Antrean Panjang Penumpang KRL di Stasiun Bukti Penerapan PSBB Lemah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masih mengularnya antrean penumpang KRL Commuter Line di beberapa stasiun tujuan Jakarta dinilai sebagai bukti bahwa kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih memiliki kelemahan. Masih banyaknya warga yang pergi ke luar rumah untuk bekerja itu bukan ekspresi secara sengaja mengabaikan aturan PSBB.
"Sesungguhnya itu bukan ekspresi secara sengaja mengabaikan aturan PSBB, tetapi lebih terlihat sebagai kelemahan dari kebijakan PSBB. Mengapa kelemahan PSBB? Karena kebijakan PSBB masih membolehkan lalu lintas sosial terjadi," ujar Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic, and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun kepada SINDOnews, Rabu (15/4/2020).
Dia memberikan contoh, masyarakat masih boleh naik transportasi publik. "Jadi kerumunan orang di stasiun itu yang patut disorot pertama adalah kelemahan atau kekurangan kebijakan PSBB," ujar Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.
Dia berpendapat, jika karantina wilayah atau lockdown lokal ditetapkan, semua transportasi publik ditutup di suatu wilayah. 'Jadi tidak boleh ada lalu lintas sosial," ungkapnya.
Dia melanjutkan, hal kedua yang patut dianalisis dari masih berkerumunnya masyarakat di stasiun adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap aturan PSBB. "Mereka menilai apa yang mereka lakukan adalah rutinitas biasa yang tidak merugikan orang lain, mereka mengganggap bahwa yang mereka lakukan tidak berbahaya," ujarnya.
Dia menambahkan, itu artinya rasionalitas masyarakat belum kokoh untuk melakukan physical distancing dan meyakini pentingnya physical distancing saat pandemi COVID-19 ini. 'Hal ketiga yang patut dikritik adalah berkerumunnya masyarakat di stasiun tanpa physical distancing itu menunjukkan bahwa sosialisasi tentang aturan PSBB belum optimal belum tersampaikan dengan baik kepada mereka," ujarnya.
Menurut dia, sosialisasi tentang aturan PSBB perlu lebih masif dan rasional. Selain itu, kata dia, perlu juga upaya rekayasa arus manusia di stasiun. "Jika upaya tersebut sudah dilakukan tetapi masih terjadi penumpukan orang di stasiun maka itu artinya ada cacat bawaan dari kebijakan PSBB," ungkapnya.
Dia berpendapat, kebijakan yang lebih tepat di Indonesia karena masyarakatnya belum tertib dalam mengatasi COVID-19 adalah kebijakan karantina wilayah (local lockdown). Menurut dia, kebijakan karantina wilayah itu harusnya sudah dilakukan 30 hari lalu.
"Tetapi karena ego politik elite dan mengutamakan kepentingan ekonomi kebijakan tersebut tidak diambil. Akhirnya virus Corona sudah menyebar kemana-mana seiring lalu lintas sosial yang masih dibolehkan. Sekarang sudah terlambat, jalani saja PSBB dengan segala konsekuensinya. Semoga semuanya cepat berlalu," katanya.
"Sesungguhnya itu bukan ekspresi secara sengaja mengabaikan aturan PSBB, tetapi lebih terlihat sebagai kelemahan dari kebijakan PSBB. Mengapa kelemahan PSBB? Karena kebijakan PSBB masih membolehkan lalu lintas sosial terjadi," ujar Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic, and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun kepada SINDOnews, Rabu (15/4/2020).
Dia memberikan contoh, masyarakat masih boleh naik transportasi publik. "Jadi kerumunan orang di stasiun itu yang patut disorot pertama adalah kelemahan atau kekurangan kebijakan PSBB," ujar Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.
Dia berpendapat, jika karantina wilayah atau lockdown lokal ditetapkan, semua transportasi publik ditutup di suatu wilayah. 'Jadi tidak boleh ada lalu lintas sosial," ungkapnya.
Dia melanjutkan, hal kedua yang patut dianalisis dari masih berkerumunnya masyarakat di stasiun adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap aturan PSBB. "Mereka menilai apa yang mereka lakukan adalah rutinitas biasa yang tidak merugikan orang lain, mereka mengganggap bahwa yang mereka lakukan tidak berbahaya," ujarnya.
Dia menambahkan, itu artinya rasionalitas masyarakat belum kokoh untuk melakukan physical distancing dan meyakini pentingnya physical distancing saat pandemi COVID-19 ini. 'Hal ketiga yang patut dikritik adalah berkerumunnya masyarakat di stasiun tanpa physical distancing itu menunjukkan bahwa sosialisasi tentang aturan PSBB belum optimal belum tersampaikan dengan baik kepada mereka," ujarnya.
Menurut dia, sosialisasi tentang aturan PSBB perlu lebih masif dan rasional. Selain itu, kata dia, perlu juga upaya rekayasa arus manusia di stasiun. "Jika upaya tersebut sudah dilakukan tetapi masih terjadi penumpukan orang di stasiun maka itu artinya ada cacat bawaan dari kebijakan PSBB," ungkapnya.
Dia berpendapat, kebijakan yang lebih tepat di Indonesia karena masyarakatnya belum tertib dalam mengatasi COVID-19 adalah kebijakan karantina wilayah (local lockdown). Menurut dia, kebijakan karantina wilayah itu harusnya sudah dilakukan 30 hari lalu.
"Tetapi karena ego politik elite dan mengutamakan kepentingan ekonomi kebijakan tersebut tidak diambil. Akhirnya virus Corona sudah menyebar kemana-mana seiring lalu lintas sosial yang masih dibolehkan. Sekarang sudah terlambat, jalani saja PSBB dengan segala konsekuensinya. Semoga semuanya cepat berlalu," katanya.
(cip)