Akulturasi Tiga Budaya Ras Ini Warnai Peradaban Bangsa Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tak hanya adat dan tradisi yang menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia. Ada berbagai macam makanan yang merupakan hasil akulturasi dari percampuran dari budaya lain , seperti China, Arab, dan Jawa.
(Baca juga: Pengamat Medsos: Konten yang Berkualitas Berpotensi Digemari Banyak Orang)
Untuk diketahui, akulturasi merupakan proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diterapkan ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
(Baca juga: Kemendagri Apresiasi 5 Kepala Daerah Terapkan Protokol Corona)
Owner Aba Catering Palembang, Heriyanto mengatakan, Palembang merupakan ibu kota dari provinsi Sumatra Barat yang terkenal memiliki banyak kuliner hasil akulturasi budaya. "Baik itu dari China, Arab dan juga Jawa. Dengan banyaknya budaya yang ada di Palembang, bisa menemukan beragam makanan dengan citarasa unik," kata Heriyanto, Jumat (11/9/2020).
Ditambah lagi perpaduan dengan budaya lain, Palembang semakin beragam. Dua kuliner yang paling terkenal di antara yang lainnya adalah pempek yang merupakan hasil akulturasi budaya dengan China. Dan nasi minyak yang merupakan asimilasi budaya dengan Arab. Dikutip dari cateringdipalembang.com , berikut ulasan singkat sejara kuliner Palembang.
Singkat cerita, sekitar tahun 682 Masehi, Palembang kala itu masih dikuasai oleh salah satu kerajaan maritim terkuat di Nusantara yakni Sriwijaya. Kerajaan yang pernah menjadi terbesar di Nusantara itu memiliki hubungan yang baik dengan para pedagang yang menjual berbagai dagangan seperti emas hingga rempah, termasuk dari Tiongkok atau China.
Meski akhirnya Sriwijaya runtuh, Palembang dan China terus berhubungan dan menghasilkan banyak akulturasi budaya, termasuk pada makanannya. Pempek telah ada sejak era Kesultanan Palembang yang juga dikenal dengan Palembang Darussalam. Makanan ini merupakan hasil asimilasi budaya dengan China. Kala itu para pedagang China datang ke Nusantara membawa dimsum sebagai bekalnya.
Tetapi karena bahan dasar daging dimsum yang dibawa oleh para pedagangn China ini tidak halal untuk dikonsumsi, masyarakat Palembang yang sebagian besar beragama Islam mencari alternatif lain. Secara geografis, wilayah yang terkenal dengan Jembatan Ampera ini memang terkenal sebagai penghasil ikan dan tepung tapioka. Alhasil, masyarakat Melayu lokal mengadopsi dimsum menjadi makanan lokal dengan bahan tersebut yang diberi nama dengan 'kelesan'.
Tanpa diduga, kuliner hasil akulturasi dua budaya tersebut digemari oleh banyak orang. Perlahan namun pasti kelesan menjadi komoditas pasar dan dijual oleh pedagang lokal ataupun China. Sementara asal mula kelesan ini berubah menjadi pempek, karena pada tahun 1910-an banyak sekali penjual kelesan orang China yang telah berumur yang biasa disebut dengan 'apek'.
Mereka yang membeli kelesan dari para apek ini terbiasa menyebut dengan panggilan 'pek pek pek', sehingga muncullah nama baru yang lebih terkenal dibanding nama aslinya yakni pempek. Kepopuleran pempek tidak berhenti di situ saja, banyak sekali masyarakat asli Palembang yang merantau ke wilayah lain sehingga kuliner berbahan dasar ikan ini semakin kondang saja.
Tidak hanya pempek saja, makanan hasil akulturasi budaya dengan China, ada juga tekwan, model, celimpungan dan juga laksan. Para penjual pempek sendiri terus berinovasi membuat jenisnya beragam. Ada pempek lenjer, lenggang, kapal selam, pastel, dan masih banyak lagi lainnya. Untuk menambah nikmat pempek, dipadukan dengan cuko.
Kuliner lainnya yang terkenal hasil asimilasi budaya adalah nasi minyak. Sama dengan pempek, nasi minyak juga dibawa oleh para pedagang. Namun bukan dari China, nasi minyak terpengaruh oleh para pedagang Timur Tengah, khususnya Arab. Juga pada zaman Sriwijaya masih berkuasa. Hal ini tentu saja bisa terlihat jelas dari peninggalan yang ada.
Nasi minyak ini memiliki bahan utama minyak samin. Maka dari itulah disebut dengan 'nasi minyak' atau ada juga yang menyebutnya dengan 'nasi samin'. Awalnya, olahan tersebut akan disebut dengan 'nasi minyak samin' namun karena terlalu panjang, nama nasi minyak lebih dipilih.
Nasi minyak ini mirip sekali dengan nasi kebuli.
Tapi, jika nasi kebuli dibuat dengan beras basmati, warga setempat menggunakan besar lokal untuk membuatnya lebih ekonomis. Meskipun mirip dengan nasi kebuli, ada beberapa perbedaan yang mendasar mengenai bahannya. Nasi kebuli menggunakan susu kambing dan kaldu daging kambing, sementara nasi minyak tidak.
