Jelang Pilkada Serentak, KPU Harus Pulihkan Kepercayaan Publik
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bekerja keras meraih kembali kepercayaan publik yang makin tergerus menyusul pemecatan terhadap Evi Novida Ginting Manik karena kasus pelanggaran kode etik.
Kepercayaan publik dibutuhkan agar proses dan tahapan pilkada yang saat ini sedang dijalankan KPU dan jajaran di tingkat daerah mendapatkan legitimasi. Jika lembaga penyelenggara tidak lagi dipercaya, ancaman terbesarnya adalah munculnya apatisme publik yang bisa berujung pada rendahnya partisipasi pemilih. Sebelum Evi dipecat, KPU pada Januari lalu juga diterpa masalah setelah komisionernya Wahyu Setiawan tertangkap tangan dalam kasus dugaan suap.
Sejumlah pengamat pemilu mendesak agar KPU pusat dan jajarannya di tingkat daerah mampu menunjukkan profesionalitas dan integritas. Apalagi saat ini ada agenda besar yang dihadapi, yakni Pilkada Serentak 2020 yang diikuti 270 daerah. Koordinasi dan supervisi dari KPU pusat ke daerah jadi kunci suksesnya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. (Baca: Dipecat DKPP, Evi Novida Tolak Disebut Ubah Suara Secara Ilegal)
“Mau tidak mau KPU harus mampu melalui masalah yang menerpa mereka. Sekarang mereka dituntut lebih profesional. Jangan justru kasus ini menyurutkan semangat penyelenggara di tingkat daerah,” ujar peneliti pemilu yang juga Koordinator Harian Kode Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana di Jakarta kemarin.
Langkah yang bisa diambil saat ini adalah KPU di tingkat pusat hingga daerah mengintensifkan sosialisasi, mengampanyekan pentingnya memilih untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Selain itu sinergi KPU dengan seluruh penyelenggara pemilu lainnya juga sangat dibutuhkan seperti dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tujuannya untuk memastikan Pilkada 2020 dapat berjalan lancar.
Defisit Kepercayaan
Dua kasus yang menerpa komisioner dalam waktu berdekatan dinilai akan berdampak besar terhadap kelembagaan KPU. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Pemilu untuk Rakyat (JPPPR) Alwan Ola Riantobi mengatakan, wajar jika publik kian meragukan KPU karena di satu sisi elite berharap masyarakat pemilih memercayai KPU, menerima hasil yang dibuat KPU, tidak boleh melakukan kekerasan, kerusuhan, anarkisme ataupun kecurangan. Tapi di sisi lain KPU justru terbukti melakukan konspirasi politik.
“Akhirnya orang bisa tidak percaya lagi kepada KPU, kepercayaan publik berkurang,” ujar Alwan.
Dia melanjutkan, tantangan KPU pusat dan daerah saat ini adalah mempersiapkan tahapan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah dengan sebaik-baiknya. Namun itu tidak mudah di tengah defisitnya kepercayaan.
“Karena itu KPU harus membuka diri, terutama kepada teman-teman pemantau, NGO yang konsentrasi dengan isu-isu pemilu. Ini agar kita sama-sama menyelaraskan gerakan-gerakan, mengesampingkan kepentingan-kepentingan politik,” tandasnya. (Baca juga: DKPP Pecat Evi Novida Manik, Citra KPU Kembali Tercoreng)
KPU diterpa badai saat Wahyu Setiawan dipecat karena terlibat kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Harun Masiku. Tiga bulan kemudian giliran Evi Novida Ginting Manik yang diberhentikan DKPP karena kasus pergeseran suara caleg DPRD Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).
Di lain pihak, Komisi II DPR menghormati keputusan DKPP yang memecat Evi. Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa meminta agar putusan ini dapat dijadikan pelajaran bagi KPU untuk selalu menjaga kredibilitas dan berhati-hati dalam menjalankan setiap tugasnya dan tindakannya sebagai penyelenggara pemilu.
Sekretaris Fraksi Nasdem DPR itu menuturkan, Komisi II DPR akan melakukan klarifikasi kepada KPU dan juga DKPP atas persoalan tersebut. Pihaknya juga perlu melakukan pendalaman atas kasus itu.
