Hentikan Politik Identitas

Rabu, 09 September 2020 - 06:18 WIB
loading...
Hentikan Politik Identitas
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Jangan lagi ada politik identitas yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kontestasi politik. Harapan ini disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Desember nanti.

Walaupun Presiden tidak mengungkap latar belakang mengapa pesan ini disampaikan, politik identitas harus diakui menjadi tren ancaman riil pertarungan politik di Tanah Air. Hal ini mengacu pada realitas Pemilihan Presiden 2019 yang diwarnai polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas yang diterjemahkan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoaks), fitnah, dan politisasi SARA. (Baca: Kabur dari Lapas dan Bacok Polisi, Rampok Sadis Ini Kembali Ditangkap)

Rencananya, pilkada serentak yang bakal digelar 9 Desember 2020 nanti—sebelumnya diagendakan pada 23 September 2020—akan melibatkan 270 daerah. Perinciannya, pilkada yang digelar di 9 provinsi–Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah—dan 224 kabupaten serta 37 kota.

Bagaimana kecenderungan politik identitas tersebut bisa dihentikan? Jokowi meminta agar pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tidak ada penggunaan narasi-narasi yang bermuatan isu SARA karena itu membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dia meminta adanya ketegasan terkait hal ini.

“Kita juga tidak membiarkan, jangan membiarkan penggunaan bahasa, penggunaan narasi, penggunaan simbol-simbol yang membahayakan persatuan dan kesatuan masyarakat. Harus ada ketegasan,” katanya saat membuka rapat terbatas kemarin.

Dia pun berharap pada Pilkada Serentak 2020 ini didorong agar para calon beradu program, gagasan, dan kemampuan untuk menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin di daerah. ”Kita juga harus mendorong masyarakat untuk mempelajari track record calon agar memperoleh pemimpin yang baik, yang terbaik,” desaknya.

Jokowi meminta agar kualitas demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 tetap dijaga, meskipun saat ini Indonesia dalam posisi sulit karena masih berhadapan dengan pandemi Covid-19. Bagaimanapun, dalam situasi sulit ini demokrasi Indonesia ditantang agar bisa semakin dewasa dan matang.

Untuk mewujudkan harapan itu, Jokowi meminta penyelenggara pilkada bekerja keras menjaga netralitas, profesionalitas, dan transparansi. Pesan sama juga disampaikan kepada aparat TNI, Polri, dan birokrasi. “Terakhir saya mengharapkan dukungan dari para tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, serta para aktivis dan akademisi di daerah untuk mendukung upaya yang tadi saya sampaikan,” katanya.

Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa sepakat para kontestan pilkada agar menghindari isu-isu politik identitas dalam setiap tahapan pilkada. Menurut Saan, pada pengalaman Pilpres 2019 dan beberapa pilkada lalu, seperti Pilkada DKI Jakarta, isu politik identitas begitu menguat dan sangat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

“Kita ingin dalam situasi pandemi Covid-19 ini kita mengedepankan narasi-narasi yang mampu membangun semangat kebersamaan. Berkontes itu hal yang biasa, tapi bagaimana kompetisi itu sama-sama semangatnya dalam rangka kebersamaan untuk keluar dari krisis pandemi ini,” tuturnya. (Baca juga: Gugus Tugas Waspadai Klaster Pilkada Serentak di Jabar)

Karena itu, politikus Nasdem ini mengingatkan para pasangan calon, tim sukses, dan parpol pendukung agar dalam setiap tahapan pilkada yang akan dilewati tiga bulan ke depan semua pihak mulai menghindari narasi politik identitas, baik kedaerahan, agama, maupun ideologi. “Hal-hal seperti itu harus mulai dihindari, jangan dikedepankan. Kalau itu yang dikedepankan, justru kita akan semakin memperparah situasi,” katanya.

Hal senada dinyatakan Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PPP, Arwani Thomafi. Dia menekankan para kandidat agar mengutamakan kompetisi gagasan atau adu program, serta memunculkan isu-isu yang mendorong pada penguatan implementasi nilai-nilai Pancasila, serta penguatan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

“Memaknai pilkada bukan hanya bagaimana caranya menang, bagaimana caranya tidak kalah, tetapi pilkada itu harus menjadi sarana untuk memperkuat persatuan antarkomponen bangsa,” tutur politikus PPP ini.

Arwani kemudian meminta Bawaslu di masing-masing daerah untuk selalu melakukan langkah-langkah antisipatif terhadap kemungkinan menguatnya isu-isu politik identitas di semua daerah yang menggelar pilkada.

Sebelumnya Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai upaya meminimalkan politik identitas dalam Pilkada 2020 dapat dilakukan parpol dengan mengusung kader-kader yang berkualitas dan berintegritas sehingga pertarungan yang terjadi tidak diwarnai oleh kampanye berbau SARA, tetapi pertarungan program-program membangun daerah.

