Hardiknas dan Kita
loading...
A
A
A
Ruchman Basori
Kasubdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama dan Kandidat Doktor Universitas Negeri Semarang
BETAPA banyak prestasi putra-putri anak bangsa dalam kejuaraan olimpiade yang telah diraih dalam berbagai jenis ilmu di dalam dan luar negeri. Sains dan teknologi menjadi tungku penting yang dikejar insan pendidikan. Olimpiade sains, matematika, geografi, bahkan belakangan merambah pada bidang-bidang keagamaan.
Sangat membanggakan. Di sisi lain, para peneliti, dosen, dan juga guru besar telah menorehlan berlembar-lembar hasil riset yang tentu sangat bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Dalam hal teknologi informasi dan komunikasi malah berkembang melampaui kecepatan ilmu-ilmu pengetahuan lain. Kita sudah merasakan manfaatnya, salah satunya maraknya sosial media (sosmed) yang kerap kita gunakan.
Namun pada saat yang sama, masih banyak kita dengar kasus-kasus korupsi, tindak asusila, disintegrasi sosial, dan maraknya berita bohong (hoaks) yang menghiasi media sosial. Apalagi untuk hal ujaran kebencian dalam dekade terakhir ini kita juga menjadi juara.
Artinya, negara kita telah berhasil mencerdaskan anak bangsa, tapi masih kurang berhasil dalam hal mendidik moral, karakter, dan akhlakul karimah dalam istilah agamanya. Pendidikan telah berhasil melakukan transmisi pengetahuan dan belum secara optimal untuk pemindahan nilai-nilai (transfer of value). Orang pintar semakin banyak, tapi orang yang benar dan lurus semakin sedikit.
Pertanyaannya, kita sebagai warga, baik warga dalam arti sebenarnya maupun warga di dunia maya (netizen) mempunyai pekerjaan rumah cukup besar untuk menambal kepongahan pendidikan nasional, yaitu soal karakter dan akhlakul karimah.
Tulisan kecil ini menjadi renungan mendalam pada momentum historis peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tangal 2 Mei yang akan datang. Momen bersejarah ini harus kita jadikan untuk membuka kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang komprehensif dalam mencetak manusia paripurna pada konteks Indonesia.
Mandat Nasional
Kadang kita sering lupa bahwa tujuan pendidikan nasional telah dirumuskan begitu filosofis, apik, dan lengkap mencakup keseluruhan aspek kehiduan manusia Indonesia. UUD 1945 menyebutkan bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." (Pasal 31 ayat 3). "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia." (Pasal 31 ayat 5).
Bagi penulis, ini adalah mandat nasional pendidikan yang telah dirumuskan sejak Indonesia merdeka oleh the founding fathers dan disempurnakan terus menerus melalui produk undang-undang. Apalagi kalau kita baca Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 20/2003, begitu jelas amanat untuk menjadikan anak bangsa mencapai keseimbangan antara iman dan amal, ilmu dan akhlak, jasmani dan rohani, serta antara tugas-tugas individu, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
"Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Dalam konteks global UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) PBB mencanangkan empat pilar pendidikan untuk bekal sekarang maupun masa depan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together .
Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menyebutkan, kecerdasan emosi jauh lebih berperan ketimbang IQ atau keahlian dalam menentukan keberhasilan seseorang. Jauh sebelumnya pakar pendidikan semacam John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam serta manusia.
Tampaknya mazhab kecerdasan intelektual masih mendominasi dalam praktik pendidikan di Indonesia. Pelaku utama pendidikan, yaitu guru, sering mengukur keberhasilan peserta didiknya dengan capaian-capaian kognitif. Hal yang disebut juara adalah jika ia menjuarai olimpiade matematika, sains, dan geografi, bahkan juga musabaqah tilawatil quran (MTQ).
Peserta didik yang mampu membangun kebersamaan, memupuk tanggung jawab, dan konsen pada tugas-tugas sosial serta nilai-nilai kebangsaan, bukan disebut sang juara. Karenanya, penghargaan kita kepada mereka kurang semestinya. Betapa banyak organisasi siswa dan kemahasiswaan menjadi mandul serta kurang mendapatkan apresiasi karena tidak menyumbangkan medali yang membanggakan.
Yang Terlupakan
Tanggal 2 Mei harus kita jadikan menebus kekeliruan bagi mereka yang terlupakan. Mereka para penggerak dan pejuang sosial, yang walau pada saat studi di bangku kuliah bukan penyumbang medali, tetap ketika di masyarakat menjadi pejuang terdepan bagi kemansiaan. Apalagi pada saat pandemi Covid-19 yang membutuhkan para relawan kemanusiaan.
