Medsos, Ladang Uang dan Pasar Ide yang Bebas

Jum'at, 11 September 2020 - 09:38 WIB
loading...
Medsos, Ladang Uang dan Pasar Ide yang Bebas
Pengamat Komunikasi, Rulli Nasrullah mengungkapkan di semua platform medsos, seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan Instagram, Indonesia selalu masuk lima besar sebagai pengguna di dunia. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pengguna media sosial (medsos) di Indonesia mencapai 170 juta orang. Mereka tidak hanya sekadar berselancar, tapi memanfaatkan jagat maya untuk menghasilkan uang.

Pengamat Komunikasi, Rulli Nasrullah mengungkapkan di semua platform medsos, seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan Instagram, Indonesia selalu masuk lima besar sebagai pengguna di dunia. Masyarakat menggunakan medsos untuk berbagai hal, mulai dari komunikasi dengan teman lama, menambah jejaring pertemanan baru, curhat, hingga berbagai informasi. (Baca juga: Banyak Konten Asal-asalan, Saatnya Dibuat Regulasi Bermedsos)

“(Medsos) memberikan ruang kreasi yang luar biasa kepada netizen untuk memproduksi apa saja. Setelah itu mendapatkan uang. Kedua, secara psikologi agak berbeda dengan dunia nyata. Di medsos, apapun yang diproduksi, (misal) sesakit apapun jatuh seandainya lantai licin atau jatuh ke got, akan mendapatkan apresiasi (menarik perhatian) yang luar biasa,” terangnya kepada SINDOnews, Kamis (10/9/2020).

Rulli menyebut ada akun medsos yang setiap tayangan lebih banyak dislike-nya. Tapi pengguna medsos tetap melihat apapun yang diposting oleh si pemilik akun. Ada yang datang hanya untuk berkomentar biasa saja, tapi ada yang memaki-maki. “Dia tetap dapat duit. Artinya, mau positif maupun negatif di medsos, konten kreator dapat uang dari situ,” tegasnya.

Dia menyebut agak sulit untuk mengarahkan pengguna medsos dan konten kreator agar selalu menciptakan konten yang berkualitas dan positif. Rulli menyatakan medsos ini menjadi pasar ide yang bebas bagi masyarakat. “Ketika literasi digital masyarakat semakin bagus, konten-konten sampah akan hilang,” katanya.

Masalah literasi digital yang buruk ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Rully menjelaskan situasi serupa juga terjadi di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Saat ini, Indonesia sedang memasuki tahap belajar bermedia sosial yang baik dan benar. Dia memprediksi 5-10 tahun ke depan masyarakat sudah matang dalam berselancar dan mengisi konten di medsos.

Pemerintah sebenarnya sudah menjalankan beberapa program agar konten di medsos berkualitas. Rully memaparkan pemerintah telah mempunyai program siber kreasi dan gen posting. Masalahnya yang harus dijangkau dan diedukasi itu sangat banyak. Langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mulai menagih pajak pada perusahaan-perusahaan medsos, menurutnya sudah tepat.

“Sekarang tinggal kerja sama lintas departemen, misalnya, Kemenkumham (pengaturan) tentang hak cipta dan penggunaan lagu. Ada sanksi sanksi bagi konten kreator, jadi tidak hanya sosial. Perusahaan medsos harus bertanggung jawab terhadap prank-prank yang tidak bagus. Saya pikir semua harus bergerak,” tuturnya. (Baca juga: Medsos Banyak Diisi Konten Negatif, Komisi I Tekankan Pentingnya Data Center)

Rulli mengusulkan adanya undang-undang (UU) khusus tentang medsos. Namun, Enda menyatakan aturan yang ada sudah cukup. “Masing-masing platform medsos punya aturan sendiri. Kalau ada yang melanggar, kita bisa laporkan. Secara hukum sudah ada yang mengatur. Secara norma (yang) bikin marah, walaupun bukan (kena) sanksi hukum, ada sanksi sosial,” pungkasnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3549 seconds (0.1#10.140)