Di sisi lain, masyarakat harus dididik melek dunia digital. Karenanya, pendidikan bagi warga untuk menjadi pengguna perangkat digital yang bijaksana harus menjadi agenda prioritas berkesinambungan dan terkonsolidasi antarpemangku kepentingan terkait pemilu, meliputi KPU, Bawaslu, Kominfo, Kemdiknas, Kemdikti, Kempora, KPPPA, Kemendagri, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil. (Baca juga: Berat, Ternyata Banyak Masalah yang Dihadapi UMKM)

Tetap Digelar

Presiden menegaskan, pilkada serentak tetap harus dilakukan pada 9 Desember nanti, meskipun memang saat ini masih dalam masa pandemi Covid-19.’’Karena memang kita tidak tahu, negara mana pun tidak tahu kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir,” katanya saat membuka rapat terbatas di Jakarta kemarin.

Untuk mengantisipasi kemungkinan tidak diinginkan, Jokowi meminta agar pilkada kali ini menggunakan norma baru, dengan menegakkan protokol kesehatan. Dia pun meminta seluruh penyelenggara pilkada dan aparat pemerintah terkait aktif mendisiplinkan masyarakat.

“Pada kesempatan ini saya minta semua pihak, pada penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu, aparat pemerintah, jajaran keamanan, penegak hukum, seluruh aparat TNI/Polri, seluruh tokoh masyarakat, tokoh organisasi untuk aktif bersama-sama mendisiplinkan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan,” ujarnya.

Jokowi lantas mengingatkan pentingnya penerapan protokol kesehatan pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Kemampuan Indonesia keluar dari berbagai risiko akibat pandemi adalah jika semua pihak berhasil menangani masalah kesehatan. (Baca: Demonstrasi Antirasisme Memanas di Kota-Kota AS)

"Karena itu, kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada harus dilakukan, ditegakkan, dan tidak ada tawar-menawar,” ucapnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengaku selalu mengikuti situasi di lapangan dalam proses pelaksanaan tahapan pilkada. Dia melihat masih banyak pasangan calon (paslon) yang melanggar protokol kesehatan. Dia mengingatkan, pelanggaran seperti ini tidak bisa dibiarkan. “Hal-hal seperti ini saya kira harus menjadi perhatian kita dan situasi ini tidak bisa dibiarkan. Sekali lagi, tidak bisa dibiarkan,” ancamnya.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan, ada beberapa penyebab kenapa banyak pasangan calon yang melanggar aturan protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19 saat mendaftar sebagai peserta pilkada di KPUD. Salah satunya waktu sosialisasi yang sempit.

“Jadi 24 Juli pembahasan peraturan KPU di DPR. Kemudian baru ditetapkan 31 Agustus dan diundangkan Kumham (kementerian Hukum dan HAM) pada l1 September. Pendaftarannya tanggal 4 September. Artinya waktu sosialisasi sangat mepet, hanya dua sampai tiga hari,” katanya seusai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi kemarin. (Baca juga: Mengenal Penyakit Batu Empedu Sejak Dini)

Tito menduga tidak maksimalnya sosialisasi membuat para kontestan pilkada menggunakan cara-cara lama pada saat mendaftar ke KPUD. Ada arak-arakan dan konvoi yang menimbulkan kerumunan massa. “Kemungkinan ada kontestan yang sosialisasinya belum sampai ke mereka sehingga masih berpikir cara lama,” ujarnya.

Namun, mantan Kapolri ini mengatakan bahwa sebenarnya KPU dan Bawaslu juga langsung menyampaikan aturan PKPU tersebut ke jajarannya di daerah. Bahkan Bawaslu di daerah sudah berkirim surat terkait hal ini kepada para partai pengusung pasangan calon. Itu berarti, menurut Tito, sebenarnya ada kemungkinan pasangan calon sudah tahu aturan tersebut. “Ada kemungkinan kontestan dan parpol sudah tahu, tapi sengaja ingin show of force, unjuk kekuatan sehingga aturan untuk pencegahan Covid-19 dalam PKPU dilanggar,” ucapnya.

Terhadap mereka yang melanggar protokol kesehatan, Tito memastikan tidak hanya memberikan teguran, apalagi kepada calon petahana. Dia berjanji akan memberikan sanksi kepada pasangan calon yang menang pilkada, tapi tercatat berkali-kali melanggar protokol kesehatan selama tahapan pilkada.

“Selain memberikan teguran, kami sudah ingatkan bahwa dalam catatan Bawaslu ada terjadi tiga kali pelanggaran atau lebih oleh satu kontestan. Jika kontestan itu terpilih, sesuai UU 23/2014 tentang Pemda bahwa Presiden dapat memerintahkan Mendagri untuk menunda pelantikan selama enam bulan,” ancamnya. (Lihat videonya: Kesultanan Buton yang Tak Pernah Dijajah Negara Eropa)

Selama waktu tersebut, paslon yang menang namun melanggar protokol kesehatan akan dididik di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPD N) supaya jadi pemimpin yang baik. “Tolong disampaikan kepada publik bahwa Kemendagri dapat memberikan sanksi atau mempertimbangkan sanksi kepada kontestan yang berkali-kali melanggar protokol penanganan Covid-19, termasuk pengumpulan massa di luar aturan KPU maka pelantikannya ditunda 6 bulan dan disekolahkan,” katanya. (Dita Angga/Abdul Rochim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1931 seconds (0.1#10.140)