Dulu, Kini dan Esok: Bincang Reflektif Asosiasi Pematung Indonesia Jakarta
loading...
A
A
A
Partisipan pameran sejumlah sepuluh pematung adalah: Agoes Salim, Agus Widodo, Budi Tobing, Yani Mariani, Cyca Leonita, Hardiman Radjab, Jack S Riyadi, Darwin, Henry The Koi dan Tedy Murdianto.
Dalam Bincang Virtual nanti, dua nara sumber pematung, yakni Yani Mariani memberikan perspektifnya tentang kerja proyek komisi di Kepulauan Seribu pada 2019 lalu dan partisipasinya dalam pameran ini juga.
Semetara generasi milenial diwakili oleh Cyca Leonita, pematung perempuan yang akan mempersentasikan karya-karya yang khas mengungkapkan kehidupan personal urban dan pengalaman-pengalaman sosialnya.
Yang menarik, ada dua karya cukup menggelitik, yakni milik Hardiman Radjab dan Jack S Riyadi. Keduanya berbeda cara mengungkapkan, namun memiliki benang merah pesan yang mirip, yakni: manusia abai pada wabah dan berusaha menentangnya, sebab manusia secara natural memang cenderung khilaf jika tanpa intimidasi dalam aturan-aturan yang tegas.
Hardiman dengan patungnya yang sangat khas, biasanya ia memakai karya found object-barang temuan, sekarang ia mengkonstruksi kotak dan boneka kecil yang ditautkan sedemikian rupa seolah seorang manusia yang terperangkap dalam kotak tersebut.
Dalam wawancara ia berujar bahwa “Quantum Leap”, sebagai judul karya bisa multi tafsir, “menurut saya ada kemauan manusia menentang kodratnya. Mereka ingin membuat lompatan dalam sains mengejar rahasia keabadian dengan mesin waktu, menembus ruang dan waktu; tapi saat sama ia menentang hukum-hukum alam lain, seperti merebaknya wabah dan perang, sebab manusia tak peduli dengan lingkungan hidup (membabat hutan) dan kemanusiaannya sendiri” ujarnya.
Sedangkan Jack S Riyadi dengan jitu menangkap momen saat ini, tatkala Jakarta sebagai Ibukota Negara harus prihatin dengan penerapan PSBB, yakni pengetatan protokol kesehatan sebab telah diambang darurat. Dinas Kesehatan kota tak mampu menangani jumlah pasien yang makin membludak di RSUD yang sesegera mungkin memerlukan tindakan darurat, jika tak dilakukan: Jakarta akan kolaps.
Jack seolah menuturkan sebuah ironi, bahwa negeri yang carut-marut, sementara Pilkada semakin mendekat, pesta demokrasi akan dihelat yang berarti “perebutan kekuasaan terjadi”, yang perekonomian memerlukan pemulihan untuk mengakselerasi pembiayaan tinggi dalam kehidupan politik, tapi pemimpin dan rakyatnya sama-sama abai.
Dalam judul “Tak Menghiraukan”, patung kepala manusia yang memakai masker, namun tepat di “mata patung”, seolah ingin berujar “Ketidakhirauanku mungkin tersebab mata hatiku tak mampu melihat apa yang menjadi prioritas, yakni kesehatan atau pulihnya ekonomi atau jangan-jangan terpaksa, sebab semata untuk kekuasaan dan kepentingan-kepentingan politik, yang kita semua: terperangkap dalam dilema berat sebagai bangsa.
Pandemi memang membuat kita berefleksi, tak hanya para seniman di API, tapi dalam kehidupan keseharian sungguh akal sehat dan nurani sejujurnya dikalahkan di negeri ini.
Dalam Bincang Virtual nanti, dua nara sumber pematung, yakni Yani Mariani memberikan perspektifnya tentang kerja proyek komisi di Kepulauan Seribu pada 2019 lalu dan partisipasinya dalam pameran ini juga.
Semetara generasi milenial diwakili oleh Cyca Leonita, pematung perempuan yang akan mempersentasikan karya-karya yang khas mengungkapkan kehidupan personal urban dan pengalaman-pengalaman sosialnya.
Yang menarik, ada dua karya cukup menggelitik, yakni milik Hardiman Radjab dan Jack S Riyadi. Keduanya berbeda cara mengungkapkan, namun memiliki benang merah pesan yang mirip, yakni: manusia abai pada wabah dan berusaha menentangnya, sebab manusia secara natural memang cenderung khilaf jika tanpa intimidasi dalam aturan-aturan yang tegas.
Hardiman dengan patungnya yang sangat khas, biasanya ia memakai karya found object-barang temuan, sekarang ia mengkonstruksi kotak dan boneka kecil yang ditautkan sedemikian rupa seolah seorang manusia yang terperangkap dalam kotak tersebut.
Dalam wawancara ia berujar bahwa “Quantum Leap”, sebagai judul karya bisa multi tafsir, “menurut saya ada kemauan manusia menentang kodratnya. Mereka ingin membuat lompatan dalam sains mengejar rahasia keabadian dengan mesin waktu, menembus ruang dan waktu; tapi saat sama ia menentang hukum-hukum alam lain, seperti merebaknya wabah dan perang, sebab manusia tak peduli dengan lingkungan hidup (membabat hutan) dan kemanusiaannya sendiri” ujarnya.
Sedangkan Jack S Riyadi dengan jitu menangkap momen saat ini, tatkala Jakarta sebagai Ibukota Negara harus prihatin dengan penerapan PSBB, yakni pengetatan protokol kesehatan sebab telah diambang darurat. Dinas Kesehatan kota tak mampu menangani jumlah pasien yang makin membludak di RSUD yang sesegera mungkin memerlukan tindakan darurat, jika tak dilakukan: Jakarta akan kolaps.
Jack seolah menuturkan sebuah ironi, bahwa negeri yang carut-marut, sementara Pilkada semakin mendekat, pesta demokrasi akan dihelat yang berarti “perebutan kekuasaan terjadi”, yang perekonomian memerlukan pemulihan untuk mengakselerasi pembiayaan tinggi dalam kehidupan politik, tapi pemimpin dan rakyatnya sama-sama abai.
Dalam judul “Tak Menghiraukan”, patung kepala manusia yang memakai masker, namun tepat di “mata patung”, seolah ingin berujar “Ketidakhirauanku mungkin tersebab mata hatiku tak mampu melihat apa yang menjadi prioritas, yakni kesehatan atau pulihnya ekonomi atau jangan-jangan terpaksa, sebab semata untuk kekuasaan dan kepentingan-kepentingan politik, yang kita semua: terperangkap dalam dilema berat sebagai bangsa.
Pandemi memang membuat kita berefleksi, tak hanya para seniman di API, tapi dalam kehidupan keseharian sungguh akal sehat dan nurani sejujurnya dikalahkan di negeri ini.