Menurut Saan, klarifikasi dan pendalaman akan dilakukan saat rapat dengar pendapat (RDP) resmi antara Komisi II DPR dengan KPU, DKPP, dan Bawaslu sebagai mitra kerja.
“Klarifikasinya nanti melalui rapat resmi dengan Komisi II saat masuk masa sidang (masa sidang DPR). Akan kami agendakan,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR Sodik Mudjahid menilai kejadian ini perlu dijadikan introspeksi bagi KPU. “Salut kepada DKPP atas keberaniannya bersikap tegas. KPU dan seluruh jajarannya harus terus melakukan introspeksi dan perbaikan,” tambahnya.
Sementara itu Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengaku pihaknya menghormati putusan DKPP dan akan mempelajari secara saksama putusan tersebut. "Kami akan lakukan kajian yang mendalam untuk melihat berbagai kemungkinan kebijakan yang dapat diambil KPU," kata Pramono dalam jumpa pers di Kantor KPU, Jakarta, kemarin. (Baca juga: Putusan DKPP Harus Jadi Pelajaran KPU Jaga Kredibilitas)
Pramono mengaku pihaknya keberatan dengan berita yang menafsirkan putusan DKPP yang seakan-akan Evi mengubah hasil perolehan suara caleg DPRD daerah pemilihan Kalimantan Barat dari Partai Gerindra bernama Hendri Makaluasc.
Menurut Pramono, dalam kasus tersebut, Evi sama sekali tidak berinisiatif, memerintahkan, mengintervensi, atau mendiamkan terjadinya perubahan perolehan suara tersebut.
Dijelaskan dia, dalam perkara Kalimantan Barat ini terdapat dua putusan yang berbeda dari putusan mahkamah Konstitusi (MK) dan Bawaslu. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 terkait dengan sengketa hasil pemilu, KPU berpandangan bahwa putusan MK yang wajib dilaksanakan.
"Namun DKPP menyatakan tindakan KPU tidak tepat. Pada perkara ini tidak ada tindakan KPU mengubah perolehan suara hasil pemilu," ujarnya. (Kiswondari/SINDOnews)
Kepercayaan publik dibutuhkan agar proses dan tahapan pilkada yang saat ini sedang dijalankan KPU dan jajaran di tingkat daerah mendapatkan legitimasi. Jika lembaga penyelenggara tidak lagi dipercaya, ancaman terbesarnya adalah munculnya apatisme publik yang bisa berujung pada rendahnya partisipasi pemilih. Sebelum Evi dipecat, KPU pada Januari lalu juga diterpa masalah setelah komisionernya Wahyu Setiawan tertangkap tangan dalam kasus dugaan suap.
Sejumlah pengamat pemilu mendesak agar KPU pusat dan jajarannya di tingkat daerah mampu menunjukkan profesionalitas dan integritas. Apalagi saat ini ada agenda besar yang dihadapi, yakni Pilkada Serentak 2020 yang diikuti 270 daerah. Koordinasi dan supervisi dari KPU pusat ke daerah jadi kunci suksesnya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. (Baca: Dipecat DKPP, Evi Novida Tolak Disebut Ubah Suara Secara Ilegal)
“Mau tidak mau KPU harus mampu melalui masalah yang menerpa mereka. Sekarang mereka dituntut lebih profesional. Jangan justru kasus ini menyurutkan semangat penyelenggara di tingkat daerah,” ujar peneliti pemilu yang juga Koordinator Harian Kode Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana di Jakarta kemarin.
Langkah yang bisa diambil saat ini adalah KPU di tingkat pusat hingga daerah mengintensifkan sosialisasi, mengampanyekan pentingnya memilih untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Selain itu sinergi KPU dengan seluruh penyelenggara pemilu lainnya juga sangat dibutuhkan seperti dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tujuannya untuk memastikan Pilkada 2020 dapat berjalan lancar.