Dunia pendidikan harus mampu memberikan ruang gerak bagi tumbuhnya kecerdasan emosional yang berbasis pada kecerdasan spiritual. Karena itu, guru mengajar dan murid pembelajar harus disediakan kurikulum yang mampu mengubah manusia-manusia yang peduli akan nasib kaumnya. Profil lulusan tidak saja diukur dari tingginya indeks prestasi, tetapi para mahasiswa aktivis yang tak kenal lelah belajar memperjuangkan nilai-nilai.
Kita juga jangan melupakan kepada mereka yang di tengah menipisnya nilai-nilai kebangsaan, selalu menggelorakan akan pentingnya nilai kebangsaan. Bukankah kita berhasil mencetak manusia Indonesia yang cerdas luar biasa, tetapi mereka kurang loyal pada negaranya. Bahkan ada yang terjebak mengusung ideologi-ideologi yang menentang Pancasila dan UUD 45.
Sementara itu, muncul anak bangsa yang cerdas agamanya namun kurang cerdas berbangsa. Sosok yang mempunyai komitmen agama luar biasa tetapi tidak mencintai negara dan bangsanya atau sebaliknya. Mestinya pendidikan nasional mampu menciptkan profil lulusan yang mencintai negara dan bangsanya juga komitmen pada agamanya, bukan pribadi yang terbelah.
Kita kagum akan sosok Soekarno dan Hatta serta para pejuang kemerdekaan lain yang mampu menggabungkan antara komitmen keagamaan dan komitmen ke-Indonesiaan. Sosok Ki Hajar Dewantoro, KH. Wahid Hasyim, KH. Saifuddin Zuhri, hingga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Layanan pendidikan semacam apa yang bisa melahirkan sosok hebat seperti mereka para pejuang dan pemimpin.
Momen Hardiknas 2 Mei harus kita jadikan untuk berbenah mewujudkan pendidikan nasional yang menjamin setiap anak bangsa memperoleh layanan pendidikan terbaik. Bukan saja para siswa yang berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga para siswa dan santri yang berada di madrasah serta pesantren di bawah Kementerian Agama. Wallahu alam bi al-shawab.
Kasubdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama dan Kandidat Doktor Universitas Negeri Semarang
BETAPA banyak prestasi putra-putri anak bangsa dalam kejuaraan olimpiade yang telah diraih dalam berbagai jenis ilmu di dalam dan luar negeri. Sains dan teknologi menjadi tungku penting yang dikejar insan pendidikan. Olimpiade sains, matematika, geografi, bahkan belakangan merambah pada bidang-bidang keagamaan.
Sangat membanggakan. Di sisi lain, para peneliti, dosen, dan juga guru besar telah menorehlan berlembar-lembar hasil riset yang tentu sangat bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Dalam hal teknologi informasi dan komunikasi malah berkembang melampaui kecepatan ilmu-ilmu pengetahuan lain. Kita sudah merasakan manfaatnya, salah satunya maraknya sosial media (sosmed) yang kerap kita gunakan.
Namun pada saat yang sama, masih banyak kita dengar kasus-kasus korupsi, tindak asusila, disintegrasi sosial, dan maraknya berita bohong (hoaks) yang menghiasi media sosial. Apalagi untuk hal ujaran kebencian dalam dekade terakhir ini kita juga menjadi juara.
Artinya, negara kita telah berhasil mencerdaskan anak bangsa, tapi masih kurang berhasil dalam hal mendidik moral, karakter, dan akhlakul karimah dalam istilah agamanya. Pendidikan telah berhasil melakukan transmisi pengetahuan dan belum secara optimal untuk pemindahan nilai-nilai (transfer of value). Orang pintar semakin banyak, tapi orang yang benar dan lurus semakin sedikit.
Pertanyaannya, kita sebagai warga, baik warga dalam arti sebenarnya maupun warga di dunia maya (netizen) mempunyai pekerjaan rumah cukup besar untuk menambal kepongahan pendidikan nasional, yaitu soal karakter dan akhlakul karimah.
Tulisan kecil ini menjadi renungan mendalam pada momentum historis peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tangal 2 Mei yang akan datang. Momen bersejarah ini harus kita jadikan untuk membuka kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang komprehensif dalam mencetak manusia paripurna pada konteks Indonesia.
