Korona, dan Transformasi Digital yang Dipercepat

Senin, 16 Maret 2020 - 07:20 WIB
Korona, dan Transformasi...
Korona, dan Transformasi Digital yang Dipercepat
A A A
Dr Wahyu T SetyobudiPeneliti Transformasi Stratejik dan Inovasi PPM Manajemen
Wabah korona menyebar demikian cepat menjadi buah bibir masyarakat di berbagai kalangan. Bagaimana tidak membuat resah, terhitung hingga tulisan ini dibuat (14 Maret 2020), tercatat orang dalam pemantauan (ODP) telah mencapai 660 pasien, dan yang statusnya terkonfirmasi menderita Covid-19 berjumlah 96 orang.

Berita yang beredar di masyarakat tak kunjung reda, bahkan bertambah riuh dengan pengumuman bahwa Menteri Perhubungan Bapak Budi Karya Sumadi terjangkiti, dan tengah mendapat perawatan (Sindonews.com , 15 Maret 2020). Terjun ke lautan pendapat masyarakat Indonesia yang cinta gosip, kemudian muncullah berbagai spekulasi, bahwa virus telah menembus kabinet, bahkan tak menutup kemungkinan pernah bertamu ke Istana Negara.

Terhitung beberapa langkah telah dilakukan untuk berperang melawan virus ini. Walaupun dapat dikatakan sedikit lambat, tentu lebih baik daripada tidak sama sekali. Bapak Gubernur DKI Anies Baswedan mengambil keputusan cepat menutup sekolah-sekolah, yang kemudian diikuti oleh banyak pimpinan lembaga negara, sementara banyak perusahaan membatalkan acara yang melibatkan kerumunan, berubah menjadi pertemuan daring (online).

Semua tindakan ini diamplifikasi oleh media sosial yang tak pernah sepi. Grup WhatsApp, Instagram, Facebook, hingga Tiktok dipenuhi informasi korona sehingga menimbulkan perubahan perilaku masyarakat. Salaman diganti namaste, cuci tangan yang obsesif, dan hilangnya masker serta antiseptik tangan menunjukkan bahwa korona telah mengubah wajah sosial, entah sampai kapan.

Salah satu perubahan yang paling nyata adalah sistem pembelajaran yang tetiba dipaksakan untuk menjadi daring. Instruksi berbagai kampus untuk menyetop kegiatan belajar tatap muka, sementara tuntutan ketepatan waktu studi demikian ketat, menyebabkan proses belajar jarak jauh menjadi satu-satunya pilihan, siap atau tidak siap.

Penyelenggara tergagap-gagap untuk menyediakan sarana learning management system (LMS). Infrastruktur digital yang tadinya dikembangkan dengan prinsip alon-alon asal kelakon , terpaksa harus aktif dalam sepekan. Dosen yang terbiasa mengajar di depan kelas, mondar-mandir sambal memperhatikan ekspresi mahasiswa dipaksa duduk manis, mengamati dari balik kamera webcam . Tentu bukan hal yang mudah bagi penyelenggara pendidikan, dosen, guru, dan mahasiswa.

Dalam tulisan ini, saya tak hendak membahas mengenai virus korona dan pencegahannya, karena tentu telah banyak tulisan tentang itu. Sudut pandang yang ingin menjadi argumen saya adalah, bahwa digitalisasi dalam komunitas sosial yang dulunya dirancang prosedural atau evolutif, mungkin saja terwujud sewaktu, dipicu oleh suatu kejadian luar biasa mirip ledakan besar (big bang).

Seperti para pengembang aplikasi pada umumnya, dahulu mengenal konsep pengembangan bertahap atau sering disebut pendekatan waterfall . Dalam pendekatan ini, permintaan klien diterjemahkan menjadi suatu dokumen kontrak yang menyebutkan detail kebutuhan, tahapan pengembangan, waktu pelaksanaan, dan kebutuhan biaya. Kontrak ini yang disepakati untuk disajikan pada suatu tenggat waktu tertentu.

Perubahan pada kontrak sangat dihindari dari sisi pengembang, karena akan menambah pekerjaan bongkar-pasang, dan dihindari dari sisi klien, karena akan berpengaruh pada kepastian operasi dan anggaran. Kebutuhan untuk menjalankan digitalisasi terhambat persyaratan prosedural seperti: kesiapan infrastruktur hardware , software , kompetensi tenaga IT, sosialisasi aplikasi, uji coba, dan berbagai program lain yang memperpanjang penerapan digitalisasi.