Defisit Kepercayaan
Dua kasus yang menerpa komisioner dalam waktu berdekatan dinilai akan berdampak besar terhadap kelembagaan KPU. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Pemilu untuk Rakyat (JPPPR) Alwan Ola Riantobi mengatakan, wajar jika publik kian meragukan KPU karena di satu sisi elite berharap masyarakat pemilih memercayai KPU, menerima hasil yang dibuat KPU, tidak boleh melakukan kekerasan, kerusuhan, anarkisme ataupun kecurangan. Tapi di sisi lain KPU justru terbukti melakukan konspirasi politik.
“Akhirnya orang bisa tidak percaya lagi kepada KPU, kepercayaan publik berkurang,” ujar Alwan.
Dia melanjutkan, tantangan KPU pusat dan daerah saat ini adalah mempersiapkan tahapan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah dengan sebaik-baiknya. Namun itu tidak mudah di tengah defisitnya kepercayaan.
“Karena itu KPU harus membuka diri, terutama kepada teman-teman pemantau, NGO yang konsentrasi dengan isu-isu pemilu. Ini agar kita sama-sama menyelaraskan gerakan-gerakan, mengesampingkan kepentingan-kepentingan politik,” tandasnya. (Baca juga: DKPP Pecat Evi Novida Manik, Citra KPU Kembali Tercoreng)
KPU diterpa badai saat Wahyu Setiawan dipecat karena terlibat kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Harun Masiku. Tiga bulan kemudian giliran Evi Novida Ginting Manik yang diberhentikan DKPP karena kasus pergeseran suara caleg DPRD Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).
Di lain pihak, Komisi II DPR menghormati keputusan DKPP yang memecat Evi. Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa meminta agar putusan ini dapat dijadikan pelajaran bagi KPU untuk selalu menjaga kredibilitas dan berhati-hati dalam menjalankan setiap tugasnya dan tindakannya sebagai penyelenggara pemilu.
Sekretaris Fraksi Nasdem DPR itu menuturkan, Komisi II DPR akan melakukan klarifikasi kepada KPU dan juga DKPP atas persoalan tersebut. Pihaknya juga perlu melakukan pendalaman atas kasus itu.
Menurut Saan, klarifikasi dan pendalaman akan dilakukan saat rapat dengar pendapat (RDP) resmi antara Komisi II DPR dengan KPU, DKPP, dan Bawaslu sebagai mitra kerja.
“Klarifikasinya nanti melalui rapat resmi dengan Komisi II saat masuk masa sidang (masa sidang DPR). Akan kami agendakan,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR Sodik Mudjahid menilai kejadian ini perlu dijadikan introspeksi bagi KPU. “Salut kepada DKPP atas keberaniannya bersikap tegas. KPU dan seluruh jajarannya harus terus melakukan introspeksi dan perbaikan,” tambahnya.
Sementara itu Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengaku pihaknya menghormati putusan DKPP dan akan mempelajari secara saksama putusan tersebut. "Kami akan lakukan kajian yang mendalam untuk melihat berbagai kemungkinan kebijakan yang dapat diambil KPU," kata Pramono dalam jumpa pers di Kantor KPU, Jakarta, kemarin. (Baca juga: Putusan DKPP Harus Jadi Pelajaran KPU Jaga Kredibilitas)
Pramono mengaku pihaknya keberatan dengan berita yang menafsirkan putusan DKPP yang seakan-akan Evi mengubah hasil perolehan suara caleg DPRD daerah pemilihan Kalimantan Barat dari Partai Gerindra bernama Hendri Makaluasc.
Menurut Pramono, dalam kasus tersebut, Evi sama sekali tidak berinisiatif, memerintahkan, mengintervensi, atau mendiamkan terjadinya perubahan perolehan suara tersebut.
Dijelaskan dia, dalam perkara Kalimantan Barat ini terdapat dua putusan yang berbeda dari putusan mahkamah Konstitusi (MK) dan Bawaslu. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 terkait dengan sengketa hasil pemilu, KPU berpandangan bahwa putusan MK yang wajib dilaksanakan.
"Namun DKPP menyatakan tindakan KPU tidak tepat. Pada perkara ini tidak ada tindakan KPU mengubah perolehan suara hasil pemilu," ujarnya. (Kiswondari/SINDOnews)
(ysw)