(Baca juga: Pengamat Medsos: Konten yang Berkualitas Berpotensi Digemari Banyak Orang)
Untuk diketahui, akulturasi merupakan proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diterapkan ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
(Baca juga: Kemendagri Apresiasi 5 Kepala Daerah Terapkan Protokol Corona)
Owner Aba Catering Palembang, Heriyanto mengatakan, Palembang merupakan ibu kota dari provinsi Sumatra Barat yang terkenal memiliki banyak kuliner hasil akulturasi budaya. "Baik itu dari China, Arab dan juga Jawa. Dengan banyaknya budaya yang ada di Palembang, bisa menemukan beragam makanan dengan citarasa unik," kata Heriyanto, Jumat (11/9/2020).
Ditambah lagi perpaduan dengan budaya lain, Palembang semakin beragam. Dua kuliner yang paling terkenal di antara yang lainnya adalah pempek yang merupakan hasil akulturasi budaya dengan China. Dan nasi minyak yang merupakan asimilasi budaya dengan Arab. Dikutip dari cateringdipalembang.com , berikut ulasan singkat sejara kuliner Palembang.
Singkat cerita, sekitar tahun 682 Masehi, Palembang kala itu masih dikuasai oleh salah satu kerajaan maritim terkuat di Nusantara yakni Sriwijaya. Kerajaan yang pernah menjadi terbesar di Nusantara itu memiliki hubungan yang baik dengan para pedagang yang menjual berbagai dagangan seperti emas hingga rempah, termasuk dari Tiongkok atau China.
Meski akhirnya Sriwijaya runtuh, Palembang dan China terus berhubungan dan menghasilkan banyak akulturasi budaya, termasuk pada makanannya. Pempek telah ada sejak era Kesultanan Palembang yang juga dikenal dengan Palembang Darussalam. Makanan ini merupakan hasil asimilasi budaya dengan China. Kala itu para pedagang China datang ke Nusantara membawa dimsum sebagai bekalnya.
Tetapi karena bahan dasar daging dimsum yang dibawa oleh para pedagangn China ini tidak halal untuk dikonsumsi, masyarakat Palembang yang sebagian besar beragama Islam mencari alternatif lain. Secara geografis, wilayah yang terkenal dengan Jembatan Ampera ini memang terkenal sebagai penghasil ikan dan tepung tapioka. Alhasil, masyarakat Melayu lokal mengadopsi dimsum menjadi makanan lokal dengan bahan tersebut yang diberi nama dengan 'kelesan'.
Tanpa diduga, kuliner hasil akulturasi dua budaya tersebut digemari oleh banyak orang. Perlahan namun pasti kelesan menjadi komoditas pasar dan dijual oleh pedagang lokal ataupun China. Sementara asal mula kelesan ini berubah menjadi pempek, karena pada tahun 1910-an banyak sekali penjual kelesan orang China yang telah berumur yang biasa disebut dengan 'apek'.
Mereka yang membeli kelesan dari para apek ini terbiasa menyebut dengan panggilan 'pek pek pek', sehingga muncullah nama baru yang lebih terkenal dibanding nama aslinya yakni pempek. Kepopuleran pempek tidak berhenti di situ saja, banyak sekali masyarakat asli Palembang yang merantau ke wilayah lain sehingga kuliner berbahan dasar ikan ini semakin kondang saja.
Tidak hanya pempek saja, makanan hasil akulturasi budaya dengan China, ada juga tekwan, model, celimpungan dan juga laksan. Para penjual pempek sendiri terus berinovasi membuat jenisnya beragam. Ada pempek lenjer, lenggang, kapal selam, pastel, dan masih banyak lagi lainnya. Untuk menambah nikmat pempek, dipadukan dengan cuko.
Kuliner lainnya yang terkenal hasil asimilasi budaya adalah nasi minyak. Sama dengan pempek, nasi minyak juga dibawa oleh para pedagang. Namun bukan dari China, nasi minyak terpengaruh oleh para pedagang Timur Tengah, khususnya Arab. Juga pada zaman Sriwijaya masih berkuasa. Hal ini tentu saja bisa terlihat jelas dari peninggalan yang ada.
Nasi minyak ini memiliki bahan utama minyak samin. Maka dari itulah disebut dengan 'nasi minyak' atau ada juga yang menyebutnya dengan 'nasi samin'. Awalnya, olahan tersebut akan disebut dengan 'nasi minyak samin' namun karena terlalu panjang, nama nasi minyak lebih dipilih.
Nasi minyak ini mirip sekali dengan nasi kebuli.
Tapi, jika nasi kebuli dibuat dengan beras basmati, warga setempat menggunakan besar lokal untuk membuatnya lebih ekonomis. Meskipun mirip dengan nasi kebuli, ada beberapa perbedaan yang mendasar mengenai bahannya. Nasi kebuli menggunakan susu kambing dan kaldu daging kambing, sementara nasi minyak tidak.
(maf)