Perkembangan era digital yang aktual sekarang ini tidak lagi ramah dengan pengembangan model bertahap seperti di atas. Perubahan preferensi konsumen, perilaku karyawan dan dinamika organisasi yang cenderung chaotic , sering kali menyebabkan asumsi lebih cepat basi. Apa yang digunakan sebagai basis pengembangan menjadi obsolet dalam enam bahkan bisa jadi tiga bulan berikutnya.

Mindset pemerintah, lembaga, perusahaan, atau organisasi lain yang bermimpi untuk menjalankan smart management dengan digital, harus berubah menjadi agile development (pengembangan tangkas). Pengembangan tangkas menggunakan kecepatan peluncuran digital sebagai tahap utama dan menyempurnakannya melalui proses learning yang berkelanjutan. Dengan demikian, waktu penyelesaian program lebih cepat, anggaran dihemat, dan hasilnya dapat lebih tepat.

Perubahan paradigma dari prosedural ke agile tidaklah mudah. Banyak pengelola masih merasa penahapan yang baik akan menghasilkan produk dan layanan yang baik. Padahal sebaik-baiknya program, apabila terlambat diluncurkan maka menjadi tidak relevan lagi. Saat ini pengembangan produk dan layanan yang baik adalah yang cepat dari sisi waktu (timing ), dan diperbaiki secara cepat berkelanjutan.

Sekarang atau nanti, paradigma agile development ini akan diadaptasi oleh praktisi manajemen Indonesia. Minimal setelah mengalami tahap penolakan atau denial , penyesuaian, penerimaan, dan baru kemudian mau beradaptasi, seperti yang dikemukakan oleh Milton J Bennet (2011) dalam Developmental Model of Intercultural Sensitivity.

Tahap penyangkalan dalam dunia pendidikan sebagai contoh, terjadi ketika cara digital dipandang bukan cara terbaik untuk belajar-mengajar, dibandingkan dengan tatap muka konvensional. Berbagai pembenaran dibangun, seperti adanya ikatan emosional, feedback langsung, dan sebagainya. Kedua, tahap penerimaan ketika para pengelola menyadari pentingnya berubah ke digital, namun belum paham caranya. Mulai jatuh bangun mengembangkan, namun belum sepenuhnya percaya diri untuk mengaplikasikan secara keseluruhan.

Tahap penerimaan ini yang memakan waktu lama, karena di sinilah nyali digital itu diperlukan. Perlu pemimpin yang secara tegas melakukan perubahan dan mampu mendorong eksekusi seluruh program digital tersebut, hingga tahap adaptasi dicapai. Pengembangan yang berlarut-larut, tambal-sulam tanpa keberanian untuk mengeksekusi menjadi jebakan yang menyedot organisasi menjauh dari keberhasilan digitalisasi. Tak heran jika data menunjukkan bahwa 70% penerapan Enterprise Resource Planning (ERP) gagal setelah tiga tahun diluncurkan.

Kejadian luar biasa seperti wabah virus korona yang telah dinyatakan menjadi pandemi global ini, dapat menjadi faktor pendorong yang kuat bagi percepatan transformasi digital di Indonesia. Kontak dokumen yang dampaknya setara kontak fisik menyebabkan budaya paperless mau tidak mau dilaksanakan, dan dijaga di level individu.

Karyawan lebih nyaman menyampaikan dokumen softcopy via e-mail atau messenger, otorisasi tanda tangan melalui QR code. Akses meeting dipindahkan ke daring, sementara laporan diakumulasikan melalui dashboard digital. Demikian pula konsumen, lebih menyukai belanja daring, transaksi via mobile daripada menekan tombol ATM, dan memegang uang fisik yang kabarnya salah satu dari lima benda terkotor di dunia.

Kita berharap kejadian wabah ini segera berlalu, walaupun para ahli kesehatan memprediksinya masih dalam tahap awal penyebaran. Namun di balik suatu musibah, tersimpan cahaya. Surutnya kontak fisik, berarti dimulainya kontak digital. Mari sama-sama kita perangi virus ini, sekaligus membangun transformasi digital yang berdaya, demi majunya Indonesia sebagai komunitas sosial yang mawas digital.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0559 seconds (0.1#10.140)