Mandat Nasional
Kadang kita sering lupa bahwa tujuan pendidikan nasional telah dirumuskan begitu filosofis, apik, dan lengkap mencakup keseluruhan aspek kehiduan manusia Indonesia. UUD 1945 menyebutkan bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." (Pasal 31 ayat 3). "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia." (Pasal 31 ayat 5).
Bagi penulis, ini adalah mandat nasional pendidikan yang telah dirumuskan sejak Indonesia merdeka oleh the founding fathers dan disempurnakan terus menerus melalui produk undang-undang. Apalagi kalau kita baca Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 20/2003, begitu jelas amanat untuk menjadikan anak bangsa mencapai keseimbangan antara iman dan amal, ilmu dan akhlak, jasmani dan rohani, serta antara tugas-tugas individu, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
"Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Dalam konteks global UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) PBB mencanangkan empat pilar pendidikan untuk bekal sekarang maupun masa depan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together .
Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menyebutkan, kecerdasan emosi jauh lebih berperan ketimbang IQ atau keahlian dalam menentukan keberhasilan seseorang. Jauh sebelumnya pakar pendidikan semacam John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam serta manusia.
Tampaknya mazhab kecerdasan intelektual masih mendominasi dalam praktik pendidikan di Indonesia. Pelaku utama pendidikan, yaitu guru, sering mengukur keberhasilan peserta didiknya dengan capaian-capaian kognitif. Hal yang disebut juara adalah jika ia menjuarai olimpiade matematika, sains, dan geografi, bahkan juga musabaqah tilawatil quran (MTQ).
Peserta didik yang mampu membangun kebersamaan, memupuk tanggung jawab, dan konsen pada tugas-tugas sosial serta nilai-nilai kebangsaan, bukan disebut sang juara. Karenanya, penghargaan kita kepada mereka kurang semestinya. Betapa banyak organisasi siswa dan kemahasiswaan menjadi mandul serta kurang mendapatkan apresiasi karena tidak menyumbangkan medali yang membanggakan.
Yang Terlupakan
Tanggal 2 Mei harus kita jadikan menebus kekeliruan bagi mereka yang terlupakan. Mereka para penggerak dan pejuang sosial, yang walau pada saat studi di bangku kuliah bukan penyumbang medali, tetap ketika di masyarakat menjadi pejuang terdepan bagi kemansiaan. Apalagi pada saat pandemi Covid-19 yang membutuhkan para relawan kemanusiaan.
Dunia pendidikan harus mampu memberikan ruang gerak bagi tumbuhnya kecerdasan emosional yang berbasis pada kecerdasan spiritual. Karena itu, guru mengajar dan murid pembelajar harus disediakan kurikulum yang mampu mengubah manusia-manusia yang peduli akan nasib kaumnya. Profil lulusan tidak saja diukur dari tingginya indeks prestasi, tetapi para mahasiswa aktivis yang tak kenal lelah belajar memperjuangkan nilai-nilai.
Kita juga jangan melupakan kepada mereka yang di tengah menipisnya nilai-nilai kebangsaan, selalu menggelorakan akan pentingnya nilai kebangsaan. Bukankah kita berhasil mencetak manusia Indonesia yang cerdas luar biasa, tetapi mereka kurang loyal pada negaranya. Bahkan ada yang terjebak mengusung ideologi-ideologi yang menentang Pancasila dan UUD 45.
Sementara itu, muncul anak bangsa yang cerdas agamanya namun kurang cerdas berbangsa. Sosok yang mempunyai komitmen agama luar biasa tetapi tidak mencintai negara dan bangsanya atau sebaliknya. Mestinya pendidikan nasional mampu menciptkan profil lulusan yang mencintai negara dan bangsanya juga komitmen pada agamanya, bukan pribadi yang terbelah.
Kita kagum akan sosok Soekarno dan Hatta serta para pejuang kemerdekaan lain yang mampu menggabungkan antara komitmen keagamaan dan komitmen ke-Indonesiaan. Sosok Ki Hajar Dewantoro, KH. Wahid Hasyim, KH. Saifuddin Zuhri, hingga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Layanan pendidikan semacam apa yang bisa melahirkan sosok hebat seperti mereka para pejuang dan pemimpin.
Momen Hardiknas 2 Mei harus kita jadikan untuk berbenah mewujudkan pendidikan nasional yang menjamin setiap anak bangsa memperoleh layanan pendidikan terbaik. Bukan saja para siswa yang berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga para siswa dan santri yang berada di madrasah serta pesantren di bawah Kementerian Agama. Wallahu alam bi al-shawab.
(mpw)