintah memilih untuk tetap melanjutkan pilkada serentak. Karena itu, pemerintah dan DPR, juga KPU untuk serius melakukan upaya maksimal agar pilkada bisa berjalan dengan baik. "Kalau perlu menurunkan Satpol PP buat bubarin (kerumunan massa) ya bubarin saja. Pemerintah harus lebih tegas dalam mengawal pelaksanaannya," katanya.
Desakan penundaan pilkada juga muncul dari Koalisi Tunda Pilkada 2020 yang meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda Pilkada 2020 demi kemanusiaan atau HAM warga Indonesia karena kasus Covid-19 terus meningkat. Pada Kamis (10/9/2020) lalu mereka menggelar aksi di depan Kantor Komnas HAM di Menteng, Jakarta Pusat. (Baca juga: Inilah negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu ledak Nuklir)
Mereka berharap Komnas HAM juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengeluarkan perppu agar menunda dan mengundurkan pelaksanaan pilkada. "Komnas HAM, demi kemanusiaan dan HAM, kami minta untuk memanggil Presiden Jokowi yang membiarkan pelanggaran HAM dengan dilaksanakannya Pilkada 2020 ini. Kalau Pilkada 2020 tidak ditunda maka akan banyak penyebaran Covid-19 dan penyebaran meningkat sehingga banyak korban jiwa," ujar Koordinator Gerakan Tunda Pilkada 2020 Lisman Hasibuan.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengungkapkan, sejak awal lembaganya bersikap agar pilkada serentak itu ditunda. Charles menambahkan, tren kasus positif Covid-19 pun meningkat drastis saat ini. "Maka, apa yang terjadi sekarang hanya bukti bahwa yang kita khawatirkan terjadi juga. Dengan demikian, jika hendak tetap dipaksakan, siap-siap untuk menanggung risiko yang lebih besar," ujarnya.
Desakan senada juga disampaikan Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) yang meminta Presiden Jokowi untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Hal ini seiring terus bertambahnya kasus Covid-19. "Pilkada 2020 demi kemanusiaan dan keselamatan masyarakat, serta kehancuran bangsa dan negara Indonesia harus ditunda oleh Presiden Jokowi," ujar Direktur Eksekutif LKPI Arifin Nur Cahyono.
Arifin mengatakan, jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19 terus meningkat. Jika dipaksakan Pilkada 2020 digelar pada 9 Desember 2020 mendatang, dikhawatirkan akan menimbulkan peningkatan penyebaran virus korona di Indonesia hingga mencapai jutaan warga. (Baca juga: Virus Corona Intai Pembalap Tour de France 2020)
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan dosen komunikasi politik pada UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, mengatakan bahwa alarm tanda bahaya sudah menyala di awal gegap gempitanya pilkada. Adanya 60 calon kepala daerah yang positif terinfeksi Covid-19 per Kamis lalu memberi pesan kuat bahwa Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah berada dalam bayang-bayang ancaman. "Sedari awal sudah banyak yang mengingatkan bahwa kerawanan tertinggi dalam penyelenggaraan pilkada tahun ini adalah pandemi," tulis Gun Gun dalam artikelnya di SINDOnews, Selasa (8/9/2020).
Gun Gun mengingatkan bahwa gelaran pilkada serentak memasuki tahapan sangat riskan. Prosesi pendaftaran para kandidat di 270 daerah yang berpilkada, misalnya, diramaikan dengan arak-arakan, deklarasi dukungan, unjuk kekuatan saat pendaftaran membuat kita kehabisan kata-kata betapa sulitnya menertibkan para pasangan calon, tim sukses dan masa pendukungnya.
"Arak-arakan dan kerumunan massa dalam jumlah besar menjadi sinyal kuat bahwa mengandalkan kesadaran saja tidak cukup," katanya. Karena itu, KPU harus sesegera mungkin mengatur secara rinci yang boleh dan tidak boleh dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2020. (Baca juga: Mahfud MD Kembali tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
Kendati desakan penundaan pilkada nyaring disuarakan berbagai kalangan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pilkada serentak tetap harus dilaksanakan, meskipun saat ini masih dalam masa pandemi Covid-19.
"Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan dan tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir karena memang kita tidak tahu. Negara manapun tidak tahu kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir,” katanya saat membuka rapat terbatas, Selasa (8/9/2020).
Karena itu, Jokowi meminta agar pilkada kali ini harus menggunakan cara baru dengan memberlakukan protokol kesehatan. “Penyelenggara pilkada harus dilaksanakan dengan norma baru, dengan cara baru,” tuturnya.
Jokowi meminta seluruh aparat pemerintah terkait aktif mendisiplinkan masyarakat. “Saya minta semua pihak, pada penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu, aparat pemerintah, jajaran keamanan, penegak hukum, seluruh aparat TNI/Polri, seluruh tokoh masyarakat, tokoh organisasi untuk aktif bersama-sama mendisiplinkan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan,” tuturnya. (Baca juga: Sektor Transportasi Darat masih Meraba PSBB Total ala Anies)
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengungkapkan bahwa tidak mudah bagi Komisi II, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan KPU untuk memutuskan pilkada serentak digelar tahun ini. Dia membeberkan sebelumnya ada tiga opsi, yakni digelar 9 Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021. Konsultasi juga sempat dilakukan dengan Doni Monardo yang saat itu sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
"Tidak ada kepastian bahwa Covid-19 akan berakhir di September atau di Maret 2021, tidak pastinya juga di Desember. Tetapi kalau kita tunda akan ada plt (pelaksana tugas) kepala daerah massal," ujar Mardani dalam webinar Fokus SINDO bertajuk ”Kampanye di Masa Pandemi”, Rabu (22/7/2020).
Memang banyak kepala daerah yang berakhir masa baktinya pada Februari 2021. "Tapi kalau kita tunda September 2021, Kemendagri sebagai pihak penanggung jawab plt juga keberatan karena ini tidak sehat. Ada 270 daerah, semuanya plt di bawah Kemendagri. Ini berbahaya buat demokrasi," ujar politikus PKS ini. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Nekat Kabur)
Mardani memastikan, Komisi II DPR RI akan betul-betul mengawasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. "Menjaga betul-betul tidak boleh ada kluster baru dari Covid-19 ini akibat pilkada yang diselenggarakan Desember 2020," jaminnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan tidak menutup kemungkinan sanksi diskualifikasi bagi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Berbeda dengan itu, KPU beranggapan sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur tentang diskualifikasi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Di lain pihak, Bawaslu berpandangan soal sanksi hanya diatur dalam PKPU dan UU Karantina Kesehatan. (Abdul Rochim/SINDOnews)
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
(ysw)